Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Yang Mulai Terungkap
Malam itu, rumah Nicholas terasa begitu sunyi.
Cahaya lampu meja redup menyinari wajahnya yang tampak tegang.
Ia duduk di depan layar laptop, jemarinya mengetuk meja berulang kali, menahan gelisah yang tak bisa dijelaskan.
Selama lima tahun, ia menganggap peristiwa malam itu hanya sebuah kesalahan kecil
kesalahan yang ia kubur dalam-dalam di balik rasa sombong dan gengsi.
Namun semua berubah sejak ia melihat Arabella… dan ketiga anak itu.
Wajah Dimitry dan Michael yang begitu mirip dengannya,
tatapan mata Michelle yang penuh waspada namun lembut
semuanya menghantam sisi terdalam hatinya yang selama ini mati rasa.
“Kalau benar dugaanku,” gumam Nicholas pelan, matanya menatap layar kosong di hadapan.
“Berarti… aku yang sudah menghancurkan hidupnya.”
Ada rasa nyeri aneh di ulu hatinya.
Bukan sekadar penyesalan, tapi sesuatu yang lebih dalam seperti rasa bersalah yang menguap dan menolak hilang.
Tak ingin hanya berdiam diri, Nicholas menghubungi dua sahabat karib nya Xavier dan Darren.
Mereka berdua tahu sedikit tentang kejadian di masa lalu itu, tapi selama ini memilih bungkam karena Nicholas sendiri tidak ingin membahasnya.
“Nick, kau yakin ingin menggali ini lagi?” tanya Xavier di ujung telepon, suaranya berat dan ragu.
“Itu sudah lima tahun lalu. Apa pun yang terjadi malam itu… mungkin lebih baik tetap terkubur.”
“Tidak,” potong Nicholas tegas. “Aku harus tahu. Aku harus pastikan apakah Arabella adalah perempuan itu atau bukan. Kalau benar… aku tidak bisa hidup tenang.”
Tak lama kemudian, mereka bertiga berkumpul di ruang kerja Nicholas.
Darren membawa laptop tambahan dan beberapa dokumen lama yang berhasil ia dapat dari jaringan keamanannya.
“Aku sudah melacak sistem keamanan hotel tempat kalian menginap lima tahun lalu,” ujar Darren, mengetik cepat di keyboard.
“Beberapa data sudah dihapus, tapi aku temukan salinan cadangan di server lama.”
Layar besar di ruangan itu menampilkan potongan video dengan tanggal lama
malam yang sudah lama ingin dilupakan Nicholas.
Suara klik dari mouse terdengar, dan potongan video mulai diputar.
Tampak suasana pesta, tamu-tamu berdansa, minuman berserakan di meja, lampu berkelap-kelip.
Nicholas menatap layar tanpa berkedip.
Setiap detik yang berlalu seperti menusuk dadanya lebih dalam.
“Hentikan di sana…” suaranya serak.
“Perbesar bagian itu.”
Darren memperlambat video, memperbesar sudut tangga menuju lorong hotel.
Terlihat seorang perempuan bergaun putih berjalan terseok-seok
dan sesosok pria yang mabuk berat menyusul dari belakang.
Nicholas membeku.
Meski wajah perempuan itu tidak sepenuhnya terlihat, rambut panjangnya, langkahnya, bentuk tubuhnya
semuanya membuat napas Nicholas tertahan.
“Itu… dia,” ucapnya pelan, hampir tak bersuara.
“Itu Arabella…”
Xavier menatap Nicholas dengan ekspresi serius.
“Nick, kalau benar itu dia… kau harus siap menerima semua akibatnya.”
Nicholas menatap layar, rahangnya mengeras.
Dalam hatinya, perasaan bersalah, takut, dan sedih bercampur jadi satu.
“Aku tahu,” katanya lirih.
“Dan aku tidak akan lari kali ini.”
Ruangan itu hening sejenak.
Hanya suara kipas pendingin laptop yang terdengar pelan di antara mereka bertiga.
Xavier bersandar di kursinya, menatap Nicholas dengan tatapan penuh makna.
“Hidupmu sangat rumit, Nick,” katanya pelan.
“Kalau kau memutuskan untuk bertanggung jawab penuh pada Arabella dan ketiga anaknya… lalu bagaimana dengan Vania? Dengan keluargamu? Dengan kakekmu yang masih memaksa pernikahan itu tetap berlangsung?”
Nicholas tak langsung menjawab.
Ia menatap layar laptop yang kini menampilkan wajah Arabella lima tahun lalu terekam samar dalam CCTV, tubuhnya lemah, langkahnya terseret saat meninggalkan lorong hotel.
Adegan itu menghantam dadanya seperti pukulan telak.
“Aku tahu semuanya tidak mudah,” ujar Nicholas akhirnya, suaranya rendah tapi mantap.
“Tapi aku tidak bisa berpura-pura seolah aku tidak pernah melakukan kesalahan. Kalau memang anak-anak itu benar-benar darah dagingku… maka aku tidak punya pilihan lain selain bertanggung jawab.”
Darren yang sedari tadi diam ikut bersuara.
“Nick, keluarga Edward bukan keluarga biasa. Mereka bisa melakukan apa pun untuk menjaga nama besar mereka. Vania dan ibunya… mereka tidak akan tinggal diam kalau kau memihak Arabella.”
Nicholas tersenyum miring, tapi matanya dingin.
“Aku tidak peduli dengan nama besar keluarga kalau itu artinya aku harus terus hidup dalam kebohongan.”
Xavier mendengus pelan, menatapnya lekat-lekat.
“Dan kakekmu? Kau tahu, dia menyayangi mu. Tapi kalau dia tahu Arabella adalah perempuan yang dulu dikurung di bawah perintah keluarga Edward sendiri… apa kau pikir dia akan tetap diam?”
Nicholas menunduk. Tangannya mengepal di atas meja.
Untuk sesaat, bayangan wajah sang kakek terlintas di benaknya pria tua keras kepala yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga di atas segalanya.
Namun, di sisi lain, ada wajah Arabella dan anak-anaknya.
Michelle yang tersenyum lembut, Dimitry dan Michael yang begitu mirip dirinya ketika kecil.
“Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjelaskan semuanya,” ucap Nicholas lirih.
“Tapi satu hal yang aku tahu… aku tidak bisa lagi diam sementara mereka terus diperlakukan seolah mereka bukan siapa-siapa.”
Xavier menatapnya serius.
“Jadi, kau siap berperang melawan keluargamu sendiri?”
Nicholas mendongak, sorot matanya tajam untuk pertama kalinya, begitu yakin pada sesuatu.
“Kalau itu satu-satunya cara untuk menebus dosa dan melindungi mereka, maka ya… aku siap.”
Keheningan kembali memenuhi ruangan.
Cahaya monitor memantulkan bayangan wajah ketiganya yang tegang.
Dan di layar, video itu masih berputar potongan masa lalu yang kelam, kini menjadi awal dari perang besar yang tak bisa dihindari.
Sementara itu, di kamar lantai atas kediaman nenek Reva suasana nya begitu tenang.
Lampu tidur berbentuk bulan memancarkan cahaya kekuningan lembut, menerpa wajah Michelle yang sedang berbaring di pelukan Arabella.
Namun malam itu, gadis kecil itu tampak gelisah.
Tangannya menunjuk ke arah jendela, lalu memanggil pelan dengan suara yang hampir seperti bisikan.
“Papa…”
Arabella menatapnya, tertegun sesaat.
Hatinya terasa perih mendengar kata itu keluar dari bibir mungil putrinya.
“Michelle, dengarkan mama, sayang,” ucapnya lembut sambil membelai rambut halus putrinya.
“Om Nick bukan papa Michelle, dia orang lain. Jangan sembarangan memanggil orang lain papa, ya?”
Michelle hanya diam, bibirnya mengerucut kesal, lalu membalikkan tubuhnya sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya.
Wajahnya yang bulat dan pipinya yang merona merah muda membuat Arabella tersenyum kecil di tengah rasa harunya.
“Dasar gadis kecil mama yang keras kepala…” bisiknya, sambil mencubit lembut pipi Michelle penuh sayang.
Ia lalu menepuk pelan punggung anaknya hingga napas kecil itu mulai teratur.
“Sekarang tidur, ya sayang. Besok hari pertama Michelle sekolah"
Beberapa detik kemudian, suara napas halus Michelle mulai terdengar.
Arabella menatap wajah putrinya damai, polos, dan tidak tahu apa-apa tentang masa lalu kelam yang hampir merenggut hidup mereka.
Ia menghela napas panjang, membetulkan selimut Michelle, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri:
“Maafkan mama, sayang…mama tidak akan pernah mecari tahu siapa papa kalian,mama takut dia akan mengambil kalian dari mama"