Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekeping ingatan masa lalu
"Vira ... "
Jeritan itu menggema di udara. Bersamaan dengan sosok laki-laki yang berlari menembus keramaian. Menerobos police line yang terpasang di sekeliling TKP. Langkahnya seperti tak seimbang. Membuat dirinya berkali-kali terpeleset. Ia tak peduli. Bahkan matanya tak beralih menatap ke sosok jasad seorang gadis berseragam putih biru yang sudah terbujur kaku.
Kakinya langsung lemas. Sendinya hampir tak bisa digerakkan lagi. Ia merangkak mendekat. Membawa tubuh tak bernyawa itu ke dalam dekapannya.
" Vira ... Adek ... Ini abang. Buka mata kamu. Jangan tinggalin abang. "
Cowok remaja itu tergugu. Kini meletakkan kepala sang adik ke pangkuan. Mengelus sayang surai halus itu. Tangannya bergetar hebat.
" Dek ... Kamu pasti bercanda kan? Ini ga benar kan? Dek? Jawab abang, please. "
Ia hanya bergumam sendiri. Tak ada jawaban sedikitpun. Hanya ada muka pucat dan tubuh yang kaku.
Ini mimpi buruk untuknya. Bagaimana tidak? Tadi pagi sebelum ke sekolah mereka masih sama-sama. Ia sempat mengantarkan gadis itu ke sekolah. Saling bercanda sepanjang jalan. Tapi, sekarang? Adiknya sudah tiada. Mata gadis itu terus tertutup. Tak mau menatapnya lagi. Selamanya.
Ia kembali menangis. Menangis kencang sekali. Sulit baginya untuk menerima fakta ini. Vira adalah adik satu-satunya. Ia menjaga gadis itu layaknya intan permata. Kenapa takdir sekejam ini?
" Maaf, nak. Jasad harus segera dibawa kerumah sakit. Kami akan melakukan otopsi untuk informasi lebih lanjut. " Ujar lelaki dewasa berseragam coklat lengkap__ polisi.
Remaja lelaki itu tak sedikitpun berniat menoleh. Ia sibuk menetralkan nafasnya yang masih sesak. Jantungnya seperti ada lubang yang menganga. Sepi. Kosong.
" Nak ... Kami akan segera memproses kasus ini. " Polisi tersebut berujar iba.
" Maksud bapak? " Tanya cowok itu lirih. Barulah ia mau menoleh.
" Kami beranggapan jika ini adalah kasus pembunuhan. Ada yang sengaja mendorong adik kamu dari lantai atas. Karena, tempurung kepalnya retak parah. Tapi, ini baru dugaan sementara. Bisa aja nak Vira ---"
" Adik saya buka type orang yang kayak gitu. Dia pasti dibunuh. Dia nggak bunuh diri. " Potong cowok remaja itu cepat.
Pak polisi yang melihatnya hanya mengangguk. Berusaha memahami perasaan cowok itu. Reaksi kayak gitu sudah wajar. Jadi, ia tak mendebat lagi.
" Saya dan rekan akan segera mencari tau. Saya akan mengabari ke pihak keluargamu untuk info selanjutnya. Percaya sama kami."
Cowok yang diketahui adalah abangnya Vira itu kembali menunduk. Pakaiannya kotor semua kena darah. Ia menatap ke wajah sang adik lagi lamat-lamat. Merekam setiap detail wajah cantik itu di otaknya. Pelan-pelan, bibirnya mendekat. Mengecup pelan dahi itu. Kemudian, bersusah payah menegakkan badan.
Ia baru sadar saat melihat ke sekeliling. Mendengus kesal. Ramai banget. Ada teman-teman Vira. Para guru. Orang-orang kepo sampai wartawan. Tak heran, pasti masing-masing memanfaatkan kejadian ini untuk kepentingan mereka sendiri. Entah untuk bahan berita di surat kabar, televisi, atau sekedar topik utama gosip murahan.
Jenazah Vira diangkat ke atas tandu. Tubuh nya di tutupi kain putih. Petugas mengangkut jasad itu ke dalam ambulance. Remaja cowok itu kembali memecahkan tangisnya saat kendaraan roda empat itu mulai bergerak.
