Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Bikin Romantis
Hari itu terasa aneh. Kantor yang biasanya ramai dengan aktivitas mendadak jadi hening. Satu per satu karyawan dipanggil ke ruang rapat, wajah mereka antara cemas dan pasrah. Kenziro berdiri di depan, menatap semua yang sudah lama bekerja bersamanya.
"Saya minta maaf," katanya pelan, suaranya bergetar meski wajahnya tetap datar. "Hari ini saya harus memberhentikan kalian semua."
Tidak ada riuh apalagi protes. Hanya desah napas berat yang memenuhi ruangan. Beberapa menunduk, beberapa memalingkan wajah, menahan mata yang panas.
Sejak hari itu, Kenziro mulai menjual aset satu per satu aset yang ia miliki untuk membayar cicilan. Mobil mewah, saham-saham cadangan, bahkan rumah keduanya. Semua demi satu hal, untuk membayar pesangon. Ia tidak ingin ada yang merasa ditelantarkan, meski sebenarnya ia sendiri sedang terjerembab.
Makan siang kali ini terasa hambar, sama sekali tak ada selera. Sepiring nasi goreng sederhana di hadapannya justru membuat Kenziro harus berpikir berkali-kali sebelum menyuapnya. Ia menatap butiran nasi itu seakan nasi pun kini memiliki harga yang begitu mahal baginya.
Ia sudah tak lagi berani menggunakan uangnya untuk hal yang sia-sia, apalagi berfoya-foya. Semua yang tersisa harus dipertimbangkan, ditahan, dijaga agar cukup untuk hari-hari berikutnya.
Namun, rasa perih sesungguhnya bukan soal dirinya melainkan soal karyawan-karyawannya. Bagaimana nasib mereka setelah ia memberhentikan semua kerja yang dulu menjadi tumpuan hidup masing-masing? Wajah-wajah itu terus berputar dalam kepalanya, menambah sesak di dada.
Kenziro memutar tutup botol, meneguk sedikit air, lalu menunduk dalam. "Salah apa aku ya Tuhan? Kenapa semuanya harus terjadi bersamaan?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar, seakan pertanyaan itu hanya pantulan dari hatinya sendiri.
Malam itu, langkah Kenziro terasa berat. Ia menarik gerbang rumahnya perlahan, lalu membiarkannya menutup kembali dengan suara berderit pelan. Di teras depan, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi kayu yang sudah menua, menatap kosong ke arah halaman.
Dulu, ia percaya harta dan usahanya bisa menopang hidupnya sampai menua, memberi rasa aman dan tenang makanya memutuskan berani menikahi Lyodra. Tapi kenyataan berkata lain, semuanya hanya sementara, rapuh seperti bangunan yang perlahan retak lalu runtuh sekaligus ketika mendapat satu saja guncangan.
Di kepalanya, bayangan masa depan berputar-putar. "Apa cukup buat besok? Gimana setelah ini?" gumamnya lirih, seolah menanyakan jawaban pada senja yang kian meredup.
Ia berjalan dengan tubuh lunglai. Lyodra menunggu di ruang tamu, tidak banyak bicara, hanya memandanginya dengan mata sendu. Kenziro duduk di sebelahnya, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Pada akhirnya semua orang bakalan sendiri dan aku cuma punya kamu," ucapnya parau.
Lyodra mendekat, menggenggam tangannya. Tidak ada kata-kata penyemangat panjang, hanya genggaman hangat yang membuat Kenziro akhirnya membiarkan air matanya jatuh untuk pertama kalinya.
"Hari ini mungkin melelahkan tapi kamu ingat bisa saja besok lebih melelahkan, sehat terus ya suamiku," jawabnya tenang.
Kenziro pun pergi bersih-bersih lalu turun lagi mendapati Lyodra masih sibuk dengan bukunya. Tangan perempuan itu tak berhenti menulis catatan kecil, sesekali membuka laptop, lalu mengetik sesuatu. Katanya, ia sudah mengambil ancang-ancang untuk berpindah karir dan mulai mencari lowongan pekerjaan. Baginya, jangan sampai masalah ekonomi jadi alasan mereka retak atau berpisah.
Kenziro hanya berdiri di ambang pintu, menatapnya lama. Ada rasa bersalah yang menyeruak, karena selama ini ia selalu percaya kalau uang yang ia hasilkan cukup untuk menutup semua kebutuhan mereka. Nyatanya, roda bisa berputar, dan ia harus menyaksikan bagaimana perempuan yang ia cintai tak mau menyerah begitu saja, bahkan berusaha ikut menambal kekosongan yang ia tinggalkan.
"Sayang lagi ngerjain apa?"
Lyodra membetulkan letak kaca matanya dan menunjukkan apa yang tengah dia lakukan. "Aku lagi ngambil rencana baru. Sini gabung diskusi lagi sama aku, kita buka usaha apalagi buat dapet uang."
Kini lampu ruang tamu temaram, hanya cahaya dari standing lamp yang menerangi mereka berdua di atas karpet abu-abu. Kertas coretan, laptop, dan beberapa berkas berantakan di depan.
Lyodra menghela napas panjang, lalu menatap Kenziro dengan sorot mata serius. "Aku udah mikir keras, kalaupun keadaan terburuk terjadi… kita nggak boleh cuma pasrah. Startup ini hasil kerja keras kita bertahun-tahun dan berhasil tapi setiap hal ada masanya. Kalau memang orang dalam itu berhasil menjatuhkan, kita harus bangkit lagi. Jangan hanya diam saja, kita masih punya banyak peluang menguntungkan dari teknologi."
Ia mulai membuka laptop, memperlihatkan beberapa slide presentasi sederhana. "Ini beberapa konsep yang kupikir bisa kita presentasikan ke calon investor baru. Kita mungkin kehilangan satu, dua, bahkan banyak. Tapi bukan berarti semua pintu tertutup. Yang penting ada narasi yang meyakinkan kalau bisnis ini masih punya masa depan."
Kenziro terdiam, memperhatikan dengan raut campur aduk. Ada lelah, ada khawatir, tapi juga ada sedikit kagum pada Lyodra. Selama ini, ia yang selalu jadi otak strategi. Tapi malam itu, justru Lyodra yang tampil seolah-olah sedang melakukan pitch di depan dewan investor.
"Kalau kita bisa bangun ulang dengan citra yang lebih bersih, kita masih bisa dipercaya. Aku juga bersedia cuti dulu dari perusahaanmu, fokus bikin proposal bisnis ini lebih matang." suara Lyodra mantap, meski tangannya gemetar.
Kenziro menghela napas, lalu meraih tangan Lyodra. "Kamu tahu nggak? Justru hal kayak gini yang bikin aku sadar… mungkin aku selama ini terlalu bergantung sama diriku sendiri. Padahal, aku punya kamu."
Kadang sekedar pelukan atau pujian kecil, itu bakalan bisa membuat pasangan kita merasa dicintai dan layak.
Hal itu sederhana dan bagi Kenziro itu mudah dan bermakna. Tinggal ia peluk seerat mungkin lalu mengecup keningnya sebagai isyarat penyalur kasih sayang yang mendalam.
"Aku bangga punya istri cerdas kayak kamu meksipun kalo lagi cemburu bikin kepala pening," celetuknya lalu tertawa terbahak-bahak.
Itulah alasan kenapa Kenziro bisa mencintainya habis-habisan. Lyodra sempurna dimatanya dan wanita lain tidak ada artinya lagi.
Dan bagi Lyodra, pria itu juga sempurna, menyenangkan dan ngangenin. Tapi maraknya kasus perselingkuhan ia jadi takut, kalau baiknya Kenziro hanya kedok saja. Jadi lelaki mana yang harus ia percaya? Cukup suaminya.
...--✿✿✿--...
Gea baru datang. Matanya langsung menelusuri setiap sudut apartemen baru milik Aura. Harganya fantastis, fasilitasnya mewah.
"Lo berhasil morotin Ken?" tanya Gea setengah tak percaya.
Aura menyilangkan kaki, duduk santai di kursi empuk sambil menghembuskan asap rokok. Senyum licik terlukis di wajahnya. "Gue keruk hartanya sampe habis… dan yang masuk penjara itu cowok tolol. Pinterkan gue? Iya dong gue gitu loohh."
Mata Gea langsung terbelalak. "Seriusan? Lo beneran bikin dia bangkrut?"
