Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUTA
"Ibu tadi malam mimpi kamu memakai baju pengantin, tapi Akbar tak mau masuk ke rumah kita, hanya di depan pagar saja," ucap Ibu saat kami sarapan bersama.
"Apa artinya, Bu?" tanya Sultan, adikku yang sekarang duduk di kelas XII salah satu sekolah kejuruan, penasaran sembari menyuapkan menu sarapan. Sedangkan aku hanya diam, menganggap cuma bunga tidur saja.
"Itu artinya, gak jodoh!" ucap Bapak
santai. Aku berhenti mengunyah, mencerna ucapan sang Bapak, apa mungkin Ibu dan Bapak tidak merestui hubunganku dengan Mas Akbar? Padahal seminggu lagi, Mas Akbar akan melamarku.
"Wah, gak jadi nikah dong!" ledek Sultan, bikin anjlok mood di pagi hari. Aku diam saja tak berniat membahas lebih jauh lagi, toh ibu dan bapak tak memperpanjang lagi. Namun, hatiku gusar. Begitu sampai di kantor, aku segera menyalakan laptop dan searching arti mimpi yang disebutkan ibu.
Aku menelan ludah kasar karena makna mimpi itu sama persis dengan apa yang diucapkan Bapak. Tak puas dengan arti mimpi itu, aku pun ma1encari makna perhitungan weton. Ternyata wetonku jumlahnya lebih besar daripada weton Mas Akbar, dan yang paling membuatku terpaku adalah jumlah weton kami masuk dalam weton tidak baik yang berakhir pada perceraian. Tentu saja hasil browsing ini membuatku meragu akankah meneruskan pernikahan ini atau tetap lanjut.
"Pagi-pagi sibuk amat, Neng!" sapa Melda, teman dekatku di kantor, kami pernah satu kamar kos dulu saat kuliah di luar kota, dan kami diterima di kantor yang sama dan posisi yang sama juga. Sehingga, kita klop banget urusan pekerjaan.
"Urusan nikah," jawabku lemas, dan tahu ekspresi Melda bagaimana. Dia langsung berdecih sebal. Dia tahu riwayat percintaanku, 5 tahun pacaran dengan drama, sampai dia bosan.
"Disuruh putus tus tus sejak dulu malah balik lagi. Yakin deh emak sama bapak kamu gak bakal merestui," ucap Melda memprediksi dengan nada kesal. Aku hanya memonyongkan bibir, orang terdekatku semua tidak merestui.
"Emang kenapa sih sama Mas Akbar?" tanyaku ingin tahu penilaian orang terhadap pacarku itu.
"Heh, coba mata kamu lebar-lebar ya, Mira!" Melda sampai menatapku dengan wajah sinisnya. "Kamu sudah pacaran dengan Akbar sampai 5 tahun, sikapnya posesif yang bikin kamu gak berkembang sama sekali. Bayangkan ini masih jadi pacar tapi sudah mengatur hidup kamu sampai begininya. Kamu ingatkan, garap KTI, Anwar sampai dikatai kotor begitu. Gak semua cowok yang dekat sama kamu naksir kamu juga kali, Mir. Tapi kebangetan saja cowok kamu itu. Gak boleh ikut KKN, yakin deh setelah nikah kamu gak boleh kerja. Hem makan tuh cinta buta."
Aku diam saja, apa yang diungkap Melda memang benar, dan aku juga punya kekhawatiran kalau setelah nikah gak boleh kerja. Sifat cemburu Mas Akbar terlalu besar, sangat membatasiku untuk berkembang.
"Dan lagi," aku menoleh pada Melda yang hendak menyampaikan penilaian selanjutnya. "Dia itu ingin menguasai uang kamu. Kamu pernah ngomel kan saat Akbar pinjang uang beasiswa kamu buat bisnis pulsa, sampai sekarang apakah dibayar? Padahal saat itu kamu ingin beli printer."
Aku menggeleng, sudah aku anggap hilang uang beasiswa itu, gak aku tagih. "Bodoh kan kamu? Belum dinikahi saja udah mau pakai uang perempuan apalagi nanti saat nikah, beuh mokondo!"
