"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Pelarian Tengah Malam
Suara sirine menggema di seluruh kompleks akademi, memecah keheningan malam yang seharusnya tenang. Lampu-lampu dinyalakan dengan tergesa, pintu-pintu barak terbuka serempak, dan langkah-langkah berat para taruna terdengar bergemuruh. Beberapa yang sedang tertidur langsung terbangun dan bergegas mengenakan seragam lengkap.
Cakra, yang baru saja selesai mencatat rotasi jaga malam, sontak berdiri dari bangkunya begitu mendengar dering sirine. Naluri kepemimpinannya langsung aktif. Ia meraih peluit di lehernya dan meniupnya keras-keras. “Semua keluar! Baris di halaman sekarang juga!” teriaknya. Satu per satu, para taruna berlari dan membentuk barisan di depan barak dengan sigap. Cakra berjalan cepat di depan mereka, memegang daftar nama dan mulai memeriksa kehadiran satu per satu. Suaranya tegas, namun tetap terkontrol.
“Satu... dua... tiga...”
Namun saat hampir mencapai akhir daftar, keningnya berkerut. Ia memeriksa ulang nama-nama yang sudah disebut. Hatinya mulai tak enak. Satu nama tak terdengar dijawab. Ia menoleh ke barisan dan bertanya lantang, “Arlan? Mana Arlan?” Tak ada jawaban. Beberapa pasang mata mulai saling pandang. Cakra menatap tajam ke arah mereka, lalu menoleh ke salah satu taruna yang berdiri di ujung.
“Kapan terakhir ada yang lihat dia?” tanyanya. Tak ada yang menjawab. Suasana berubah tegang. Cakra mengepalkan tangan, firasat buruk mulai merayapi pikirannya. Dan saat suara langkah pelatih mendekat dari arah pos komando, Cakra tahu malam itu tidak akan berakhir dengan tenang.
Langkah cepat dan berat terdengar dari arah koridor. Seorang pelatih senior muncul dengan wajah tegang dan mata menyapu cepat ke arah barisan. Tanpa basa-basi, suaranya membelah udara malam yang dingin.
“Siswa Arlan tidak terlihat sejak sore! Ada laporan dari pos gerbang bahwa ia melewati perbatasan tanpa izin!”
Gemuruh pelan terdengar di antara para taruna, tapi segera terdiam saat pelatih melangkah ke depan. “Ini bukan sekadar pelanggaran disiplin biasa. Ini bisa dianggap pembangkangan!”
Cakra berdiri tegak, sorot matanya tajam. “Izin, pelatih. Saya ikut dalam tim pencari.”
Pelatih menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Baik. Kau pimpin regu satu. Sisir wilayah barat dan sekitar lapangan pelatihan. Tim dua ke arah asrama tamu. Tim tiga ke gerbang utama.”
Cakra segera mengangkat tangan memberi aba-aba. Beberapa taruna mengikutinya dengan langkah cepat. Sementara itu, para penjaga gerbang diperintahkan untuk tetap waspada dan menutup seluruh akses keluar. Jalan utama juga dijaga ketat. Tidak ada yang boleh lolos malam itu.
Langit semakin gelap, dan ketegangan mulai terasa menggantung di udara. Dalam hati, Cakra hanya bisa berharap mereka belum terlambat.
Malam semakin larut ketika tim pencari tiba di pos luar gerbang. Seorang penjaga yang bertugas tampak gelisah, lalu maju memberikan laporan.
"Ada mobil mencurigakan keluar dengan kecepatan tinggi sekitar lima belas menit lalu. Penumpangnya dua orang muda—laki-laki dan perempuan," ucapnya cepat.
Pelatih yang ikut mendampingi langsung memanggil Polisi Militer. Dalam waktu singkat, dua mobil patroli bersiap di halaman, lampu sorot mulai dinyalakan.
Cakra, yang ikut memimpin, langsung menaiki salah satu mobil. Hatinya berdetak cepat, pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk. Jalanan kampung yang sempit dan berkelok membuat kejaran terasa menegangkan. Semua fokus tertuju pada satu titik: menemukan Arlan sebelum semuanya terlambat.
Beberapa menit kemudian, lampu belakang sebuah mobil terlihat di kejauhan, melaju kencang dan meliuk di tikungan.
"Itu dia!" teriak salah satu anggota PM.
