Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Kedatangan Biru di sambut hangat oleh para santri, Biru memang ramah, baik, dan tidak galak. Cara biru mengajari mudah di mengerti, hingga disukai oleh para santri. Mereka berbondong-bondong mengalami tangan Biru, sebagai salah satu bentuk rasa hormat dan santun.
"Waahhh akhirnya, kembaranku kembali." ucap Hamid riang, setelah para santri selesai menyalami Biru.
"Abah Yai, ada gak?" tanya Biru. Membuat ekspresi riang Hamid lenyap.
"Bisa gak sih, Ru. Kamu tanya kabar ku? Gimana kabar kamu bro? Udah makan bro? Atau apa kek, nah ini yang ditanyai Abah Yai lagi, Abah Yai lagi...." gerutu Hamid memanyunkan bibirnya seperti anak kecil.
Biru hanya tertawa pelan mendengar gerutuan sahabatnya, mereka berjalan menuju asrama. Namun langkah keduanya terhenti ketika mendengar suara yang sangat mereka kenal.
"Gus!" teriaknya sambil berlari.
Biru dan Hamid memutar tubuhnya, melihat gadis bergamis syar'i warna hitam berlari mendekati mereka.
"Assalamualaikum, Gus." ucapnya dengan napas sedikit tersengal-sengal, namun tetap menampilkan senyum manis nya.
"Walaikumsalam, Ning." sahut Biru sambil melirik Hamid yang mencebik di sampingnya.
"Ning kira, Gus gak akan balik lagi kesini. Abisnya, Gus kelamaan di kampung, gak kayak biasanya." kata Hilya sambil menundukkan kepalanya.
"Ya, kemarin ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di kampung. Jadi agak lama." kata Biru mengingat dirinya menunggu masa Iddah Hagia selesai dan akhirnya bisa melamar cinta pertamanya secara resmi.
"Berarti urusannya sekarang udah selesai kan, Gus? Gus gak akan pulang kampung lagi 'kan?" tanya antusias.
"Emmmm.... Abah ada di rumah, Ning?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Hilya menarik napas dalam-dalam, karena Biru tidak menjawab pertanyaan nya. Dengan berat hati ia menjawab, "Abah lagi menghadiri pengajian Akbar di kampung sebelah. Ba'da magrib nanti sudah di rumah." katanya lesu.
"Oh begitu, ya udah, aku ke asrama dulu. Assalamualaikum," pamit Biru.
"Walaikumsalam." Sahut Hilya, ia menghentakkan kakinya kesal, tapi di sisi lain ia juga senang Biru sudah kembali.
"Ru, kamu yakin gak ada rasa sama Ning Hilya?" tanya Hamid penasaran.
Biru yang sedang menyusun pakaian di lemarinya menoleh sesaat kearah sahabatnya yang malah tiduran diatas kasur sempit miliknya. "Itu kasur udah kamu kibas-kibas belum? Main tidur-tidur aja, nanti gatal-gatal."
Bukannya menjawab, Hamid yang tadinya tidur terlentang sambil menatap langit-langit kamar, kini memiringkan tubuhnya dan menatap Biru. "Ning Hilya itu cantik...."
"Cinta gak bisa dipaksa, Mid. Lagi pula aku sudah melamar orang yang aku cintai." katanya sambil tersenyum membayangkan wajah cantik Hagia.
Kata-kata Biru tak ayal membuat Hamid bangkit dari tidurnya dan duduk tepat di depan Biru. "Ngapain? Awas! Ganggu orang lagi beres-beres aja." ujar Biru, karena Hamid menghalangi kegiatan nya.
"Apa kamu bilang barusan? Melamar? Kamu melamar siapa, Ru?" tanyanya dengan nada kepo maksimal.
Biru mendengus kesal. "Kamu ngomong apa sih, Mid? Siapa juga yang melamar...." namun kata-kata Biru terhenti seketika, ia menggigit lidahnya karena merasa keceplosan.
"Kan! kan! Ayo ngaku, tega banget kamu merahasiakan hal sebesar ini dari sahabat! Kamu anggap aku sahabat gak sih? Masa aku gak tahu kalau kamu udah ngelamarrhhhtttt." Biru dengan cepat menutup mulut Hamid yang tidak berhenti mengoceh.
"Bisa diam gak?" matanya melotot, mengintimidasi Hamid. Hamid yang mulutnya masih dibekap tangan Biru hanya bisa mengangguk. Seketika Biru melepas tangannya.
"Hahhhhh, Alhamdulillah hahhhh hahhh" ucap Hamid menghirup oksigen banyak-banyak. "Tega banget kamu ya," cibirnya.
"Awas aja itu mulut ember mu, jangan sampai bocor kemana-mana!" ancamnya.
"Iya, iya. Tapi ceritain." pintanya, ia masih sangat penasaran tentang wanita yang berhasil mendapatkan hati seorang Banyu Sagara Albiru Bachtiar.
Biru merebahkan tubuhnya diatas kasur sempit itu, matanya menatap langit-langit kamar namun bibirnya tersenyum lebar Dangan mata terpejam. Hamid yang melihat itu sedikit merinding dan ikut melihat kearah plafon, tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum. Apalagi dengan menutup mata.
Perlahan, Biru mulai menceritakan tentang cinta pertamanya, yang menjadi motivasi nya masuk dalam pesantren. Hingga patah hati saat tahu cinta pertamanya menikah dengan pria lain, namun setelah setelah lika-liku yang dialaminya, kini Biru menuai hasil manisnya. Sebab selangkah lagi, ia akan menjadi suami cinta pertamanya.
"Wahhhh... Kisah cintamu kayak di novel-novel santriwati yang aku sita ya." kata Hamid berkomentar.
Biru menoleh dan terlihat Hamid melamun. "Aku pikir kisah cinta seperti mu hanya bisa aku baca di novel, tapi ternyata sahabatku sendiri yang mengalaminya." sambungnya.
Plakkk...
Biru mengeplak bahu Hamid, hingga empunya mengaduh kesakitan.
"As-Astaghfirullah, sakit, Ru!" keluhnya.
"Kamu sita novel anak-anak, tapi kamu sendiri malah baca itu novel! Benar-benar suri tauladan yang baik dan benar!" sindirnya.
Hamid tertawa sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku cuma iseng, gak ada niatan baca." elaknya, langsung mendapat tatapan tajam dari Biru.
"Simpan baik-baik novel itu, Mid. Kalau mereka sudah keluar dari sini, kamu balikin itu novelnya. Jangan sampai ketuker, rusak, apalagi hilang!" kata Biru memperingatkan.
"Iya-iya," sahut Hamid tanpa membantah.
"Dan satu lagi! Apa yang aku ceritakan padamu, itu hanya untukmu. Paham?" lagi-lagi Hamid mengangguk dengan pasrah.
.....
Ba'da isya, Biru sambang ke ndalem. Yaitu rumah utama Abah Yai Khalid berserta keluarga besarnya. Bukan pertama kali Biru sambang ke ndalem, namun kali ini terasa lebih berbeda. Karena ada beberapa hal.yang akan ia sampaikan.
"Sudah lama, Gus?" Abah Yai baru menemui bisa Biru.
"Belum, Bah. Assalamualaikum." ucap Biru sambil menyalami tangan Abah Yai.
Abah Yai Khalid tersenyum lembut melihat Biru yang tidak lupa tata krama dan sopan santun. "Walaikumsalam...." sahutnya.
"Ning, bilang kalau kamu di kampung ada urusan. Bagaimana urusanmu? Udah selesai?" tanyanya.
Biru memaksakan senyumnya, ia tahu apa yang akan ia sampaikan pasti melukai hati putri Abah Yai Khalid. Bukan Biru tidak tahu kalau Hilya menyukainya, namun karena nama Hagia masih bertahta dalam hatinya, Biru sengaja membatasi diri dari kaum wanita.
Pun dengan Hilya, meski wanita itu tidak pernah lelah dan terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Tapi Biru tidak menanggapi, ia bersikap biasa tanpa memberikan harapan walau sedikit. Biru baru akan membuka hati jika nama Hagia sudah tidak mendominasi hatinya, namun sekarang, nama itu tumbuh semakin subur dan mengembang.
"Gus," tegur Abah Yai.
"Oh em, maaf Bah." ucapnya pelan.
Abah Yai tertawa. "Ngelamunin apa sih?" tanyanya penasaran.
Biru hanya menggeleng. "Kedatangan Biru kali ini, Biru mau menyampaikan beberapa hal sama Abah." katanya pelan.
"Permisi, maaf mengganggu sebentar." ucap Hilya membawa nampan berisi dua cangkir teh, ia langsung menyuguhkan minuman hangat itu pada Biru dan Abah Yai. "Silahkan dilanjut lagi." katanya sambil tersenyum, dan melirik Biru sebentar.
"Terimakasih, Ning." ucap Biru dan Abah Yai.
Biru langsung meraih cangkir itu dan menyeruputnya, tenggorokan nya kerasa kering meskipun ia belum bicara apa-apa.
"Jadi, apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Abah Yai, ia bisa melihat jika Biru sangat gugup.
Biru mengangkat wajahnya melihat pria dengan sorban putih di lehernya, kemudian menunduk. "Ini terakhir kali saya membantu Abah mengajar para santri disini." Biru menghela napas dalam-dalam. "Karena saya akan fokus membantu Abi di Al-Hidayah, dan keluarga." katanya sangat pelan.
Abah Yai manggut-manggut mendengar penuturan Biru. "Jadi, kamu sudah mau menikah, Gus?" tanyanya, sebab Biru pernah bilang jika ia akan berhenti mengajar di pondok pesantren Darul Hikmah saat dirinya menikah.
Biru menatap Abah Yai dengan tatapan yang sulit di artikan, namun perlahan ia mengangguk pelan. Membuat seulas senyum terbit di bibir pria bersorban itu, tidak ada kemarahan atau apapun, meskipun ia tahu jika apa yang dikatakan Biru akan menyakiti hati putri bungsunya.
*
*
*
*
*
TBC