Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gebrakan di restoran
Restoran milik Dewangga di kawasan Dago malam itu tampil sempurna—elegan, temaram, dan beraroma mawar putih yang samar bercampur wangi kayu manis. Dari jendela kaca besar, gemerlap lampu kota Bandung terlihat seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Musik lembut mengalun, mengisi udara dengan nada-nada piano yang melantun seperti bisikan halus.
Di tengah ruangan, meja bundar berlapis linen gading sudah tertata rapi. Kristal wine glass memantulkan cahaya lilin, dan di atas piring porselen putih berbaris rapi alat makan perak yang berkilau.
Dewangga berdiri di sisi ruangan, memantau setiap detail—namun sesungguhnya bukan dekorasi yang menyita pikirannya, melainkan Mentari yang baru saja melangkah masuk bersama kedua orang tuanya.
Gadis itu mengenakan gaun midi biru lembut, sederhana, tanpa aksesoris berlebihan. Rambutnya disanggul rendah, meninggalkan beberapa helai yang jatuh di sisi wajah. Seketika langkah Dewangga terhenti.
Matanya tak berkedip.
Jantungnya berdegup tidak seperti biasanya.
Astaga... kenapa rasanya seperti ini lagi?
Ia mencoba tetap tenang, tapi dalam hati yang bergejolak ia membatin:
“Sepertinya drama pacar pura-pura ini akan sulit aku lepaskan. Aku ingin menjadikannya sungguhan.”
Mentari, yang menyadari tatapan itu, sempat salah tingkah. Pipinya memanas. Namun sebelum ia sempat mengalihkan pandangan, Dewangga sudah menyambut dengan senyum hangat dan sedikit menunduk sopan.
“Selamat malam, Pak Adikara, Bu Ratna,” ucapnya. “Terima kasih sudah berkenan datang. Malam ini kita sedang tidak dalam acara bisnis, panggil saya Dewangga saja.”
Adikara menepuk bahu Dewangga dengan ramah. “Sudah lama tak bertemu. Restoranmu indah sekali.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Dewangga singkat, lalu menoleh pada Mentari. “Dan terima kasih juga untuk Mentari… sudah bersedia hadir.”
Nada suaranya terdengar datar, tapi mata mereka sempat saling bertaut satu detik lebih lama dari yang seharusnya.
Mereka kemudian duduk. Suasana makan malam berjalan formal dan sopan. Dewangga sengaja memilih menu yang ringan—sup krim jamur, salmon panggang, dan panna cotta stroberi. Meski obrolan di permukaan tampak santai, tapi udara di antara mereka sarat dengan ketegangan halus yang nyaris tak terlihat.
Adikara berbincang soal bisnis properti dengan Dewangga. Ratna sesekali menyahut, sementara Mentari lebih banyak diam, sibuk menenangkan diri yang tak karuan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, tapi firasatnya mengatakan malam ini tidak akan biasa.
Hingga akhirnya, saat hidangan penutup dihidangkan, Dewangga meletakkan sendoknya perlahan, lalu menegakkan tubuhnya.
Matanya menatap langsung pada Adikara dan Ratna.
Nada suaranya berubah dalam, tenang, dan tegas.
“Pak Adikara, Bu Ratna,” ucapnya, “ada hal yang ingin saya sampaikan malam ini. Dan saya rasa, ini waktu yang tepat.”
Ruangan seketika terasa lebih sunyi. Bahkan musik piano di latar seperti menghilang dari telinga mereka.
Mentari menunduk, jantungnya berdegup keras.
Dewangga melanjutkan, “Awalnya saya dan Mentari… hanya bekerja bersama dalam satu project kecil. Tapi seiring waktu, saya belajar banyak tentang dirinya. Tentang dedikasinya, kejujurannya, dan caranya memandang dunia. Ia berbeda.”
Ia menatap Mentari sejenak—pandangan yang begitu tulus, membuat Ratna menelan ludah pelan.
“Saya tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba,” lanjut Dewangga, “tapi malam ini saya ingin menyampaikan niat saya dengan sejujur-jujurnya. Saya ingin meminang putri Bapak dan Ibu, Mentari.”
Ratna terkejut hingga refleks menoleh ke arah suaminya.
Adikara terdiam. Sendok di tangannya berhenti di udara, dan ekspresinya tak terbaca.
Mentari? Ia membeku di tempat duduknya. Bahkan napasnya nyaris tak terdengar.
Hening. Beberapa detik terasa seperti menit panjang.
“Dewangga...” akhirnya Adikara bersuara, pelan tapi tajam, “ini di luar dugaan kami. Kamu tahu, Mentari sebenarnya sudah dijodohkan dengan Arsenio.”
Dewangga tidak mundur sedikit pun. Ia mengangkat dagunya sedikit, sorot matanya tegas.
“Dengan segala hormat, Pak Adikara… saya tahu hal itu. Tapi saya tidak bisa mengalah kali ini. Saya siap mengorbankan apa pun asalkan Mentari… bisa saya dapatkan dengan cara yang benar.”
Ratna memandang Dewangga tak percaya. Kata-katanya bukan ancaman, melainkan janji.
Suasana meja menjadi berat. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.
Adikara menatap putrinya lama. “Mentari,” katanya dengan nada perlahan, “kali ini Ayah tak mau memutuskan apapun tanpa tahu isi hatimu. Kamu sendiri bagaimana?”
Mentari tertegun. Ia tak menyangka akan secepat ini.
Tatapannya berpindah ke Dewangga, lalu ke kedua orang tuanya. Dadanya sesak—antara gugup, haru, dan perasaan yang bahkan belum sempat ia beri nama.
Namun entah karena keberanian atau kejujuran hati yang tiba-tiba menyeruak, Mentari mengangguk perlahan.
“Aku… aku menerima.”
Ratna memekik kecil tak percaya.
Adikara terdiam lebih lama, matanya memandangi putrinya yang kini menunduk dengan wajah memerah.
Sementara Dewangga… untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, bibirnya tersungging tenang. Senyum kecil yang dalam diam memantulkan satu hal—kelegaan sekaligus tekad.
Ia menunduk sedikit ke arah Adikara. “Terima kasih, Pak. Saya berjanji, saya tidak akan mengecewakan kepercayaan Bapak dan Ibu.”
Adikara akhirnya menghela napas panjang, berat namun tulus.
“Kalau itu pilihan Mentari,” katanya pelan, “saya tak punya alasan untuk melarang. Asalkan dia bahagia.”
Ratna mengangguk, matanya sedikit berkaca.
Dewangga lalu berdiri, merapikan jasnya, dan menatap Mentari penuh arti. “Mulai malam ini… kamu bukan lagi sekadar rekan kerja, Mentari. Aku akan menjaga kata-kataku.”
Mentari menatapnya tanpa bisa berkata-kata.
Ia tak tahu harus merasa senang, takut, atau kagum—semuanya bercampur menjadi satu.
Dan di luar restoran, di balik kaca besar yang menghadap ke arah kota Bandung yang berkilau, bulan tampak bundar sempurna.
Seolah menjadi saksi diam dari sebuah keputusan yang akan mengubah jalan hidup mereka—selamanya.
......
Setelah makan malam yang menegangkan itu usai, suasana sedikit mencair di pelataran restoran. Udara Dago yang sejuk membalut malam, angin berhembus lembut membawa aroma kopi dan tanah basah. Mentari berdiri di sisi mobil orang tuanya, sementara Dewangga menghampiri Adikara dengan sopan.
“Pak,” ucapnya dengan nada tenang, “bolehkah saya ikut mengantar Mentari pulang? Saya akan menyusul dengan mobil saya sendiri.”
Adikara sempat menatap Ratna sejenak, lalu mengangguk pelan. “Silakan, Dewangga. Kami akan jalan lebih dulu.”
Dewangga tersenyum singkat, menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
“Terima kasih, Pak.”
Mobil Adikara dan Ratna pun meninggalkan halaman restoran, menyusuri jalan berliku Dago yang menurun menuju kota. Lampu belakang mobil mereka perlahan menghilang di balik tikungan.
Dewangga berdiri beberapa saat, memandangi arah kepergian mereka, lalu menarik napas panjang. Ia merogoh ponsel dari saku jasnya, menekan satu nama di daftar kontak.
“Halo,” katanya datar, namun tegas.
“Ya, Pak Dewangga?”
“Batalkan rencana malam ini. Semua. Tak perlu dilanjut.”
“Baik, Pak. Saya pahami.”
Panggilan berakhir. Dewangga menatap kosong pada layar yang kini gelap. Ia sempat menatap refleksi dirinya di jendela mobil—matanya tampak berbeda malam ini, ada ketenangan yang belum lama ia rasakan.
Dewangga membukakan pintu untuk Mentari. Gadis itu tersenyum malu beberapa detik sebelum akhirnya duduk di kursi penumpang depan.
Beberapa saat kemudian, mobil melaju perlahan.
“Mas gak perlu repot, aku bisa pulang bersama ayah tadi,” katanya, mencoba sopan namun terdengar kikuk.
Dewangga hanya menggeleng, menatap sejenak pada Mentari lalu kembali fokus pada jalan.
“Bukan repot, hanya belum siap mengakhiri malam ini begitu saja,” ujarnya tenang. “Ikut aku sebentar, ada tempat yang ingin aku tunjukkan.”
Mentari sempat ragu. Tapi entah kenapa, tubuhnya menuruti saja.
Dan mereka pun melaju menembus jalan berliku menuju puncak dataran Dago yang lebih tinggi, hingga lampu-lampu kota di bawah terlihat berpendar seperti lautan cahaya.
......
Dewangga memarkir mobil di sisi tebing yang aman dan tenang, tempat orang jarang datang. Dari sana, seluruh Bandung terbentang di bawah mereka—berkelip, gemerlap, dan indah dalam balutan malam.
Mentari turun dari mobil, mendekat ke pagar pembatas.
“Cantik sekali…” gumamnya, setengah berbisik.
Dewangga berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan punggung Mentari yang diterpa cahaya kuning lampu jalan.
Angin berhembus dingin, membuat rambutnya berantakan dan bahunya sedikit menggigil.
Tanpa banyak kata, Dewangga melangkah mendekat dan melepas jasnya, lalu dengan tenang membalutkan jas itu ke pundak Mentari.
Sentuhan lembut itu membuat gadis itu menunduk, salah tingkah.
“Terima kasih…” ucapnya pelan.
Beberapa detik mereka hanya diam, memandangi hamparan cahaya yang bergoyang di bawah sana.
Lalu, tanpa aba-aba, Mentari memecah keheningan.
“Aku—” ia menelan ludah, “—aku kaget, tadi, maksudku waktu di restoran. Mas bilang ingin menikahiku. Itu… beneran?”
Nada suaranya gemetar, antara bingung dan tak percaya.
Dewangga menatap wajahnya lama, sebelum akhirnya menghela napas perlahan.
“Tentu,” jawabnya. “Aku tidak pernah main-main dengan kata seperti itu. Waktu aku bicara di depan orang tuamu, itu bukan sandiwara. Aku memang ingin menikahimu, Mentari.”
Mentari menoleh cepat, matanya membulat.
“Kenapa? Kenapa aku?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Dewangga tersenyum tipis. “Mungkin karena sejak awal, kamu tidak berusaha menjadi siapa-siapa. Kamu apa adanya. Kamu berani, tapi lembut. Aku… menemukan kedamaian saat bersamamu. Itu sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupku.”
Mentari membeku.
Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu begitu jujur, begitu sederhana, tapi mampu membuat dadanya bergetar aneh.
Angin kembali berhembus, mengibaskan helai rambutnya yang menempel di pipi.
Untuk sesaat, Dewangga menahan diri agar tidak menyentuhnya—ia tahu, belum waktunya.
Namun di balik tatapan diam itu, ada sesuatu yang sama-sama mereka rasakan: keheningan yang tidak canggung, melainkan menenangkan.
Mentari menunduk, menatap ujung jarinya yang memainkan tepi jas di bahunya.
Ia tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya—antara kagum, takut, tapi juga nyaman.
Dan malam itu, tanpa ada perjanjian, tanpa perlu janji-janji manis, hubungan mereka seolah melangkah ke babak baru.
Dewangga memandang jauh ke arah cahaya kota, lalu berucap pelan,
“Kadang… kebetulan kecil bisa mengubah seluruh arah hidup, Mentari. Seperti malam ini.”
Mentari hanya mengangguk pelan.
Hatinya tahu, mulai malam ini, dunianya tak akan sama lagi.