Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Anak Ke Enam
"Hari ini dipukul palu, besok apa lagi? Di potong pakai parang?"
...----------------...
"Hamil lagi?" tanya ibu bidan yang mendapati Marti duduk dihadapannya sambil mengelus perut yang sudah berusia 8 bulan.
Marti hanya cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya ia juga malu mendapat pertanyaan seperti itu tapi harus bagaimana lagi ia sangat ingin memiliki anak perempuan.
"Tapi ibu Marti sudah punya banyak anak. Anak ibu sudah lima."
"Tapi semuanya laki-laki, bu bidan sementara saya kan maunya anak perempuan."
"Ibu bidan kan tau sendiri saya maunya apa," lanjutnya lagi.
Ibu bidan menepuk jidatnya lalu menggelengkan kepala seakan tak menyangka jika jawaban itu akan kembali ia dengar.
"Tapi sampai kapan, bu? Setiap ibu melahirkan pasti anaknya laki-laki."
"Ya sampai saya punya anak perempuan," jawab Marti sambil mengangguk meyakinkan.
"Jadi kalau anak yang ada di dalam perut ibu ini laki-laki terus mau hamil lagi? Begitu?."
Marti terdiam sejenak.
"Sepertinya iya," jawabnya membuat ibu bidan menghalang nafas panjang.
Para asisten ibu bidan dan hanya tersenyum kecil rasanya lucu mendengar jawaban dari pasien langganannya.
...----------------...
"Laki-laki," jawab ibu bidan setelah berhasil mengeluarkan bayi keenam pada hari persalinan Marti.
Marti menghela nafas panjang, kali ini helaan nafas yang penuh sangat lelah. Rupanya pada kehamilan kelima ini tidak sesuai dengan harapannya.
Baju pink di bawah TV itu akhirnya gagal lagi dia pakaikan kepada anak perempuannya. Hari ini sudah enam anak laki-laki yang ia punya.
Saat melangkah keluar dari rumah sakit, Marti menatap ke arah parkiran di mana anak-anaknya sedang bermain di sana. Tapi tunggu bukan hanya bermain akan tetapi anak ketiganya itu, Praga nampak menghantam beberapa motor dengan batu membuat Abdul dengan cepat berlari menghampiri anak yang paling nakal di dalam keluarganya.
Marti tak tahu harus dia apakan anaknya itu. Setiap hari selalu saja ada ulah nakal yang membuatnya naik pitam. Umurnya baru tiga tahun tapi sudah banyak kasus nakal yang dia buat.
Abdul membuka pintu lalu mengarahkan putra-putranya masuk ke dalam mobil. Abdul terpaksa membeli mobil bekas dengan tabungan miliknya karena motor tua itu tak mampu lagi untuk menampung anak-anak mereka.
"Dada!!!" teriak Prapat sembari melambai ke arah Tori dan Kabo, si satpam yang menjadi saksi bagaimana anak Abdul dan Martin yang dulunya hanya satu kini sudah menjadi enam.
Kabo ikut melambaikan tangan sementara Tori nampak menopang pinggang sembari menggelengkan kepalanya.
Mereka kompak menatap kepergian mobil yang kini telah melewati pagar.
"Buset, dah. Lahiran lagi," ujar Tori yang masih menggelengkan kepalanya tak menyangka.
"Kayaknya gue mau minta resep sama si Abdul."
Tori menoleh menatap sahabatnya itu, Kabo.
"Resep apaan?"
"Resep punya banyak anak," jawabnya.
"Ah elah, masalah resep mah tanya gua aja."
"Lah emang lu bisa? Nikah aja belum lu!" ejeknya membuat Tori cengengesan.
Benar juga sampai lupa jika ia belum menikah.
...----------------...
Sudah sejak tadi Abdul mendapati istrinya yang hanya terus terdiam sembari menatap ke arah luar jendela mobil. Bayi mungil yang masih tertidur itu tak pernah ditatap lama oleh istrinya.
Suara tangisan Prapat dan Pradu memenuhi isi mobil menghiasi perjalanan menuju pulang ke rumah. Jangan tanyakan siapa pelaku dari penyebab tangis menyedihkan itu. Yah, tentu saja pelakunya adalah Praga.