"Yoi," jawab Aura ringan. "Gue nggak perlu langsung ngerampas dari tangannya. Cukup hancurin perusahaannya dari dalam. Apalagi sistemnya lemah, isinya orang nafsu doang. Tinggal gue godain dikit, udah klepek-klepek. Kocak, sumpah."
Gea menggelengkan kepala, setengah kagum setengah ngeri. "Terus sekarang hutang lo lunas? Lo beneran jadi kaya?"
"Jelas." Aura menatapnya tajam, lalu tersenyum miring. "Tapi gue belum puas sebelum liat Lyodra sama Ken cerai. Gue jijik sama tuh cewek yang hidupnya keliatan sempurna. Sementara gue? Gue yang harus ngerasain kerasnya hidup. Jadi ya, biar dia juga ngerasain apa yang gue alamin."
"Kalo mereka ternyata nggak bisa dipisahin?"
Aura menaruh rokok di asbak, lalu tertawa kecil. "Gampang. Gue bikin mereka sengsara terus. Usahanya gue sabotase biar bangkrut berkali-kali. Sekarang gue udah ngerti main bisnis. Gue juga lagi merintis usaha baru… doain aja ya."
Gea mendengus sambil tertawa sinis. "Doain? Halah. Lo pikir duit hasil ngerampas gituan bisa bikin hidup lo tenang? Nggak lah, Njir."
Aura mencondongkan tubuh, tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Eh, Ge… gue baru tau. Mantan suami lo itu ternyata temen deketnya Ken. Otomatis… lo kenal sama Ken, kan?"
Terdiam, itulah jawaban Gea. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara pelan. "Iya, gue kenal dia. Dulu kita temen baik. Tapi semenjak Deo jadi tukang cemburu, gue mulai ngejauh. Padahal… dia tipe orang setia. Gue aja kadang iri sama Lyodra karena dicintai sebaik itu."
Aura menyipitkan mata, lalu menyeringai dingin. "Hancurin aja. Ratain semuanya, biar mereka ngerasain sakitnya jadi kita, jadi orang yang udah broken."
"Gue nggak mau egois, Ra. Gue tau rasanya kebahagiaan kita dihancurin orang lain. Itu sakit banget. Rasanya bikin tolol, hampir gila. Untung aja gue masih bisa waras sampai sekarang."
Aura mendecak, wajahnya sinis. "Lemah lo. Sok suci. Munafik!"
"Mungkin iya." Gea balas dengan getir. "Gue emang iri sama Lyodra dari dulu. Hidupnya tuh sempurna banget. Jalan dia mulus, orang tuanya baik, kaya raya. Dia cantik, punya pacar yang setia, bahkan Ken bikin perusahaan itu buat dia. Sementara gue? Selalu kena sial. Harusnya gue bisa dapet semua harta Deo, tapi kenyataannya? Nihil. Habis."
Aura menghela napas panjang, tatapannya kosong tapi sarat dendam. "Ikhlas nggak bikin sakit hati lo sembuh, Ge. Percuma. Balas dendam itu yang paling manjur. Itu yang bikin lo puas."
Gea yang duduk di ujung sofa lain mulai gelisah. Ia mulai khawatir Aura akan menyuruhnya hal yang tidak ia inginkan. Setelah bertemu Nadeo lagi ia beralih jadi sangat rapuh.
Aura tersenyum samar, suaranya tenang tapi menekan. "Gea… lo tau kan, hubungan Kenziro dan Lyodra itu cuma tampak manis di luar. Dalamnya? Mudah banget hancur, sekali retak kalau ada yang sengaja mendorong. Yaitu mungkin gue."
Gea menarik napas panjang. "Soal itu gue nggak mau ikut campur urusan mereka, Ra. Itu bukan urusan gue, gue cuman temen lo gak lebih."
Aura meletakkan gelas pelan lalu mencondongkan badan ke depan. "Bukan urusan lo?" Ia tertawa pendek dan dingin. "Lo bener, lo teman gue, Gea. Dan teman itu saling mendukung. Gue cuma butuh lo bikin sedikit kekacauan kecil. Goda Kenziro. Tarik dia ke arah—"
Gea segera memotong, nada bicaranya tegas penuh penolakan. "Gue bilang engga, ya engga!" Ia berdiri dan memalingkan wajahnya. "Gue nggak akan hancurin siapapun. Apalagi dengan cara itu."
