Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
“Wah… wah… wah… siapa ini? Alin? Lo Alin, kan? Gue gak salah orang nih? Gila, gue kira gue gak bakal ketemu lo lagi!” suara itu memecah suasana, riang tapi nyolot.
Alin spontan menoleh, keningnya langsung berkerut. “Sarah?” gumamnya datar.
Dalam hati ia mendesah berat. “Ya ampun… kenapa juga harus ketemu sama ni orang sekarang?"
Wajahnya menegang, bibirnya mengerucut kesal. “Lengkap sudah. Hari buruk gue makin parah.”
Sarah langsung menarik kursi di depan meja Alin tanpa diminta, duduk dengan santai seolah mereka masih sahabat lama.
“Duh, udah lama banget ya, Lin! Gue tuh sempet mikir lo udah pindah ke luar negeri atau apa gitu. Eh, ternyata masih aja di sini.” katanya sambil tersenyum lebar, namun senyumnya terasa menusuk.
Alin menatapnya dingin. “Gue sibuk.” jawabnya singkat sambil meneguk air putih di depannya.
“Wah, sibuk ya? Sibuk ngapain nih sekarang? Shopping? Hehe, lo dari dulu kan emang paling doyan tampil cantik. Gue inget banget waktu kuliah dulu lo gak pernah mau kalah.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sindiran halus di sana.
Alin menaruh gelasnya pelan, matanya menatap Sarah tanpa ekspresi. “Kalau lo cuma mau nostalgia masa lalu, mending cari orang lain aja. Gue lagi gak mood.”
Sarah terkekeh, tangannya memainkan rambutnya yang tergerai rapi. “Ih, jangan jutek gitu dong. Gue cuma kangen, sumpah. Oh iya, gue sempet liat lo tadi ribut di butik ya? Aduh, klasik banget sih, Lin. Gak berubah dari dulu, ya?”
Ucapan itu langsung membuat rahang Alin mengeras. “Sarah…” suaranya rendah, tapi tajam. “Lo gak usah ikut campur urusan yang gak lo tahu.”
Sarah mengangkat alisnya, pura-pura tak mengerti. “Santai aja kali, Lin. Gue cuma bercanda. Tapi ya… tetap aja, lucu banget liat lo ngotot cuma buat sepotong baju.”
Alin mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya dengan senyum tipis yang berbahaya.
“Kalau lo datang cuma buat nyinyir, lebih baik cabut sekarang, sebelum gue beneran ngelupain sopan santun.”
Keheningan menegang di antara mereka.
Sarah akhirnya mendengus pelan, berdiri sambil menepuk rok dress-nya. “Terserah lo deh,” ujarnya sinis, lalu menunduk sedikit, mendekat ke telinga Alin. “Emang dari dulu lo gak pernah bisa terima dikritik.”
Ia sempat berhenti sejenak, menatap wajah Alin dengan senyum tipis yang menusuk.
“Oh iya, hampir lupa… cowok yang tadi bareng lo itu siapa? Suami lo, ya? Suami hasil ngerebutkan?” bisiknya, lalu berbalik dengan tawa kecil yang terdengar seperti belati yang menyeret di lantai.
Langkah Sarah menjauh, tapi kata-katanya masih menggema di kepala Alin seperti gema di ruang kosong.
Alin menatap kosong ke arah punggung Sarah sampai bayangannya benar-benar menghilang di balik pintu kaca restoran.
Pelan, ia menutup matanya rapat, mencoba menahan napas yang mulai berat. Tapi begitu dibuka, tatapannya jatuh pada pantulan dirinya di sendok perak di atas meja.
Wajah itu, yang biasanya ia banggakan, kini tampak asing. Mata yang dulu berbinar, kini penuh amarah.
Kedua tangannya mengepal di atas meja, hingga buku jarinya memutih.
“Dia gak tahu apa-apa…” gumamnya lirih, tapi penuh getar.
Namun di dalam dadanya, amarah dan rasa malu bercampur jadi satu, mendidih, tapi tak punya tempat untuk tumpah.
......................
Sementara itu, Jodi melangkah cepat begitu sampai di rumah sakit jiwa. Langkahnya bergema di sepanjang koridor yang sepi, hanya terdengar sayup suara mesin infus dan aroma disinfektan yang menusuk hidung. Tanpa menunggu lama, ia langsung menuju ruang rawat isolasi tempat Miranda dirawat.
Begitu pintu kaca terbuka, pandangannya langsung menangkap sosok Miranda yang duduk di tepi ranjang. Suster Risa berdiri di sampingnya, memegang nampan berisi makanan yang sudah mulai dingin.
“Mir, ayo makan dulu ya. Kalau gak makan, nanti kamu sakit.” bujuk Risa lembut.
Namun Miranda tetap diam. Tatapannya kosong menembus dinding putih di depannya. Tak ada reaksi, tak ada kata. Hanya keheningan yang berat, sampai tiba-tiba, dari bibir pucatnya keluar suara tawa kecil. Pelan. Serak. Lalu semakin lama semakin jelas, seperti tawa anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.
Jodi menahan napas.
Suster Risa menatapnya, wajahnya tegang. “Dok… sejak tadi dia begitu. Tertawa sendiri… lalu diam lagi.”
Tatapan Jodi tak lepas dari Miranda yang kini menunduk, masih tersenyum samar. Ada sesuatu di matanya, entah kesedihan, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih gelap.
Jodi perlahan melangkah mendekat. “Miranda…” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Hanya tawa lirih yang makin lama berubah menjadi senyum kosong.