Pratama, si bocah bertubuh gendut yang kini telah berusia tujuh tahun sesekali menegur tetapi tak pernah dipedulikan oleh Praga yang semakin berulah. Ia melompat naik turun kursi membuat Pralim, si bocah tampan yang kini telah berusia satu tahun itu hanya bisa memasang wajah takut.
Istrinya hanya diam bahkan tak pernah memarahi anak-anaknya yang sedang berkoar di belakang padahal jika situasi seperti ini istrinya akan selalu marah-marah dan bahkan berteriak menyuruh diam.
Setibanya di rumah Marti langsung meletakkan bayi kecil itu ke atas tempat tidur berwarna biru, kasur empuk bekas kelima anaknya, tak ada kasur baru kecuali jika ia memiliki anak perempuan. Mungkin ia akan beli yang baru.
Abdul menggelengkan kepalanya pelan saat mendapati istrinya yang bertiarap di atas kasur sambil menangis.
"Kenapa lagi?"
Marti tak menjawab hanya suara tangisan yang semakin kencang Abdul dengar.
Abdul mendekat ia duduk di pinggir kasur sembari menyentuh dan mengusap pelan punggung istrinya berniat untuk menguatkan Marti atau mungkin saja menyuruh istrinya untuk berhenti menangis.
"Sabar, Bu. Mungkin bukan rezeki kita untuk punya anak perempuan."
"Kamu cobalah untuk menerima nasib kalau kita mungkin tidak diizinkan oleh Tuhan punya anak perempuan."
Mendengar ucapan Abdul, Marti dengan cepat bangkit menatap suaminya dengan kedua mata yang sembab.
"Apanya yang sabar? Apanya yang menerima nasib?"
"Ibu mau punya anak perempuan, pak. Pokoknya ibu mau," kekehnya tak terima.
Abdul hanya terdiam. Tak ada gunanya untuk berdebat kepada istrinya itu. Bahkan nasehat pun tak diterima. Sang istri menolak mentah-mentah.
Marti menyeka pipinya yang basah. Mengangkat ujung daster yang ia gunakan lalu mengeluarkan ingus dari hidungnya yang telah membuatnya tersumbat.
"Pokoknya ibu mau punya anak perempuan."
"Hah? I-ibu se-serius?"
"Serius, pak."
"Tapi kita sudah punya enam anak laki-laki. Kalau kamu melahirkan lagi terus anaknya laki-laki berarti kita punya tujuh anak laki-laki Bu."
"Apa Ibu tidak malu sama tetangga. Ini saja pas kita lewat semua orang melihat kita. Gimana kalau mereka tahu kalau kamu mau hamil lagi," cerocosnya membuat Marti bangkit dan berdiri di belakang jendela.
"Ibu mau."
"Pokoknya bapak tidak setuju kalau kamu hamil lagi."
"Bapak!" Marti menoleh menatap suaminya yang masih memandangnya dengan serius.
"Ibu janji kalau ini akan menjadi kehamilan terakhir ibu."
"Maksudnya?"
Marti mendekati suaminya. Memegang punggung jemari tangan Abdul yang masih terdiam dengan pandangan bingung.
"Bapak pegang janji ibu kalau nanti Ibu hamil itu akan menjadi kehamilan ibu yang terakhir."
"Kalau memang nanti yang lahir laki-laki maka ibu akan pasrah dan mungkin yang dikatakan Bapak benar kalau Tuhan tidak mengizinkan kita untuk punya anak perempuan."
"Ibu akan menerima nasib dan ibu akan mengubur impian ibu untuk memiliki anak perempuan."
"Ibu juga akan fokus mengurus anak-anak kita sampai anak-anak kita besar."
"Ibu akan berusaha kalau anak yang akan lahir nanti pasti perempuan," jelasnya panjang lebar berusaha meyakinkan suaminya.
"Caranya?" tanya Abdul.
Marti terdiam sejenak. Kedua matanya bergerak kiri dan kanan memikirkan jawaban lalu beberapa detik kemudian ia memandang suaminya yang tengah menatap menanti jawaban.
"Caranya?"
Marti terdiam.
Seru juga bacanya