Putri Daniella menyukai Pangeran Felix dan ingin menikah dengannya. Tapi kehadiran sopir pribadinya Erik Sebastian merubah segalanya. Pemuda desa itu diam-diam mencintai putri Daniella sejak kecil. Seiring waktu, terungkap jika Erik adalah putra mahkota yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunnyku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hatinya Hangat
Pagi di Istana Skandinavia terasa segar, dengan embun musim gugur yang masih menempel di rumput dan aroma jerami hangat dari istal kuda yang terbawa angin.
Cahaya matahari lembut menyelinap melalui celah-celah pohon ek besar di sekitar istal, menciptakan bayang-bayang yang menari di tanah berkerikil.
Di dalam istal, suara langkah kuda yang pelan bercampur dengan gemerisik jerami, menciptakan suasana tenang namun hidup.
Erik sedang sibuk merawat Bass, kuda kesayangan Putri Daniella, tangannya cekatan menyisir bulu cokelat mengilap kuda itu, menguraikan rambut ekornya agar tak kusut.
Keringat tipis muncul di dahinya, aroma sabun dan kayu dari tubuhnya bercampur dengan bau jerami, mencerminkan ketelitiannya dalam tugas.
Putri Daniella, yang sudah lama tak berkuda, tiba di istal dengan langkah ringan namun penuh tekad. Rambut pirangnya diikat tinggi, dia mengenakan t-shirt polo lengan pendek biru tua, celana panjang khusus berkuda yang menempel ketat, dan sepatu kulit cokelat mengilap.
Outfit itu membuatnya tampak gagah sekaligus anggun, tapi wajahnya masih menyimpan jejak kegelisahan dari pertemuan dengan Felix kemarin.
Hatinya ingin melarikan diri ke kebebasan berkuda, merasakan angin di wajahnya, dan melupakan luka hatinya sejenak.
Dia berdiri di pintu istal, memperhatikan Erik yang fokus bekerja, tangannya memainkan ujung rambut pirangnya.
"Bass sehat-sehat aja kan?" tanyanya, suaranya lembut tapi tegas, membuat Erik menoleh.
"Iya, Tuan Putri, Bass dalam kondisi prima dan sehat," sahut Erik, tersenyum kecil, matanya penuh kehangatan saat melihat Daniella.
Hatinya berdegup, gadis itu tampak berbeda hari ini, lebih santai tapi masih membawa aura putri yang tak bisa disembunyikan.
"Kalau gitu, keluarin dia. Aku mau menunggangnya, mau berlatih," perintah Daniella, matanya berbinar, hatinya sudah membayangkan sensasi berkuda yang bebas.
"Baik, Tuan Putri," kata Erik, segera menuruti, mengeluarkan Bass dari kandang dengan hati-hati, memegang tali kekang dengan tangan kuatnya.
"Kamu bisa menunggang kuda kan? Temani aku latihan, sekarang," kata Daniella, suaranya santai tapi ada nada memerintah, jarinya memainkan ujung rambut lagi, matanya menatap Erik dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Tapi saya hanya bisa mengawasi Putri dari sini saja. Saya gak pandai naik kuda," jelas Erik, suaranya rendah, hatinya khawatir Daniella akan kecewa.
"Siapa juga yang suruh kamu naik kuda? Aku minta ditemani latihan," kata Daniella, suaranya naik, kesal tapi ada sedikit tawa di matanya.
"Gak usah kegeeran deh. Sampai berpikir aku bakal ajak kamu menunggang kudaku," sindirnya, bibirnya mengerucut, tapi hatinya sedikit geli melihat Erik bingung.
"Maaf, Tuan Putri, saya pikir menemani naik kuda," kata Erik, wajahnya merah malu, hatinya lega tapi juga tersentuh oleh sindiran manja itu.
Daniella naik ke pelana Bass dengan anggun, kakinya menjepit sisi kuda dengan percaya diri, tapi dia tak memakai helm berkuda, membuat Erik sedikit khawatir.
Dia mengambil botol air mineral dan sekantong camilan, biskuit dan kacang dari istal, lalu mengikuti Daniella ke arena latihan, sekitar 200 meter dari istal, di sisi kiri istana.
Arena itu dikelilingi pagar kayu putih, dengan palang rintangan di tengah, rumputnya dipangkas rapi, dan angin membawa aroma tanah dan bunga liar dari taman istana.
Daniella memulai latihan, menghentakkan kaki ke perut Bass, membuat kuda itu berjalan pelan mengelilingi arena. Angin menyapu wajahnya, rambutnya yang terlepas dari ikatan menari-nari, hatinya terasa bebas.
Dia lalu mengarahkan Bass ke rintangan, melompati palang dengan gerakan lincah, seperti penutup kejuaraan berkuda. Erik berdiri di pembatas pagar, tangannya memegang tali kekang cadangan, matanya tak lepas dari Daniella.
"Dia luar biasa," batinnya, penuh kagum dan kebanggaan, tapi juga ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan, melihat Daniella begitu hidup membuat hatinya berbunga.
Setelah satu jam, Daniella mengarahkan Bass keluar arena, menuju hamparan padang rumput luas sekitar satu kilometer dari istana. Jalan setapak berkerikil membawa mereka ke padang rumput yang hijau, di mana angin membawa aroma rumput segar dan bunga liar.
Erik berjalan di samping Bass, memegang tali kekang, sesekali melirik Daniella yang tampak gagah di atas kuda.
Tiba-tiba, Daniella memacu Bass lari kencang, kuda itu melesat, debu beterbangan, dan tawa Daniella bergema, "Wooo!" serunya, wajahnya berseri, hatinya melambung bersama angin.
Erik tersenyum, hatinya ikut bahagia, tapi kakinya terus berjalan cepat mengikuti. Setelah beberapa saat, Daniella menghentikan Bass, turun dengan bantuan Erik, tangannya menyentuh lengan pria itu sekilas, membuat Erik berdegup kencang.
Mereka berteduh di bawah pohon ek besar, daunnya bergoyang pelan, sementara Bass merumput dengan tenang.
"Ini minumnya, Tuan Putri," kata Erik, menyodorkan botol air mineral, suaranya lembut.
"Makasih," ucap Daniella, meminumnya dengan cepat, keringat mengucur di dahinya, wajahnya merona karena olahraga dan angin.
Erik memperhatikan, hatinya ingin mengelap keringat itu, tapi dia menahan diri, tangannya mencengkeram botol camilan.
"Minggu depan aku mau liburan ke kastil di Vilkrad, di dekat kastil musim panas Pamanku. Kamu bisa ikut sekalian pulang kampung," kata Daniella tiba-tiba, suaranya santai tapi penuh makna, matanya menatap Erik dengan hangat.
"Benarkan saya boleh ikut?" tanya Erik, wajahnya berseri, tak percaya, hatinya melonjak, bisa pulang ke desa dan bersama Daniella.
"Kan kamu juga sopir sekaligus pengawal. Tentu saja harus mengawalku kan," sebut Daniella, tersenyum kecil, tapi ada kelembutan di matanya yang jarang terlihat.
"Pas sekali, saya mau ke makam Ibu saya. Kebetulan itu hari ulang tahunnya juga," kata Erik, suaranya sedikit sedih, matanya menerawang ke padang rumput.
"Sabar ya, kamu bisa ke sana nanti," kata Daniella, memegang tangan Erik lembut, matanya penuh empati, hatinya terenyuh seperti saat di sungai kemarin.
Erik menatap balik, mata mereka bertemu, ada detik-detik hening di mana dunia seolah berhenti, angin, rumput, dan suara kuda memudar.
Hati Erik berdegup kencang, ingin berkata lebih, tapi takut. Daniella juga merasa aneh, tatapan Erik begitu tulus, membuat hatinya hangat tapi bingung.
Tiba-tiba, Erik mengalihkan pandangan ke Bass, wajahnya merah, hatinya panik, teringat percakapan dengan Alecia kemarin.
**********