Mobil Cakra mempercepat laju. Saat jarak semakin dekat, wajah Arlan tampak jelas di kursi pengemudi. Di sampingnya duduk Laras, yang terlihat cemas dan terus menoleh ke belakang.
Cakra menggeleng perlahan. “Apa yang kau pikirkan, Lan…” gumamnya lirih.
Sementara itu, unit belakang mulai mengatur posisi untuk memotong jalur pelarian.
Mobil yang ditumpangi Arlan akhirnya terpaksa berhenti di sebuah tikungan sempit, terhadang oleh dua kendaraan Polisi Militer yang memotong jalur dari arah berlawanan. Lampu sorot menerangi seluruh bagian mobil, membuat Laras panik dan Arlan mulai gelisah.
“Keluar dari kendaraan! Angkat tangan dan berlutut!” suara tegas petugas menggema di tengah malam.
Alih-alih menyerah, Arlan membuka pintu kanan dan mencoba kabur sambil mengayunkan tinju ke salah satu petugas yang mendekat. Situasi memanas seketika.
Namun sebelum sempat melarikan diri, Cakra lebih dulu melompat dari arah samping. Ia menerjang Arlan hingga keduanya jatuh berguling di tanah berpasir.
Dengan refleks terlatih, Cakra segera mengunci tubuh Arlan, menekuk tangannya ke belakang. Petugas lain datang membantu dan memborgol Arlan dengan cepat.
“Lepas! Jangan sok pahlawan, Cakra!” teriak Arlan sambil memberontak, matanya penuh amarah. “Gue cuma pengen hidup bebas, ngerti?! Hidup bebas!”
Cakra tak membalas. Nafasnya berat, matanya menatap kosong ke tanah, seolah menyesali bahwa harus sampai seperti ini.
Sementara itu, Laras histeris saat ditarik oleh dua petugas sipil. Ia terus menangis, memohon agar Arlan dilepaskan, namun tak ada satu pun yang menggubris.
Di tengah kegaduhan itu, malam terasa makin sunyi. Cakra berdiri pelan, menatap langit sebentar, lalu melangkah kembali ke dalam mobil taktis. Di dadanya, perasaan lega bercampur kecewa bergemuruh tanpa suara.
Di ruang interogasi yang dingin dan sepi, Arlan duduk dengan tangan diborgol, menatap tajam ke arah meja di depannya. Seorang perwira pengawas dan dua petugas Polisi Militer duduk di hadapannya, mencatat dan melontarkan pertanyaan satu per satu.
“Apa alasanmu meninggalkan kompleks akademi tanpa izin resmi?” tanya sang perwira dengan suara datar.
“Itu bukan kabur,” sahut Arlan cepat. “Saya sudah ajukan izin. Cuma… belum sempat disetujui.”
Suasana hening sesaat. Kemudian perwira lain menggeser sebuah berkas. “Penjaga gerbang tidak menerima surat izin apa pun. Kamera pengawas mencatat kamu keluar secara ilegal. Bahkan kamu sempat memanipulasi jadwal piket. Ini pelanggaran serius, Arlan.”
Cakra berdiri di balik kaca satu arah, menyaksikan semuanya dari ruang observasi. Pikirannya penuh. Ini bukan hanya soal aturan dilanggar—ini soal seorang sahabat yang memilih jalan yang salah, dan ia harus menyaksikan kehancuran itu sendiri.
Ia teringat masa-masa awal bersama Arlan: latihan fisik bersama, berbagi makanan, saling menyemangati. Tapi kini, jarak di antara mereka bukan lagi ruang atau waktu—melainkan prinsip.
Akhirnya, sidang internal akademi memutuskan: Arlan dinyatakan dropped out. Ia resmi dikeluarkan dari akademi dan akan menjalani sanksi disiplin berat dari institusi militer.
Sore menjelang malam, suasana akademi kembali hening. Di depan barak, Cakra berdiri seorang diri. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah lembap.
Ia menatap ke langit gelap yang dipenuhi bintang. Dalam diam, ia bergumam pada dirinya sendiri, “Menjadi pemimpin itu bukan tentang siapa yang paling disukai… tapi siapa yang sanggup menegakkan yang benar, bahkan kalau itu harus melukai.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Cakra merasakan betapa sepinya berdiri di garis terdepan.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf