Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
“A–apa yang kau lakukan?” tanya Clara terbata, matanya membesar saat menyadari dirinya kini berada di pangkuan suaminya.
Andrian tidak menjawab dengan kata-kata panjang. Ia hanya memeluk Clara erat, menundukkan kepala, lalu berbisik di telinganya dengan nada pelan tapi tegas, “Pulang.”
Kane yang berdiri di belakang mereka segera mendorong kursi roda perlahan menyusuri koridor rumah sakit.
Clara langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, pipinya memanas karena malu. “Aku bisa jalan sendiri, cepat berhenti! Jangan buat malu,” ujarnya berusaha bangkit, tapi pelukan suaminya terlalu kuat.
“Kenapa harus malu?” balas Andrian dengan nada tenang, bahkan tersenyum tipis. “Kita ini suami istri.”
“Jangan bercanda lagi. Aku sudah sehat, aku bisa jalan sendiri,” ucap Clara yang berusaha menahan degup jantungnya yang tak menentu.
Suster-suster yang lewat di koridor tersenyum kecil, sementara beberapa pengunjung menatap mereka dengan tatapan penuh rasa hangat.
Andrian menoleh pada Kane dan memberi isyarat dengan tangannya agar berhenti. Begitu kursi roda berhenti, Andrian menatap orang-orang di sekitar sambil tersenyum tipis.
“Apa kalian belum pernah melihat seorang suami memangku istrinya?” tanyanya santai.
Beberapa orang tertawa kecil. Clara yang sudah makin malu menunduk dalam-dalam, menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.
“Andrian…” ucapnya pelan, mencoba melepaskan diri, tapi pelukan pria itu malah semakin erat.
Melihat adegan itu, beberapa suster berbisik lembut sambil tersenyum, kagum pada kedekatan yang kini tampak nyata di antara keduanya.
“Mereka tahu kita pasangan. Jadi, untuk apa malu?” ucap Andrian lembut, nada suaranya tenang tapi mengandung ketulusan yang sulit disembunyikan.
Clara menunduk lebih dalam. “Aku bukan pasien lagi, jadi jangan perlakukan aku seperti pasien.”
Andrian menatapnya dengan lembut. “Kau benar. Kau bukan pasien.” Ia mengusap pelan punggung tangan Clara. “Kau istriku.”
Clara mengangkat kepalanya, menatapnya tajam. “Kita sudah bercerai secara resmi. Jangan lupa, kau yang menceraikanku dan menandatangani suratnya sendiri.”
Andrian tersenyum samar, matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa Clara baca. “Tidak ada proses yang sah, jadi tidak resmi. Sudah, istirahatlah dulu. Setelah tiba di rumah, aku akan membangunkanmu.”
Clara menatapnya bingung, hatinya mulai diliputi rasa campur aduk antara marah, haru, dan curiga.
“Tidak resmi? Apa maksudnya? Dan kenapa tiba-tiba dia berubah... begitu perhatian?” batinnya, menatap wajah Andrian yang kini tampak jauh lebih tenang namun juga menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
Malam hari.
Mansion pribadi milik Andrian tampak tenang. Lampu ruang kerjanya masih menyala lembut ketika pria itu duduk di sofa, membuka berkas laporan yang baru saja diberikan oleh asistennya.
“Tuan, ini laporan pemasukan dan pengeluaran bulan ini. Semuanya sudah saya periksa, tidak ada transaksi yang mencurigakan,” ujar Kane dengan sopan.
Andrian mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap tertuju pada angka-angka di depan, namun pikirannya jelas melayang jauh.
“Hm… mengenai proyek baru itu,” katanya datar, menutup map. “Kau yang lanjutkan. Aku akan mengambil cuti panjang. Aku tak ingin memikirkan urusan perusahaan untuk sementara waktu.”
Kane sedikit terkejut.
“Baik, Tuan. Akan saya atur.”
Suasana hening sejenak. Hingga ponsel di atas meja bergetar memecah keheningan. Nama yang muncul di layar: Ekin – Pengacara Pribadi.
Andrian menghela napas, lalu mengangkat panggilan itu.
“Halo.”
“Andrian, aku hanya ingin memastikan, apakah kau dan istrimu benar-benar akan bercerai? Semua dokumen sudah siap, termasuk pembagian aset seperti yang kau perintahkan,” ucap Ekin dari seberang.
Andrian terdiam sesaat. Tatapannya kosong, lalu suara beratnya terdengar tegas namun lembut.
“Tidak, Ekin. Aku dan Clara… tidak akan bercerai.”
“Akhirnya kau sadar juga,” jawab Ekin lega. “Istrimu itu tidak pernah menuntut apa pun darimu, Andrian. Bahkan aset yang kau ingin bagikan dulu, dia tolak mentah-mentah. Kau tahu, jarang sekali ada wanita seperti dia.”
Andrian menyandarkan tubuhnya, menatap ke arah jendela besar di seberang ruangan. Bayangan Clara terlintas di kepalanya—senyumnya, air matanya, dan tatapan kecewanya waktu ia menandatangani surat perceraian.
“Iya,” gumamnya lirih. “Dan aku hampir kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga dalam hidupku. Pernikahan ini adalah pilihanku, bukan pemaksaan atau demi keluarga." Andrian kemudian memutuskan panggilannya.
"Karena telah menikah, maka Clara adalah tanggung jawabku. Tidak peduli aku bisa hidup berapa lama. Selagi aku masih hidup aku akan menyembuhkannya dan keluar dari mimpi buruk," batin Andrian.