"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Maya kembali ke rumahnya sore itu, pikirannya berkecamuk. Sentuhan punggung tangan Arya, tatapan matanya, dan tawaran untuk membahas buku-buku kuno. Semua itu berputar-putar di benaknya. Ia sudah mencatat nomor ponsel Arya di buku catatannya. Sebuah langkah kecil, namun terasa begitu besar.
Malam harinya, Maya mencoba bersikap biasa saja di depan Tama. Ia menceritakan tentang pekerjaannya yang lancar, tentang rumah Arya yang besar, tapi ia sengaja tidak menyebutkan interaksi pribadinya dengan majikannya.
"Jadi, bagaimana? Gajinya benar-benar besar?" tanya Tama saat mereka makan malam. Nada suaranya terdengar antusias.
Maya mengangguk. "Iya, Mas. Bi Sumi juga sudah kasih tahu perkiraan gajinya. Jauh di atas rata-rata."
Mata Tama berbinar. "Alhamdulillah! Syukurlah kalau begitu, Yank. Berarti nanti kita bisa mulai menabung untuk perbaikan bengkel, ya? Atau untuk modal beli alat baru."
"Iya, Mas. Tentu saja," kata Maya, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa bersalah. Ia tahu uang ini akan sangat membantu, tapi motif di balik penerimaannya
Bukan hanya itu.
Tama terlihat jauh lebih ceria malam itu. Ia bahkan sempat mengelus kepala Maya. "Terima kasih ya, Yank. Kamu memang istri yang paling bisa diandalkan."
Pujian itu terasa hambar di telinga Maya. Ia tahu Tama tulus, tapi ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang ia dapatkan dari Arya, meskipun hanya sebatas tatapan dan sentuhan 'tak sengaja'.
***
Dua hari berikutnya, Arya tidak terlihat di rumah. Bi Sumi menjelaskan bahwa Arya sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota. Maya merasa sedikit lega, sekaligus anehnya, merasa ada sesuatu yang hilang. Rumah besar itu terasa lebih sepi tanpa kehadiran Arya.
Namun, di hari ketiga, saat Maya sedang membersihkan di ruang keluarga menjelang sore, ia mendengar suara mobil yang familier. Arya sudah pulang. Jantungnya langsung berdebar.
Tak lama kemudian, Arya muncul di ambang pintu ruang keluarga. Ia mengenakan celana bahan dan kaos polo. Wajahnya terlihat sedikit lelah, namun senyum tipis itu tetap ada.
"Mbak Maya, belum pulang?" sapanya.
"Belum, Tuan. Tinggal sedikit lagi," jawab Maya, segera menegakkan tubuh dari posisi membungkuk saat membersihkan meja.
Arya mengangguk. Ia berjalan menuju sofa, lalu duduk. Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sesaat. "Hari yang panjang."
Maya sedikit ragu, namun rasa penasarannya lebih besar. "Tuan Arya baru pulang dari luar kota?"
Arya membuka mata. Ia menatap Maya. "Iya. Rapat dan presentasi yang melelahkan." Ia tersenyum tipis. "Tapi saya senang bisa pulang. Rumah ini terasa lebih nyaman kalau ada orangnya."
Maya merasakan pipinya sedikit memanas. "Terima kasih, Tuan."
"Anda mau minum? Saya mau buat teh hangat. Atau kopi?" Arya bertanya, nadanya ramah.
"Tidak usah, Tuan. Saya sebentar lagi juga pulang," tolak Maya, seperti biasa.
"Jangan menolak terus, Mbak Maya. Saya tidak akan menggigit," Arya terkekeh. "Setidaknya, temani saya minum sebentar. Saya butuh teman ngobrol. Bi Sumi sudah pulang kan?"
Maya menatap Arya. Ada nada lelah dan sedikit kesepian dalam suaranya. Perasaan aneh muncul di benak Maya. Ia melihat sisi rentan dari Arya. Ia mengangguk pelan. "Baik, Tuan. Teh hangat saja."
Arya tersenyum puas. "Bagus. Saya buatkan dulu." Ia beranjak ke dapur.
Maya melanjutkan pekerjaannya, namun pikirannya
terpecah. Ia akan minum teh bersama Arya. Ini adalah kali pertama mereka akan berbincang santai, di luar konteks pekerjaan.
Tak lama kemudian, Arya kembali membawa dua cangkir teh hangat di nampan. Ia meletakkan satu cangkir di meja depan Maya, dan satu lagi ia pegang.
"Silakan, Mbak Maya," kata Arya, duduk di sofa di depannya.
Maya mengambil cangkir itu. Aromanya harum. Ia menyesapnya pelan. "Terima kasih, Tuan."
"Sama-sama," Arya tersenyum. "Jadi, bagaimana hari ini? Ada masalah dengan pekerjaan?"
"Tidak ada, Tuan. Semua lancar," jawab Maya.
"Bagus," Arya mengangguk. Ia meneguk tehnya. "Anda suka teh?"