Aku diam saja, tak membela Mas Akbar di depan Melda, karena sahabatku ini adalah orang pertama yang sangat keras tidak merestui hubunganku dengan Mas Akbar, sejak kejadian dengan Anwar dulu, Melda sudah tidak pernah suka dengan Mas Akbar. Bahkan sampai kita lulus, mana pernah Melda tegur sapa dengan Mas Akbar.
Mau sebaik apapun Akbar padaku, bagi Melda itu hanya modus saja. Bahkan Melda tak segan mengatai aku bodoh karena terlalu cinta pada lelaki itu. Aku sendiri heran kenapa masih tahan dengan Akbar, apa mungkin karena sudah terbiasa sehingga aku terima saja dengan sikapnya.
Bahkan saat aku dikatai budeg oleh Akbar aku terima saja, ya aku pikir dia hanya bercanda, dan sudah terbiasa, tapi saat Melda sempat mendengar aku dikatai budeg saat telepon, Melda yang marah sekali.
Kok kamu gak marah sih dikatai budeg. Jelas-jelas omongannya yang ambigu malah kamu yang dikatai budeg. Jangan-jangan saat di motor kamu gak dengar dikatai budeg terus?
Ya memang seperti itu awalnya, di atas motor aku gak dengar lama-lama dikatai budeg terus oleh Akbar. Batinku ya karena aku yang gak dengar, wajar kalau Akbar marah. Tapi bagi Melda, saat pacaran saja sudah berani omong kasar dan menghina, lebih baik gak usah dilanjut, karena itu adalah karakter Akbar yang tak bisa menjaga omongan.
Hem, kalau sudah begini. Masih kah aku bisa mundur? Dibilang cinta banget sih enggak, cuma karena sudah terbiasa jadi ya jalan aja. Tapi untuk mengakhiri, aku khawatir Akbar akan nekad bunuh diri, pernah kita ribut besar dan dia sudah minum cairan pembasmi nyamuk, aku sudah ketakutan, dan sejak saat itu aku lebih banyak mengalah dengan Akbar.
Selain Melda, yang membuatku semakin ragu adalah pesan menyentuh dari Sultan adikku. Dia pernah bilang begini, Mbak. Meski kita sering bertengkar, tapi aku sayang sama Mbak. Aku pernah membaca room chat Mbak sama Mas Akbar. Aku sebagai adik Mbak gak rela banget Mbak diperlakukan seperti itu.
Memang kamu baca yang mana?
Ketika Mbak pelatihan ke luar kota. Dia bilang gak usah dekat sama cowok lain, tiap jam kirim foto, kamu kalau ketahuan selingkuh gak bakal aku nikahi kamu. Uang pelatihan buat tabungan nikah, gak usah dibuat beli oleh-oleh.
Mbak kok mau sih? Aku cowok loh sama pacar aku aja gak segitunya. Kecintaan? Enggak Mbak. Itu namanya Mbak gak dipercaya sama dia. Terus ya, sebagai cowok aku loh berusaha untuk back up kebutuhan cewek aku, bukan malah nyuruh nabung untuk patungan nikah. Ya biarin aja Mbak menikmati uang kerja Mbak ngapain diatur sama dia. Ingat, Mbak. Kamu kerja mengeluarkan tenaga dan otak, kamu harus punya self rewards biar gak stress. Pacar Mbak kok gak asyik begitu sih.
Kadang aku mikir juga sih, apa yang diucapkan Sultan ada benarnya kalau aku mau egois, ya ngapai dia mengatur begitu. Sedangkan orang tuaku saja terserah aku, secara logika aku juga tahu lah kebutuhan primer, jajan dan tabungan. Tapi dia sebatas pacar saja sudah membatasi pengeluaranku, sedangkan pemasukan dia gajinya dia aja aku gak tahu. Bimbang, aku bimbang. Haruskah aku membatalkan lamaran seminggu lagi? Tapi aku malas sekali kalau dia sampai marah, mengancam begitu, karena selama lima tahun ini aku yang selalu merendah dan membujuknya agar tidak marah lagi. Aku yang berinisitif membuat hubungan ini lebih bahagia.
Inikah namanya cinta buta? Atau bodoh?
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.