Manusia yang tadi ramai-ramai ikut bersurai. Satu persatu meninggalkan tempat kejadian. Tersisa cuma dia seorang. Tangisnya masih belum berhenti. Kepalanya jadi tambah pusing.
Setelah berdiam cukup lama disitu.Ia memutuskan untuk pulang. Apapun yang terjadi, ia harus kasi kabar duka ini ke mama dan papanya. Di sekanya air mata dengan ujung jaket. Menarik napas dalam-dalam. Mencari ketenangan.
Kaki panjangnya mulai melangkah. Tapi, saat ia tak sengaja mendongak ke atas. Tampak jelas di matanya. Jelas. Ada orang di sana. Walaupun sosok itu menghadap ke samping. Namun, ini bukan sebatas siluet aja. Ini memang betul-betul jelas tampak wajah dan bentuk tubuhnya.
Raut wajah orang itu sangat shock. Pucat pasi. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya berguncang keras. Dan di tangannya __? Terjuntai sebuah kalung dalam genggaman itu. Kalung itu, punya Vira. Hadiah ulang tahun darinya.
Otomatis otaknya membuat kesimpulan. Orang itu __ orang yang membunuh adiknya. Emosinya meninggi. Kedua tangannya mengepal kuat. Andai saja ia bisa naik ke atas sana. Sudah ia pukul orang itu habis-habisan.
Tapi __ tidak. Ia tak akan langsung bertindak bodoh kayak gitu. Ia akan balaskan dendam ini dengan cara lain. Pembunuh itu akan hancur perlahan. Akan ia perlihatkan. Seperti apa bentuk rasa sakit yang sesungguhnya. Seringai terbit di bibirnya. Menyeramkan.
Ia kembali melangkah. Menuju ke motor yang terparkir sembarang. Memakaikan helm ke atas kepala. Menghidupkan mesin motor. Menarik gas kencang sampai menimbulkan bunyi yang memekakkan. Hitung-hitung melampiaskan emosi. Ia lirik sebentar ke loteng atas tadi. Kemudian pergi dari sana.
" Yang tenang disana ya, dek. Dikit lagi. Dikit lagi abang akan berhasil balas semua perbuatan pembunuh itu ke kamu. " Monolog seorang cowok yang masih berdiri di batas balkon.
Padahal sudah jam 10 malam. Tapi, ia masih enggan untuk masuk. Asap rokok mengepul di udara. Pandangannya menerawang jauh. Menembus awan yang mulai gelap. Keadaan di sekeliling mulai hening. Angin yang menyapa bulu roma nya, ia acuhkan.
Pikirannya masih betah menetap di tayangan ingatan masa lalu. Ingatan yang menyiksanya bertahun-tahun.
Beberapa menit berlalu. Ia tersentak kecil. Seperti baru menemukan barang yang dicari. Matanya kini mengedar pelan ke kiri dan kanan. Sebuah ide muncul di kepala. Ia sudah tahu. Bagaimana cara agar dendamnya terbalas. Kayaknya ia sudah tahu. Siapa yang harus dimanfaatkannya. Seseorang yang menjadi kelemahan 'si pembunuh' itu. Seseorang yang berguna sebagai batu loncatannya.
" Lihat aja, dek. Abang akan balas perbuatan dia. Sampai dia bener-bener hancur. " Gumamnya lagi.
" Abang ... Ternyata kamu disini toh. Kenapa belum bobo? Udah larut loh ini. " Sapaan lembut itu mengalun di telinganya.
Di pertengahan pintu balkon, sudah berdiri wanita paruh baya sambil memegang satu gelas air putih di tangan kanannya.
" Mama? Kenapa mama di sini? " Tanya cowok itu.
Ia sudah memutar badan sepenuhnya. Kedua siku masih bertumpu di atas pagar balkon. Tatapannya lurus ke arah sang mama.
" Kebiasaan. Bukannya dijawab pertanyaan mama. Malah balik nanya. Tadi, mama ke dapur buat minum. Iseng-iseng lihat ke kamar kamu. Tapi, kamu nya ga ada di ranjang. "
" Oh ... Aku lagi cari angin aja, ma. Rencananya juga mau tidur, kok. " Jawab cowok itu sekadarnya.
