"Ayah bukanlah ayah kandungmu, Shakila," ucap Zayyan sendu dan mata berkaca-kaca.
Bagai petir di siang bolong, Shakila tidak percaya dengan yang diucapkan oleh laki-laki yang membesarkan dan mendidiknya selama ini.
"Ibumu di talak di malam pertama setelah ayahmu menidurinya," lanjut Zayyan yang kini tidak bisa menahan air matanya. Dia ingat bagaimana hancurnya Almahira sampai berniat bunuh diri.
Karena membutuhkan ayah kandungnya untuk menjadi wali nikah, Shakila pun mencari Arya Wirawardana. Namun, bagaimana jika posisi dirinya sudah ditempati oleh orang lain yang mengaku sebagai putri kandung satu-satunya dari keluarga Wirawardana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Pertemuan Dua Saudara
Silvia menatap kesal Widuri dan Bu Dewi karena malah kabur ke luar negeri, dulu. Mereka kembali setelah diancam.
"Apa kalian tidak kasihan sama aku yang nyawanya sedang diincar?" Silvia mengetuk keras meja di depannya.
"Aku kira Arya sudah tahu kalau kamu bukan putri kandungnya. Makanya kita berdua kabur sebelum ditemukan oleh Arya," balas Widuri.
"Tapi, apa benar kalau Arya menghilang?" tanya Bu Dewi penasaran.
"Iya, papa menghilang sudah sebulan lebih," jawab Silvia sendu. Bagaimanapun juga dia sangat sayang kepada Arya karena sudah menjadi ayah yang baik untuknya.
"Jangan-jangan dia dibunuh oleh Miranda? Wanita itu dendam karena sudah diceraikan dan tidak diberi sedikitpun harta oleh Arya, dahulu." Widuri menduga-duga.
"Aku tidak terima kalau mereka membunuh papa. Mereka harus mendapatkan pembalasan yang setimpal." Rahang Silvia mengeras dan kedua tangannya terkepal.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Mereka itu licik," tanya Bu Dewi dengan ekspresi cemas.
Silvia memutar otak. Dia harus bisa menyingkirkan Mario dan Miranda. Kedua orang itu sudah bisa leluasa ke luar masuk gedung perusahaan. Dahulu, ketika Arya masih ada, tidak pernah sekalipun Miranda menginjakkan kaki di sana.
"Kita sewa pembunuh bayaran saja," celetuk Widuri.
Silvia dan Bu Dewi mengalihkan pandangannya kepada Widuri. Itu sebuah ide yang bisa mereka coba. Tidak perlu mengotori tangan untuk menyingkirkan mereka.
"Benar, juga!" Silvia mengangguk.
Sementara itu di rumah sakit yang ada di pinggiran ibu kota, Dokter Elzo memeriksa keadaan Arya. Laki-laki itu belum menunjukkan tanda kemajuan.
"Kasihan sekali, ya, dia? Apa tidak ada keluarga atau temannya yang mencari?" Amira menatap iba.
"Aku sedang mencari tahu siapa orang ini sebenarnya," balas Dokter Elzo.
"Apa aku buat pengumuman di media sosial? Siapa tahu ada kenal sama pasien ini dan memberi kita." Amira tersenyum tipis karena merasa memberikan sebuah ide yang brilian.
"Jangan! Justru jika kita melakukan itu bisa-bisa berbahaya. Sudah jelas dia korban percobaan pembunuhan."
Senyum Amira langsung hilang. Dia tidak berpikir seperti itu, jadi merasa bodoh.
"Sebaiknya kita segera kembali. Siapa tahu ada warga desa yang membutuhkan pertolongan Dokter?" Amira membalikan badan, lalu ke luar dari ruang rawat itu.
Dokter Elzo menatap Amira sampai gadis itu menghilang dari pandangan. Tiba-tiba saja dia menepuk jidatnya.
"Kenapa aku lupa dengan hal penting? Aku bisa mencari tahu siapa orang ini dengan akurat," gumam Dokter Elzo.
Amira jalan dengan langkah cepat di lorong rumah sakit. Dia merasa kesal karena merasa tidak bisa menjadi orang yang berguna untuk Dokter Elzo.
"Amira?"
Amira menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Mata dia membulat ketika melihat orang yang sudah lama ditinggalkan olehnya.
"Kak Zayyan?" Amira langsung berlari, kabur.
Zayyan tidak menyangka, niat mau mencari identitas ayah kandung Mario malah bertemu dengan adiknya yang kabur. Selama bertahun-tahun Amira pergi dari rumah.
"Berhenti, Amira!" Zayyan berlari mengejar.
"Aku tidak mau pulang!" Amira terus berlari.
"Jangan keras kepala, Amira!" Akhirnya Zayyan berhasil menangkap tangan Amira.
"Lepaskan aku, Kak!" Amira berusaha melepaskan diri.
"Tidak."
"Amira ...."
Zayyan dan Amira menoleh, terlihat Dokter Elzo berdiri di belakang mereka. Ekspresi kakak beradik itu berubah dalam artian berbeda. Wajah Zayyan memerah karena marah, sedangkan Amira berubah pucat.
"Jadi, kamu yang menyembunyikan Amira, hah!" Zayyan kini mencengkeram baju Dokter Elzo.
"Kakak salah! Aku yang ikut Dokter Elzo menjadi relawan. Jadi, Kakak jangan menyalahkan Dokter Elzo," kata Amira yang berusaha melepaskan tangan kakaknya.
Zayyan tahu bagaimana tergila-gila Amira sama Dokter Elzo. Hanya saja kedua orang tua mereka tidak memberikan restu, karena kepercayaan mereka berbeda. Lebih tepatnya Dokter Elzo seorang agnostik, dikarenakan masa lalunya yang terlalu kelam.
Selian itu, usia mereka yang terpaut jauh. Waktu itu Amira berusia 18 tahun baru lulus sekolah SMA dan Dokter Elzo sudah berusia 35 tahun yang merupakan dokter di kota tempat tinggal mereka.
"Apa kamu tahu karena kepergian yang kamu lakukan ini sudah membuat ibu dan bapak meninggal karena malarindu sama kamu?" Zayyan membentak Amira. Dia tidak benci kepada Amira, justru karena dia sayang.
Mata Amira berkaca-kaca. Dia selalu menangis jika dimarahi oleh orang yang disayangi olehnya.
"Maafkan aku, Kak. Tapi, aku ...." Suara Amira mencicit menahan tangis.
Zayyan memeluk Amira. Sang adik menangis kencang meluapkan rasa kesedihannya. Cinta dia membuat buta akan kasih sayang yang diberikan oleh keluarganya.
Dokter Elzo memasang wajah dingin, lalu pergi meninggalkan kakak beradik itu. Dia tahu, mereka tidak akan bisa saling memiliki satu sama lain. Namun, dia sudah terlanjur terbiasa dengan kehadiran perempuan itu di dalam hidupnya.
"Siapa laki-laki yang bersama Amira?" tanya dokter yang menangani operasi Arya.
"Kakaknya yang dahulu berkelahi denganku sampai membuat aku di mutasi," jawab Dokter Elzo.
"Apa kamu akan membiarkan Amira dibawa olehnya?"
"Apa boleh buat. Amira bukan milikku."
Dokter itu menghela napas. Dia tahu bagaimana perasaan temannya. Makanya sampai sekarang belum juga menikah.
Amira tidak mau ikut Zayyan, karena banyak warga desa yang membutuhkan dirinya. Namun, dia berjanji jika ada waktu luang akan menemuinya. Apalagi sekarang jarak tempat tinggal mereka tidak memakan waktu sampai dua jam.
"Terlalu keraskah hati laki-laki itu—Dokter Elzo?" tanya Zayyan.
"Mungkin hidayah belum Allah berikan kepadanya," jawab Amira.
"Besok kakak tunggu. Shakila pasti akan senang bertemu lagi sama kamu," ucap Zayyan.
"Shakila pasti sudah besar, ya?" Amira tersenyum karena dulu mereka sering bermain bersama, karena usia mereka terpaut lima tahun. Sedangkan usia dia dengan Zayyan terpaut 18 tahun.
"Oh, iya? Karena Kakak ada di sini?" tanya Amira.
"Aku sedang mencari informasi tentang seseorang. Aku datang ke sini karena ini adalah rumah sakit yang sudah lama berdiri dan banyak tim medis yang sudah lama bekerja. Kakak mencari Dokter Lazuardi," jawab Zayyan.
"Oh, Dokter Lazuardi adalah salah satu pemimpin di rumah sakit ini. Dia masih aktif melakukan pengobatan untuk pasien. Tadi, aku juga bertemu dengannya. Apa tidak ada di ruang kerjanya?" tanya Amira.
"Katanya sedang ke luar," jawab Zayyan.
"Aku kasih Kakak nomor kontaknya, deh! Memangnya informasi apa yang Kakak cari dari Dokter Lazuardi?" Amira mengeluarkan handphone miliknya.
"Karena Dokter Lazuardi adalah orang yang memberi tahu kalau Arya ... ah, kamu mana kenal sama dia. Pokoknya, Kakak melakukan ini untuk Shakila," balas Zayyan sambil mengetikkan nomor kontaknya.
"Shakila baik-baik saja, kan?" tanya Amira yang jadi merasa khawatir.
Zayyan menatap Amira. Sang adik bisa merasakan kalau kakaknya sedang dalam kesulitan.
***