NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 18 - Petunjuk Baru

Mendengar pertanyaannya itu aku langsung menyipitkan mata, mencoba memberinya pemahaman. “Ada atau tidak urusan yang akan kulakukan di sana, bukankah seharusnya kamu tidak ikut campur?”

Detik itu juga Darius mengangguk seraya mengangkat kedua tangan, dia tampak gelagapan—sepertinya takut dianggap demikian.

“Tentu saja. Aku hanya bertanya. Kamu tidak perlu merasa terlalu percaya diri, berpikir bahwa aku begitu peduli untuk tahu soal itu,” ungkapnya sedikit menyolot, tampak sekali sedang membela diri.

Sejurus kemudian aku membuang pandangan. “Oh, ya? Tapi sayang sekali, ekspresimu tadi tidak berkata seperti itu.”

“Memangnya siapa kamu? Pakar ekspresi?”

Lebih baik aku meng-iyakan saja—buru-buru melangkah pergi, ketimbang harus berdebat dengannya yang hanya akan menguras tenaga. Setelahnya, sempurna aku membalikkan badan, siap melangkah pergi. Enggan berlama-lama di sini dan berkutat dengan obrolannya yang bisa-bisa aku kembali merasa terpojok.

Melihat pekerjaan rumah sudah aku kerjakan, aku pun kembali ke kamar. Mengambil laptop, ponsel dan earphone. Masih ada yang perlu aku lakukan: mencari informasi lain terkait mendiang Soraya.

Langit menjelang siang menumpahkan warna kuning terang di atas garis cakrawala. Suara ombak memecah dengan lembut di bibir pantai, menciptakan ritme alami yang menenangkan.

Aku duduk di atas tikar tipis, tepat di bawah pohon besar yang rindang. Di hadapanku, laut terbentang luas—tapi pikiranku terpusat pada layar laptop yang menampilkan wajah kakak angkatku dari sebuah unggahan lama.

Laptop terbuka di pangkuan, ponsel kugenggam erat di tangan kiri. Pantai ini sepi, hanya ada jejak kaki yang kubuat sejak turun dari rumah. Inilah satu-satunya tempat yang membuatku bisa bernapas lega—lepas dari tatapan orang-orang, termasuk Darius.

“Aku sudah memeriksanya hingga tandas semalam. Tetapi aku masih penasaran, seorang Kak Soraya pasti memiliki akun lain. Seperti akun privat, hanya orang-orang tertentu yang boleh tahu. Aku yakin itu!”

Mengandalkan keyakinan tersebut, aku kembali menyelami akun sosial medianya—stargram. Kali ini lebih cermat, setiap foto apapun pasti akan selalu aku periksa tepat dibagian penanda.

Dan benar saja, baru setengah jalan menyelami akun tersebut aku menemukan beberapa nama akun yang dicantumkan dalam sebuah unggahan foto. Memang, sepertinya bukan akun ke-dua milik mendiang kakak angkatku. Tetapi akun misterius yang barangkali itu milik kekasihnya.

Jari-jariku menggulir layar perlahan, membaca setiap komentar, mencermati tag dan nama-nama yang terhubung. Sebagian besar komentar hanya basa-basi, tapi ada satu akun—dengan nama pengguna yang samar, yang beberapa kali muncul di unggahan tertentu. Komentarnya tak pernah terlalu frontal, bahkan hanya emoji saja.

“Dipta dua enam?” Keningku mengerut persis ketika membaca username akun yang aku curigai.

Dipta26 begitu tulisannya, tidak ada yang spesial memang. Tapi begitu kutelusuri dengan lebih teliti, rupanya dia adalah pria yang selama ini Soraya pamerkan di akunnya—meski hanya siluet ataupun foto yang membelakangi kamera.

Akun tersebut memang tidak terlihat menonjol seperti akun lain yang kerap memenuhi kolom komentar lainnya. Sekalinya muncul, itupun hanya memberi komentar singkat seperti: mon amour.

Yang kutahu artinya adalah ‘cintaku’ dan itu dari bahasa Prancis, sisanya dia hanya membubuhi kolom komentar dengan emoji love putih.

Tak pelak lagi! Aku diam-diam berseru. Dengan gesit meng-klik akun tersebut. Tetapi kesenangan yang mangkrak di wajahku begitu cepat terhapus, laksana angin yang menyapu debu.

Akun tersebut terkunci. Tapi yang membuatku bersemangat untuk mencari tahu apa isi di dalam akun tersebut, karena banyaknya postingan. Tentu aku menduga-duga, bisa saja itu ada sangkut pautnya dengan mendiang Soraya.

Namun...

“Aku khawatir ... jika aku langsung meminta permintaan untuk mengikuti akun itu, barangkali dia akan curiga.” Tanganku mengusap-usap dagu, mencoba berpikir.

“Bagaimana kalau aku membuat akun baru?”

Tanpa perlu menunggu lama, setelah menyalin nama username tersebut—berjaga-jaga siapa tahu aku lupa, buru-buru aku berpidah ke halaman lain. Siap membuat akun baru.

Tapi melalui ujung mata, aku menyadari sesuatu. Ada yang datang—atau bahkan sudah ada di sekitarku saat ini. Aku bisa merasakan kehadirannya.

Segera aku melepas earphone, mendongak usai mendapati sepasang kaki yang berdiri tak jauh dariku. Tak lain lagi, itu Darius. Dalam hati aku melenguh, kenapa dia begitu repot datang ke sini?

“Ada apa, Mas? Kamu sedang sakit, lho. Kamu butuh sesuatu?”

Sebelum berdiri, aku menutup laptop dan membereskan secara asal beberapa barang yang kubawa. Mencoba bersikap tenang agar dia tidak curiga.

Darius masih bergeming di tempat, tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu. Mengingat kondisinya yang amat mengkhawatirkan beberapa jam lalu dan dibandingkan dengan yang saat ini sedang berdiri dihadapanku, dia belum bisa dikatakan baik untuk bisa datang ke sini.

“Sedang apa kamu di sini, Soraya?”

Aku mengalihkan pandangan, deburan ombak di samping berhasil menarik perhatian. “Seharusnya aku yang bertanya, kamu sedang apa? Kenapa kamu mengganggu---”

“Ayo kita ke kota sekarang, Soraya,” selanya yang membuatku berkedip-kedip.

Dengan kondisinya yang begini? Apa yang membuatnya begitu nekat? Aku tidak habis pikir, meski sebenarnya ini ada baiknya untukku. Tapi aku tidak setega itu.

“Jangan mengada-ngada,” kataku sembari berjalan melewatinya, “Cepatlah kembali masuk, aku tidak mungkin bisa mengangkatmu jika kamu pingsan di sini, Mas. Atau kamu mau jika aku menyeretmu nanti.”

“Aku sudah menelepon sopir.”

Persis perkataan itu terlontar, aku menghentikan langkah. Menoleh ke belakang sesaat, tidak ada keraguan di wajahnya.

“Satu jam lagi dia sampai. Berkemaslah, bawa barang penting yang akan kamu bawa, Soraya,” katanya lagi.

Aku mengangkat bahu, mencoba tak peduli jika dia terlalu memaksakan diri. Toh, sejak awal kami sepakat untuk tidak terlalu masuk ke dalam urusan pribadi masing-masing, maka sudah resikonya jika ada hal yang tak diinginkan tak terjadi.

***

Suara koper yang beradu dengan kerikil di halaman kecil itu jadi penanda bahwa hari ini, perjalanan kami akan dimulai kembali. Matahari belum sepenuhnya meredup, namun langit jingga yang bersih menandakan hari yang cerah, sayang sekali aku akan melewatkan pemandangan seperti ini beberapa hari atau bahkan minggu ke depan.

Aku berdiri di samping mobil, menunggu Darius yang masih di dalam rumah, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Mobil hitam mengilap terparkir di tepi jalan setapak. Pak Sopir berdiri di samping pintu, menyeret dua koper, disusul oleh Darius dari belakang.

Kami duduk di bangku belakang. Suasana di dalam mobil sunyi, hanya suara mesin dan semilir angin yang masuk dari kaca sedikit terbuka. Aku melirik ke arah Darius. Pandangannya kosong menatap keluar jendela. Tapi tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Erat.

“Katamu, kita tidak akan tinggal di rumah orang tuamu. Kamu sudah tahu kita akan tinggal di mana, Mas?”

“... Dan kenapa kamu tiba-tiba ingin kita berangkat hari ini, Mas?” tanyaku lagi, memberondong pertanyaan.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!