Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Ruangan Kesehatan
Ruang kesehatan terlihat sepi, tidak ada seorangpun yang ada disana bahkan tidak dikunci dan terbuka.
Entah siapa yang meninggalkan ruangan kesehatan begitu sangat teledornya hingga tanpa penjagaan oleh siapapun disini.
Denzzel Lambert mendorong pintu ruangan dengan kakinya karena kedua lengannya memanggul tubuh Amrita dipunggungnya sebab itulah dia kesulitan membuka pintu dengan tangannya.
"Hallo...", ucapnya sembari melangkah masuk ke dalam ruangan kesehatan.
Ruangan kesehatan ternyata kosong bahkan tak seorangpun sedang berjaga disana.
Denzzel Lambert berjalan ke arah ranjang tidur lalu membaringkan tubuh Amrita diatasnya.
"Sepertinya tidak ada orang disini", ucapnya sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruangan kesehatan.
"Mungkin petugas jaga sedang membeli makanan karena sudah waktunya makan siang sekarang", kata Amrita.
"Makan siang, ya... ?!" ucap Denzzel lalu menoleh ke sebuah jam dinding yang ada diruangan ini.
Denzzel memperhatikan arah jarum jam yang menunjukkan angka 12 siang, tepat jam makan siang.
"Jam 12 siang...", ucapnya pelan.
"Karena itu ruangan kesehatan kosong, mungkin petugas disini sedang keluar untuk mencari makan siang", kata Amrita.
"Apa kau lapar ?" tanya Denzzel.
"Tidak, aku belum merasa lapar", sahut Amrita.
"Tapi tidak seharusnya ruangan kesehatan dibiarkan kosong tanpa pengawasan petugas disini", kata Denzzel.
"Sebentar lagi mereka pasti datang", ucap Amrita.
"Yah, ya, baiklah, aku akan duduk disini saja", kata Denzzel.
Denzzel duduk di sebuah kursi di dekat meja pemeriksaan kesehatan, menunggu petugas kesehatan kembali ke tempat ini.
Di sisi lain tampak Amrita terbaring di atas tempat tidur sembari menoleh ke arah Denzzel duduk.
"Kau tidak lapar ?" tanyanya.
Denzzel menggeleng pelan seraya berkata.
"Ya, aku sangat lapar namun rasa laparku bukan terhadap makanan ataupun camilan ringan melainkan hasratku pada dirimu yang membuatku menjadi dahaga".
"Jika kau bisa berpikir jernih, mungkin kau bisa menghilangkan rasa itu darimu", kata Amrita.
"Menghilangkan hasratku padamu sama saja aku bagaikan oase di gurun tandus tanpa kesegaran yang berarti karena kau terpenting dalam hidupku saat ini", ucap Denzzel.
"Dan kau bersumpah bahwa aku adalah milikmu", kata Amrita.
"Ya, benar, dan alasan kuat itulah yang membuatku selalu dahaga padamu", ucap Denzzel.
"Kau sangat pandai berkata-kata, Lambert", sahut Amrita sembari membuang muka.
"Dan kau sangat senang sekali memanggilku dengan sebutan Lambert, bukankah sudah kukatakan bahwa aku paling enggan nama margaku disebut sebagai panggilan nama''', kata Denzzel.
"Tapi aku suka dengan panggilan itu untukmu", ucap Amrita.
"Bagiku terdengar seperti olok-olokkan", kata Denzzel sembari menggaruk keningnya yang tertutupi oleh kain hitam.
"Benarkah ?" tanya Amrita.
"Yah...", sahut Denzzel dengan suara paraunya.
"Aku akan berbaring sambil tiduran disini jika kau ingin keluar mencari udara segar diluar sini, kau bisa pergi, tidak masalah untukku sendirian di ruangan ini sampai petugas kesehatan datang", kata Amrita.
"Tidak, aku akan menunggu disini", sahut Denzzel.
"Terserah padamu saja kalau kau ingin seperti itu", kata Amrita.
Amrita memiringkan badannya seraya membelakangi Denzzel lalu memejamkan kedua matanya.
"Aku akan tidur sebentar", ucapnya.
"Silahkan saja jika kau menginginkannya", kata Denzzel.
"Hmm...", gumam Amrita.
Sejenak ruangan kesehatan menjadi hening, tidak terdengar lagi suara keduanya berbicara.
Denzzel merapikan letak sarung tangannya seraya menunggu.
Rupanya Amrita telah tertidur sebab tidak terdengar lagi suara darinya sehingga Denzzel teralihkan perhatiannya kepada Amrita yang ada di tempat tidur.
"Amrita, kau sudah tidur...", ucapnya.
Tidak terdengar suara dari Amrita menyahut, sepertinya dia benar-benar tidur.
Denzzel melipat kedua lengannya ke depan seraya memandang lurus ke arah meja kesehatan yang terletak di dekatnya.
"Bagaimana mereka bisa meninggalkan ruangan kesehatan tidak terkunci benar bahkan tidak ada petugas jaganya yang semestinya mereka saling bergantian shift kerja", kata Denzzel dari balik penutup kain warna hitam di wajahnya.
Denzzel Lambert seperti heran karena sistem kerja di tanah perkebunan Luhan tidak tersistem baik bahkan terkesan asal-asalan.
Terdengar suara orang sedang berbicara dari arah luar ruangan kesehatan mendekat.
"Mereka pergi kesini, tapi bos baru menolak menggunakan fasilitas kereta buah dan dia membawa Amrita dengan menggendongnya", suara seorang laki-laki dari luar ruangan.
"Kasihan Amrita karena harus menanggung beban orang tuanya, setelah ayahnya menikah lagi, dia menjadi kurang terurus padahal dialah pewaris tunggal tanah perkebunan Luhan ini", ucap suara seorang wanita.
"Mungkin mereka sudah tiba di ruangan kesehatan", kata suara laki-laki.
"Oh, iya, kalau begitu aku segera kesana untuk melihatnya, apakah mereka sudah datang di ruangan kesehatan atau belum", ucap suara seorang wanita.
"Ya, sebaiknya kita memeriksanya saja disana", kata suara seorang laki-laki.
Suara langkah kaki semakin terdengar cepat, mendekat dari luar ruangan kesehatan.
Denzzel menoleh ke arah pintu ruangan yang sengaja tidak dia kunci serta membukanya lebar.
Muncul seorang wanita berseragam hijau tua kotak-kotak dari luar memasuki ruangan kesehatan.
"Oh, siapa ?" tanyanya terkejut kaget.
Petugas itu terlihat kaget saat melihat Denzzel sedang duduk di dalam ruangan kesehatan dengan penutup kepala dari kain hitam yang melekat erat pada wajahnya.
Muncul mandor Tobin disisi petugas kesehatan sembari berjalan masuk ke dalam ruangan dan menyapa Denzzel Lambert.
"Ternyata kau sudah datang, bos", ucapnya.
Petugas kesehatan segera menoleh ke arah mandor Tobin dan tertegun diam.
"Siapa dia ?" tanyanya.
"Bos baru, namanya Denzzel Lambert, dia akan menjadi pemilik tanah perkebunan Luhan berikutnya", sahut mandor Tobin.
"Benarkah itu ? Dia orangnya ?" sahut petugas kesehatan tak percaya dengan ucapan mandor Tobin.
"Ya, dia bos baru", kata mandor Tobin datar.
"Mana mungkin ?!" ucap petugas kesehatan semakin tak percaya dan terheran-heran.
Petugas kesehatan menoleh ke arah Denzzel Lambert yang sedang duduk sendirian dan memperhatikan mereka berdua.
"Perkenalkan dia adalah perawat disini dan maafkan kami karena baru datang karena dia sedang pergi mengambil pesanan paket obat untuk persediaan", kata mandor Tobin.
Mandor Tobin berusaha menjelaskan perihal alasan petugas kesehatan itu tidak berada ditempatnya tadi.
"Salam kenal...", ucap petugas kesehatan sembari mengangguk sopan.
Denzzel hanya terdiam lalu berkata tegas sembari menoleh ke arah tempat tidur dimana Amrita sedang berbaring disana.
"Amrita terkilir kakinya dan aku membawanya kesini meski agak lama sebab aku harus menggendongnya serta berjalan jauh sampai ke tempat ini", ucapnya.
"Oh, ya, saya akan segera memeriksanya", sahut petugas kesehatan sembari menghampiri tempat tidur yang tersedia di ruangan kesehatan.
"Sebelah kanan, kakinya terkilir ketika dia melangkah maju sepertinya terpelesat", kata Denzzel.
"Ya, saya akan melihatnya", sahut petugas itu.
"Jangan asal dilihat saja, tapi juga diobati kakinya yang terkilir, aku tadi sudah mengurutnya, sayangnya masih tidak sembuh", kata Denzzel.
"Ya...", sahut petugas kesehatan canggung sembari tersenyum kaku.
"Tolong periksa saja dia !" sambung mandor Tobin saat petugas kesehatan terlihat canggung serta bingung dengan ucapan Denzzel Lambert.
"Ya, baik, baik", sahut perawat itu tanggap seraya membuka kotak medis dari atas meja kesehatan.
Denzzel hanya duduk mengawasi saja, kegiatan yang dilakukan oleh perawat jaga itu ketika wanita berseragam hijau tua motif kotak-kotak itu memeriksa pergelangan kaki milik Amrita Blanco yang terkilir.
"Sepertinya agak bengkak kakinya, memang dia terkilir sehingga menimbulkan warna merah membiru", kata perawat kesehatan.
"Apa ada obatnya disini sebab dia tidak bisa berjalan jauh lantaran kakinya bengkak", sahut Denzzel lalu beranjak bangun dari kursi kemudian berjalan mendekat ke arah sisi tempat tidur.