"Suka, Tuan. Apalagi kalau hangat begini," kata Maya.
Keheningan sesaat menyelimuti mereka. Bukan keheningan canggung, melainkan keheningan yang nyaman. Maya merasa sedikit rileks.
"Suami Anda tidak keberatan Anda bekerja sampai sore begini?" Arya tiba-tiba bertanya, suaranya pelan.
Jantung Maya sedikit tersentak. Pertanyaan itu mengarah ke kehidupan pribadinya. "Awalnya sedikit keberatan, Tuan. Tapi saya jelaskan, ini demi kami juga. Kami butuh penghasilan tambahan."
Arya mengangguk. "Saya mengerti. Kebutuhan hidup memang tidak ada habisnya." Ia menatap Maya, matanya mencari sesuatu di wajah Maya. "Anda punya anak?"
Pertanyaan itu menohok Maya. Ia merasa sedih setiap kali topik itu muncul. "Belum, Tuan." Suaranya berubah lirih.
Arya menyadari perubahan nada suara Maya. Ia menghela napas pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud... saya tidak tahu."
"Tidak apa-apa, Tuan," Maya tersenyum pahit. "Sudah coba berbagai cara, tapi memang belum rezeki."
"Saya juga pernah merasakan hal yang sama," kata Arya, suaranya melembut. "Dulu, saya dan istri saya juga sangat menginginkan anak. Kami sudah coba semuanya. Tapi Tuhan berkehendak lain."
Maya menatap Arya. Ada kesedihan yang nyata di matanya saat ia berbicara tentang mendiang istrinya. Sisi manusiawi Arya kembali terlihat. Maya merasa ada ikatan samar yang tiba-tiba terbentuk di antara mereka, ikatan karena kesamaan pengalaman.
"Saya turut prihatin, Tuan," kata Maya.
Arya mengangguk. "Terima kasih. Hidup memang penuh dengan ketidakpastian, ya. Kadang kita punya rencana A, tapi Tuhan berikan rencana B." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang kini terasa lebih melankolis. "Anda masih muda, Mbak Maya. Pasti masih ada kesempatan."
Maya hanya bisa tersenyum. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya aneh bisa berbicara tentang hal-hal pribadi seperti ini dengan majikannya, apalagi dengan Arya, pria yang begitu menarik perhatiannya.
"Ngomong-ngomong, tadi di gudang, Anda sempat lihat buku-buku saya kan?" tanya Arya, mengubah topik.
"Iya, Tuan," jawab Maya.
"Ada yang menarik perhatian Anda?"
Maya berpikir sejenak. "Saya tidak terlalu paham bahasanya, Tuan. Tapi sampulnya bagus-bagus."
Arya terkekeh. "Benar. Lain kali kalau ada waktu, saya bisa ceritakan lagi. Kalau Anda mau."
"Tentu, Tuan. Pasti menarik," kata Maya, senyumnya kini lebih tulus.
Mereka melanjutkan minum teh dalam keheningan yang nyaman. Sebuah keheningan yang kini terasa lebih intim. Matahari mulai terbenam di luar, memancarkan cahaya oranye keemasan ke dalam ruangan.
"Saya harus segera pulang, Tuan. Suami saya pasti sudah menunggu," kata Maya, meletakkan cangkir tehnya yang sudah kosong.
"Tentu," Arya mengangguk. Ia berdiri. "Terima kasih sudah menemani."
"Sama-sama, Tuan," Maya juga bangkit.
Mereka berjalan bersama menuju pintu utama. Saat
Maya akan membuka pintu, Arya tiba-tiba berkata, "Mbak Maya."
Maya menoleh. Arya menatapnya, matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perhatian majikan pada karyawannya. Sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibirnya.
"Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, atau butuh bantuan, jangan sungkan menelepon saya. Tidak perlu menunggu Bi Sumi," kata Arya, suaranya pelan, seolah hanya untuk didengar Maya. "Nomor yang saya berikan itu, nomor pribadi saya. Anda bisa hubungi kapan saja."
Maya merasakan jantungnya berdesir hebat. Arya menegaskan kembali. Nomor pribadi. Kapan saja. Sebuah undangan yang jelas, tak terbantahkan.
"Baik, Tuan. Terima kasih," jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.
"Hati-hati di jalan, Mbak Maya," Arya menatapnya dalam, sebuah tatapan yang membuat Maya merasa seluruh tubuhnya panas dingin. Tatapan yang mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan majikan-karyawan di antara mereka.
Maya mengangguk, lalu bergegas keluar. Udara sore terasa dingin di kulitnya, namun ia merasa seperti terbakar. Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu ia sedang bermain api. Tapi entah mengapa, ia tidak ingin berhenti. Justru ia ingin lebih. Lebih dari tatapan, lebih dari percakapan santai. Ia ingin tahu, sejauh mana batas itu akan terlampaui. Dan ia tahu, Arya juga menginginkan hal yang sama. Sebuah keinginan terlarang yang mulai tumbuh subur di antara mereka.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya