Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pagi itu, sekolah kembali dipenuhi hiruk pikuk suara siswa. Lorong panjang dipenuhi obrolan, tawa, dan langkah kaki yang terburu-buru. Di kelas 11 IPA 2, Arka dan Aksa duduk santai di bangku mereka, dikerubungi sahabat-sahabat yang sudah akrab.
Namun, ada satu orang yang tidak ikut ribut. Cakra.
Ia duduk di bangku pojok, membuka buku catatan, pura-pura menulis sesuatu. Padahal pikirannya melayang jauh… ke sosok yang baru ia kenal sehari sebelumnya.
Celia Bagaskara.
Nama itu terus bergaung di kepalanya, meski ia mencoba menutupinya dengan wajah dingin yang selalu ia pakai.
---
Sejak hari itu, Cakra tahu satu hal, ia ingin lebih dekat dengan Celin.
Bukan dengan cara ramai-ramai seperti Dimas yang suka bercanda, atau Reno yang suka membuat komentar. Bukan juga dengan gaya Arka dan Aksa yang protektif.
Ia memilih jalannya sendiri. Jalan yang sunyi. Jalan yang tenang.
---
Hari pertama “perjuangannya” dimulai tanpa ada yang sadar. Saat kelompok belajar kembali berkumpul di rumah Bagaskara untuk melanjutkan proyek sains, Cakra sengaja datang lebih awal dari yang lain.
Arka yang membuka pintu agak kaget.
“Lho, biasanya lo paling akhir, Cak. Kok sekarang udah nongol duluan?”
Cakra hanya mengangkat bahu. “Kebetulan lewat lebih cepat.”
Jawaban aman. Tidak ada yang curiga.
Padahal alasan sebenarnya: ia ingin melihat Celin lebih lama.
Dan benar saja. Saat masuk, ia menemukan Celin sedang duduk di meja makan, berkutat dengan dokumen kuliahnya. Rambut panjangnya jatuh menutupi wajah, sesekali ia menyibakkannya dengan gerakan kecil.
Cakra berhenti sebentar, mengamati. Ada rasa hangat di dadanya.
“Eh, kamu… datang duluan?” Celin mengangkat wajah, sedikit terkejut melihatnya.
Cakra mengangguk. “Iya. Ada yang bisa kubantu?”
Celin tersenyum kecil. “Bantu Kakak bikin kopi aja, bisa?”
Ia berdiri, tanpa banyak bicara, lalu membuat kopi hitam dengan gerakan terlatih. Celin mengamati dengan heran. “Wah, kamu bisa juga bikin beginian. Rapi banget.”
Cakra hanya menaruh cangkir itu di hadapannya. “Hati-hati panas.”
Senyum Celin mengembang. Sederhana, tapi cukup membuat Cakra merasa puas seharian penuh.
---
Hari-hari berikutnya, Cakra mulai menyusun langkah-langkah kecil.
Ia selalu datang lebih cepat. Bukan hanya untuk proyek, tapi juga saat kebetulan ada alasan singgah di rumah Bagaskara. Kadang membantu menurunkan buku-buku Arka, kadang sekadar menitip barang.
Tapi diam-diam, ia selalu mencari cara untuk bisa bertemu Celin.
Kalau Celin sedang menjemur pakaian di halaman belakang, Cakra pura-pura lewat sambil menanyakan soal eksperimen. Kalau Celin berada di dapur, ia tiba-tiba muncul dengan alasan haus, lalu dengan tenang membantu memotong sayur.
Tidak pernah berlebihan. Tidak pernah mencolok.
Semua langkahnya seperti bayangan—selalu ada, tapi tak pernah benar-benar terlihat.
Dan Celin, dengan kepolosannya, tidak pernah curiga. Baginya, Cakra hanyalah sahabat adik-adiknya yang kebetulan sering membantu.
---
Namun, tidak semua orang buta.
Aksa mulai menyadari. Ia memperhatikan cara Cakra terkadang menoleh sekilas pada Celin, atau bagaimana ia selalu sigap berdiri ketika Celin membutuhkan sesuatu.
“Aneh,” gumam Aksa suatu sore pada Arka. “Lo nggak liat? Cakra itu kayak… selalu ada tiap Kak Celin butuh bantuan.”
Arka mengernyit. “Ya emang orangnya perhatian aja kali.”
“Tapi lo liat nggak tatapan matanya?” Aksa menatap serius.
Arka terdiam sebentar, lalu malah tertawa. “Hahaha, lo kebanyakan drama. Mana mungkin Cakra naksir Kak Celin? Dia itu dingin, nggak pernah peduli sama cewek.”
Aksa tidak menjawab. Tapi hatinya masih gelisah.
---
Sementara itu, bagi Cakra, semua komentar orang tidak penting. Yang ia tahu hanyalah… semakin lama ia mengenal Celin, semakin kuat rasa itu tumbuh.
Sore itu, saat kelompok belajar bubar, Celin masih duduk di teras dengan laptop. Semua sudah pulang, kecuali Cakra yang pura-pura membereskan buku lebih lama.
Ia lalu menghampiri.
“Kak Celin, jangan terlalu lama di depan laptop. Nanti matanya sakit.”
Celin menoleh, tertawa kecil. “Kamu perhatian banget, ya. Padahal kita nggak terlalu kenal.”
Cakra menunduk, menyembunyikan senyumnya. “Kadang… nggak perlu terlalu kenal untuk peduli.”
Celin terdiam sesaat, lalu hanya tersenyum. “Kamu ini… aneh.”
Dan bagi Cakra, itu cukup.
---
Semakin hari, langkah kecilnya semakin banyak.
Ia mulai menghafal hal-hal kecil tentang Celin:
Bahwa ia lebih suka teh hangat daripada kopi.
Bahwa ia selalu mengikat rambut ketika serius bekerja.
Bahwa ia suka menulis catatan kecil dengan pensil, bukan pulpen.
Semua detail itu Cakra simpan, diam-diam, tanpa ada yang tahu.
---
Pernah suatu malam, hujan turun deras. Kelompok belajar harus tetap mengerjakan proyek, tapi beberapa teman tidak bisa pulang. Rumah Bagaskara penuh.
Saat listrik tiba-tiba padam, suasana jadi kacau. Dimas menjerit, Reno, Alfa sibuk mencari senter. Arka dan Aksa mengatur keadaan.
Tapi di tengah kekacauan itu, Cakra justru tenang. Ia berjalan ke dapur, mengambil lilin, lalu menyalakannya. Ia menaruh satu lilin di dekat Celin yang duduk cemas.
“Jangan takut,” ucapnya singkat.
Celin menoleh, dan dalam cahaya redup lilin itu, ia melihat wajah Cakra lebih jelas dari biasanya. Serius, tapi juga menenangkan.
“Aku nggak takut. Cuma… kaget,” jawab Celin pelan.
Cakra hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya. Tidak banyak bicara, tapi kehadirannya saja sudah cukup membuat Celin merasa aman.
---
Hari berganti, dan semakin sering mereka bertemu, semakin jelas bagi Cakra bahwa perasaannya bukan sekadar kagum. Ini lebih dalam.
Namun, ia memilih menyimpannya rapat-rapat. Ia tidak ingin ada yang tahu tidak Celin, tidak Arka, tidak Aksa.
Ia hanya ingin berada di sisinya, pelan-pelan, tanpa terburu-buru.
Bagi Cakra, mengejar cinta bukan tentang menyatakan. Bukan tentang hadiah mewah atau kata-kata manis. Tapi tentang hadir… setiap saat Celin membutuhkannya.
Tentang menjadi seseorang yang selalu ada di latar, tanpa perlu menuntut apa pun.
---
Dan Celin?
Ia tetap seperti biasa. Polos, sibuk dengan kuliah dan tanggung jawabnya. Sesekali ia menyadari bahwa Cakra memang lebih perhatian dibanding yang lain, tapi tidak pernah ia artikan lebih dari sekadar kebaikan.
Baginya, Cakra hanyalah anak pendiam yang baik hati.
Ia tidak pernah menduga bahwa di balik ketenangan itu, ada hati yang berdegup kencang hanya untuknya.
---
Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, Celin berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang berwarna jingga. Angin sore menerpa rambutnya.
Di bawah, di jalan depan rumah, Cakra berdiri dengan sepeda yang baru saja ia kayuh. Ia menengadah, melihat Celin tanpa disadari.
Dan dalam hati, ia berbisik pelan.
“Aku nggak butuh dunia tahu. Aku cuma butuh tetap bisa melihatmu seperti ini.”
Lalu ia mengayuh sepedanya pergi, meninggalkan jejak langkah tenang yang tak seorang pun sadari.
Kecuali hatinya sendiri, yang kini telah terikat pada Celia Bagaskara.
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