Wanita paruh baya tersebut melangkah lebih dekat. Senyum tak pudar menghiasai bibirnya. Di tiliknya sang anak dalam-dalam. Rambut yang berjatuhan sampai di atas alis sang anak pun ia rapikan.
" Kamu masih belum bisa lupa dengan kejadian yang menimpa adikmu di masa lalu, ya? "
Netra indah itu bergetar kecil. Tak salah lagi. Sudah bertahun-tahun cowok itu begini. Di rumah termenung sendiri. Kadang-kadang menangis saat melihat foto mendiang adiknya. Namun, saat di luaran bersikap berbanding sebaliknya.
" Lupa, ma? Ga akan pernah lupa. Karena kematian adek itu dipaksa. Bukan karena sakit. "
Suara berat namun rapuh itu menghantam gendang telinga. Wanita berusia kepala 4 itu ikut terenyuh mendengarnya.
" Tapi, sampai kapan kamu harus kayak gini, bang? "
" Sampai pembunuh itu sengsara. Sampai semuanya terbalaskan. " Jawabnya tegas.
" Memangnya kamu udah tau siapa dalang yang membunuh Vira? " Tanya sang mama lagi.
" Hm, tau. " Singkat, padat.
" Kamu yakin? Jangan sampai kamu menyesal. Karena kamu udah balas dendam ke orang yang salah. "
Badan cowok jangkung tersebut menegang. Dadanya berubah panas. Tiba-tiba saja ia batuk-batuk.
Uhuk
Uhuk
" Abang, kenapa nak? Loh, loh. Kamu merokok ya? Kan mama udah bilang. Stop ngerokok. Ini pasti karena asapnya deh. "
Wanita tua itu mulai mengomel. Tangannya mulai menepuk pelan punggung anaknya. Menyodorkan air putih yang dibawanya tadi. Sang anak melenguh panjang. Sungguh! Tak ada kaitannya batuk sama rokok, rutuknya dalam hati.
" Ma ... Mendingan mama balik ke kamar aja. Udah larut. Aku juga mau tidur. Yuk! " Putusnya.
Mamanya diam sejenak. Melihat kesal ke arah putranya. Selalu aja anak ini mengalihkan pembicaraan. Untung dia sayang, Huh!
" Yaudah. Tapi, kamu ngga papa kan? "
" Yeah, I'm ok, ma. "
" Kalau gitu, mama ke kamar dulu. Kamu udah bilang tadi, mau langsung tidur juga. Jangan bohong. Masuk. Bersih-bersih. Go, tidur. Di sini makin dingin. Oke, bang? "
" Iya, ma. "
Sang mama mulai berbalik badan. Satu kakinya sudah sampai di pertengahan pintu balkon. Tak menoleh penuh, hanya menghadapkan kepala ke samping bahu.
" Pikir-pikir lagi ya bang. Dendam kamu itu, jangan sampai menghancurkan diri mu sendiri. "
Tak ada tanda-tanda anaknya akan menjawab. Ia pun benar-benar keluar dari kamar besar itu.
Sementara, cowok ini masih diam di tempat. Kepalanya jadi pusing. Otaknya simpang siur mencerna perkataan sang mama. Menyesal? Itu tak mungkin. Yang ada, ia akan merasa puas nanti. Ya, pasti.
Tak mau terlalu larut dalam perasaan. Ia masuk ke dalam kamar. Ke kamar mandi sebentar. Sekedar gosok gigi dan cuci muka. Kemudian, bergerak ke sisi meja. Dimana letak lampu tidurnya berada. Ia matikan lampu itu.
Ia sempat terpaku pada wallpaper di ponselnya. Wallpaper dengan foto seseorang disana. Sakit di jantung nya datang lagi. Tak bisa lama-lama begini. Ia letakkan benda pipih bersegi panjang itu ke dalam laci meja.
Cowok itu menjatuhkan diri di atas kasur. Menambah suhu AC. Dingin memang. Tapi, inilah yang dibutuhkan untuk menetralkan rasa panas di dadanya. Akhirnya, mata yang tadinya masih terbuka melihat langit-langit kamar. Kini, mulai menutup. Kantuk mulai mendominasi. Perlahan, terdengar dengkuran halus dari sana. Mengisi sendu dan sunyi di kamar itu.