Rahang Aura mengeras, ia bangkit dan menatap tajam Gea tajam. "Jangan naif, Gea! Semua orang punya harga. Lo juga. Lo pikir mereka peduli sama lo? Lyodra itu selalu merasa paling tinggi. Kalau dia jatuh, kenapa lo nggak ikut menikmati? Dan kita tonton sama-sama kehancuran dia."
"Tapi… itu salah. Gue gak mungkin ngelakuin hal yang paling gue benci."
Aura mendekat perlahan dan berbisik di telinganya. "Salah? Yang salah itu lo kalo diam aja sementara kesempatan emas ada di depan mata. Lo bisa dapat segalanya, Gea. Uang. Posisi. Bahkan kemenangan. "Ia terseyum licik. "Lo tinggal lakukan apa yang gue mau, dan gue pastikan hidup lo berubah selamanya. Bakalan ada kepuasan tersendiri nantinya."
Gea menelan ludah susah payah kini wajahnya penuh dilema.
"G-gue... gue nggak bisa... gue gak mungkin hancurin rumah tangga temen gue sendiri."
Aura menepuk dagunya kasar agar menatapnya. "Lo harus. Atau… gue yang akan bikin lo menyesal kalau menolak." Kini tatapannya menusuk, seakan Gea adalah bidak catur yang bisa digerakkan sesuka hati. "Lo bilang dia temen, tapi dia beneran ngangap lo temen apa engga?"
"Gue gak mau!" tolaknya mentah-mentah dan kasar.
"Gue serius, Gea," suara Aura terdengar dingin yang memaksa. "Kalo lo nenar-benar sahabat gue, lo akan bantu gue. Kenziro gak boleh terus sama Lyodra. Mereka nggak pantas bahagia. Mereka harus hancur!"
Gea menggeleng cepat, kedua tangannya meremas ujung bantal sofa. "Gue bilang gak bisa ya gak bisa, Aura. Itu bukan urusan gue. Mereka pasangan ideal, dan kalau lo benci Lyodra, itu masalah lo, bukan gue."
Aura tersenyum miring, melangkah pelan mendekati Gea. "Masalah gue akan jadi masalah lo juga kalau gue mau. Ingat semua rahasialo? Semua yang gue tahu tentang lo?" suaranya menekan, penuh ancaman halus.
Gea menelan ludah, wajahnya kian pucat. "Lo… nggak akan berani."
Aura jongkok di hadapannya, menatap lurus ke dalam mata Gea. "Lo nggak kenal gue, Gea. Gue bisa membuat hidup lo berantakan dengan sekali gerakan. Tapi gue nggak minta banyak. Gue cuma minta lo… gunakan pesona cantik lo. Kenziro laki-laki, dan laki-laki selalu punya titik lemah. Goyahkan dia, buat dia ragu sama Lyodra. Itu saja. Indahkan?"
Gea menggeleng lagi, tapi suara penolakannya semakin lirih. "Kenapa harus gue? Lo sendiri aja gagal goda dia."
"Karena cuma lo yang bisa. Lo dekat dengan mereka, lo dipercaya. Kalau gue yang turun tangan, semuanya akan ketahuan. Tapi kalau lo… hmm…" Aura tersenyum tipis, penuh racun. "Kenziro nggak akan sadar sedang jatuh ke perangkap."
Gea mengusap wajahnya frustrasi. "Gue nggak mau jadi penghancur, Aura. Gue… gue nggak sanggup."
"Lo akan sanggup kalau tahu apa yang nunggu lo kalau menolak. Dan percayalah… gue nggak pernah gagal buat orang menyerah. Mungkin sebelumnya lo jadi korban, cobain sesekali jadi pelaku apakah menyenangkan atau sebaliknya."
Saat itu, ponsel Gea bergetar di saku celananya. Ia meraihnya dengan tangan gemetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.
Kenziro.
Aura melirik sekilas, senyum penuh arti terbit di wajahnya. "Ah… lihat? Bahkan semesta mendukung rencana gue."
Gea menatap layar ponselnya dengan mata membesar. Jemarinya ragu, tapi sebelum ia sempat memutuskan, Aura berkata pelan namun menusuk:
"Angkat, Gea. Ini… awalnya, buat dia kasian sama lo."