NovelToon NovelToon
Bintangku 2

Bintangku 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Cintapertama / Keluarga / Cintamanis
Popularitas:182
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satya yang Selalu Ada

Hari-hari Bintang di perusahaan Oma Rosmawati berjalan cepat, terlalu cepat untuk seseorang yang baru saja kembali dari luar negeri dan langsung ditempatkan di bawah sorotan.

Gedung itu megah, berlapis kaca dan marmer, dengan lorong-lorong panjang yang selalu terasa dingin. Setiap langkah Bintang seolah diawasi—bukan hanya oleh karyawan, tapi juga oleh ekspektasi yang tak pernah diucapkan dengan jelas.

Ia tahu satu hal pasti:

ia tidak diizinkan gagal.

Pagi itu, Bintang duduk di ruang rapat kecil dengan tumpukan dokumen di depannya. Proposal kerja sama yang harus ia pelajari dalam waktu singkat, istilah-istilah bisnis yang lebih rumit dari teori kuliahnya dulu, dan tenggat waktu yang menyesakkan.

Ia menghela napas pelan, menekan pelipisnya.

“Kalau kamu mulai dari halaman tiga, semuanya bakal terasa lebih masuk akal.”

Suara itu datang tanpa mengetuk.

Bintang mendongak.

Satya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja abu-abu muda dan senyum tipis yang selalu sama—tenang, tidak mengintimidasi.

“Kamu ngagetin,” kata Bintang, tapi bibirnya ikut tersenyum.

“Maaf,” jawab Satya santai. “Oma kamu minta aku bantu kamu adaptasi. Katanya kamu terlalu keras sama diri sendiri.”

Bintang mendecak pelan. “Oma selalu merasa aku terlalu apa pun.”

Satya tertawa kecil, lalu menarik kursi dan duduk di seberangnya. Ia tidak langsung menyentuh dokumen-dokumen itu, hanya menatap Bintang beberapa detik.

“Kamu kelihatan capek.”

“Aku memang capek.”

“Boleh capek,” katanya ringan. “Tapi jangan sendirian.”

Kalimat itu sederhana. Profesional. Tidak lebih.

Namun di ruangan itu, Bintang merasakan sesuatu yang jarang ia dapatkan akhir-akhir ini—ruang untuk bernapas.

Satya mulai menjelaskan poin-poin penting dalam proposal itu, membedahnya dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak menggurui, tidak mendominasi. Ia hanya… ada. Mendampingi.

Bintang mendengarkan sambil mencatat, sesekali mengangguk. Ia teringat Inggris.

Bukan pada salju atau dingin—melainkan pada ritme kerja yang pernah mereka jalani bersama. Satya memang selalu seperti ini. Stabil. Konsisten. Tidak dramatis.

Dan justru karena itulah Oma menyukainya.

Di sisi lain kota, Bio sedang berdiri di balik meja kedainya, menyeduh kopi untuk pelanggan yang tak terlalu ramai siang itu. Tangannya bergerak otomatis—menuang, menekan, mengatur uap—sementara pikirannya melayang.

Ponselnya bergetar.

Nama Bintang muncul.

Lagi meeting panjang. Jangan nunggu aku.

Bio membaca pesan itu dua kali. Lalu membalas singkat.

Oke. Jangan lupa makan

Ia meletakkan ponsel, menatap mesin kopi di depannya. Suara desis uap terdengar lebih nyaring dari biasanya.

Ia membayangkan Bintang di gedung besar itu. Dengan orang-orang yang mengerti dunianya. Dengan Satya.

Nama itu kembali muncul di kepalanya—bukan dengan marah, melainkan dengan rasa lelah.

Ia tahu Satya membantu secara profesional. Ia tahu Bintang tidak melakukan apa-apa yang salah.

Tapi perasaan jarang patuh pada logika.

Sore hari, Bintang baru keluar kantor ketika langit mulai menggelap. Satya berjalan di sampingnya sampai lift.

“Kamu kerja bagus hari ini,” kata Satya.

“Karena kamu jelasin semuanya.”

“Karena kamu cepat tangkap,” balasnya. “Aku cuma ngarahin.”

Lift terbuka. Mereka masuk.

Satya menekan tombol lantai dasar, lalu melirik Bintang. “Kamu kelihatan kepikiran.”

Bintang ragu sejenak, lalu berkata jujur, “Aku takut… bikin orang-orang salah paham.”

Satya mengangguk pelan. “Tentang Bio?”

Bintang menoleh cepat. “Kamu tahu?”

“Aku bukan buta,” katanya ringan. “Dan aku bukan orang baru dalam hidup kamu.”

Bintang terdiam.

“Aku di sini buat kerja,” lanjut Satya tenang. “Dan buat bantu kamu berkembang. Yang lain—itu bukan wilayahku.”

Kata-kata itu diucapkan tanpa drama. Tanpa nada kepemilikan.

Dan justru itu yang membuatnya terasa tulus.

Malamnya, Bintang mampir ke kedai Bio. Lampu-lampu kecil di dalam kafe menyala hangat. Bio sedang membersihkan meja ketika melihatnya masuk.

Wajahnya langsung berubah.

“Kamu capek?” tanyanya, langkahnya cepat menghampiri.

Bintang mengangguk. Bio menarik kursi untuknya, lalu menyodorkan segelas air sebelum bertanya apa pun.

“Satya banyak bantu hari ini,” ucap Bintang sambil meneguk air.

Bio mengangguk. Terlalu cepat.

“Oh.”

Satu kata itu menggantung.

Bintang menatapnya. Ia ingin berkata lebih banyak. Ingin menjelaskan bahwa dukungan Satya tidak mengurangi perasaannya pada Bio. Tapi ia juga lelah.

Bio menyentuh tangannya di atas meja, ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Bintang.

“Kalau dia bikin kamu lebih kuat… itu bagus,” katanya akhirnya.

Bintang tersenyum, meski matanya sedikit berkabut.

Ia meraih tangan Bio dan menggenggamnya lebih erat.

“Yang aku pulangin setiap hari… tetap kamu.”

Bio menelan ludah. Lalu bangkit, mengitari meja, dan memeluk Bintang erat. Wajahnya tersembunyi di rambut Bintang.

Untuk sesaat, dunia terasa cukup.

Namun di balik pelukan itu, ada kenyataan yang perlahan terbentuk:

Satya memang selalu ada.

Tenang. Mendukung. Stabil.

Dan Bio mulai sadar—pertarungan terbesarnya bukan melawan Satya,

melainkan melawan rasa takutnya sendiri.

Karena cinta, terkadang, diuji bukan oleh kehadiran orang lain…

melainkan oleh ketahanan hati kita sendiri.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!