Hingga tiba-tiba, Miranda menoleh perlahan. Matanya menatap lurus ke arah Jodi, tatapan yang begitu dalam, seperti mengenali sesuatu yang telah lama hilang.
“Gala…” bisiknya lembut, nyaris seperti doa.
Jodi tertegun. “A-pa?”
Miranda berdiri pelan, langkahnya goyah tapi mantap. Ia mendekat, menatap Jodi seolah yakin. “Mas Gala… kamu datang mas.”
Ia ingin mencoba menyentuh wajah Jodi. Namun tidak bisa, karena Miranda masih mengenakan baju restrain. “Mira tahu, kamu gak mungkin pergi ninggalin Mira… kamu janji kan? Kamu janji gak bakal ninggalin aku sendirian…”
Jodi menatap Miranda dalam diam. Tatapan itu bukan lagi sekadar iba, tapi ada rasa penasaran yang menekan di dadanya.
Sementara Miranda… perlahan tersenyum, senyum yang begitu lembut namun di matanya menyimpan sesuatu yang tak stabil.
“Mas Gala…” ucapnya lirih, langkahnya maju setapak. “Aku tahu kamu salah waktu itu… tapi Mira gak marah ko. Mira sayang sama mas..”
Jodi menelan ludah, berusaha tenang. “Mira… kamu tenang dulu, ya. Aku bukan—”
“JANGAN KATAKAN KAMU BUKAN GALA!” potong Miranda tiba-tiba, suaranya meninggi, membuat Suster Risa terlonjak kaget.
“Jangan bohong lagi mas… kamu pikir aku gak tahu? Aku lihat semuanya, Mas… aku lihat kamu sama dia!”
Jodi mengernyit. “Dia… siapa, Mira?”
Miranda tertawa lirih, tawa yang berubah menjadi tangis dalam satu tarikan napas. “Perempuan itu… yang ngambil kamu dari aku. Yang bikin kamu pergi ninggalin aku…”
Ia menunduk, suaranya melemah, “Padahal Mira udah janji bakal jadi istri yang baik, masak makanan yang kamu suka, nyiapan baju kerja kamu setiap pagi…”
Air matanya jatuh lagi, tapi senyumnya tetap terukir di wajahnya. “Tapi kamu malah ninggalin aku, kamu lebih memilih perempuan itu… kamu pikir aku bakal diem aja? Aku cinta kamu, Mas. Cinta banget. Sampai mati pun aku gak mau lepasin kamu.”
Suster Risa menatap Jodi, wajahnya tegang. “Dok… mungkin sebaiknya kita—”
Namun Miranda tiba-tiba menatap Jodi tajam, penuh intensitas yang aneh. “Tapi gak apa-apa…” katanya tiba-tiba lirih. “Sekarang kamu udah balik, kan? Sekarang gak akan ada yang bisa ngambil kamu dari aku lagi. Kalau ada yang coba ambil kamu lagi… Mira tahu harus ngelakuin apa…”
Senyumnya melebar, tapi air matanya tetap mengalir. “Kamu milik aku, Mas Gala. Cuma aku.”
Jodi menatap Miranda lama. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya saat mendengar perempuan itu berbisik pelan, dengan mata penuh air yang nyaris jatuh,
“Kamu milik aku, Mas Gala… cuma aku.”
Kalimat itu menusuk jauh ke dalam. Jodi menghela napas, berusaha menenangkan gejolak aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya, antara iba, sedih, dan entah kenapa… sedikit rasa cemburu yang tak seharusnya ada.
Perlahan ia tersenyum, menunduk sejajar dengan tatapan Miranda.
“Iya, Mira… tapi sekarang kamu makan dulu, ya? Lihat, Suster Risa udah bawain makanan hangat buat kamu.”
Ia mengambil sendok perlahan, nadanya lembut tapi sarat rasa.
“Atau mau saya yang suapin?” tanyanya pelan.
Tangannya sedikit bergetar tanpa ia sadari.
Perasaan yang seharusnya profesional tiba-tiba terasa kabur , antara tanggung jawab dan sesuatu yang jauh lebih rumit dari itu.
Miranda tersenyum lebar, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah. Perlahan ia mengangguk.
“Iya, Mas Gala… aku makan. Tapi kamu jangan pergi lagi, ya?” bisiknya lembut, nyaris seperti doa.
Tanpa sadar, Jodi menatap wajah itu, wajah yang dulu hanya ia kenal lewat berkas medis, kini terasa begitu hidup di hadapannya.
Beberapa helaian rambut Miranda jatuh menutupi pipinya, membuatnya tampak rapuh sekaligus memikat.
Dengan gerakan refleks, Jodi mengulurkan tangan.
Jemarinya menyentuh perlahan sisi wajah Miranda, lalu menyelipkan rambut itu ke belakang telinganya.
Gerakan sederhana, tapi entah kenapa terasa terlalu lama, terlalu dalam.
Miranda menutup matanya sejenak, menikmati sentuhan itu. Senyumnya semakin lembut, suaranya nyaris bergetar.
“Mas Gala masih ingat… kamu juga dulu selalu gini kalau rambutku berantakan,” ujarnya pelan.
Jodi terdiam.
Dalam detik itu, dunia seakan menyempit, hanya ada mereka berdua, dan suara napas yang beradu di ruang sempit itu.
Ia menarik tangannya pelan, menunduk.
“Sekarang makan ya, Mira…” ucapnya, berusaha memulihkan jarak yang tadi hampir ia langgar
Namun di balik tatapannya yang kembali datar, dadanya bergetar hebat, karena untuk sesaat, ia juga hampir percaya… bahwa dirinya memang Gala. Suaminya..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...