(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjadi penyerangan
Michelle mengenakan dress selutut yang pas untuk remaja seusianya. Rambutnya yang tergerai indah berayun pelan saat ia mondar-mandir di kamar Serena, gelisah.
Sebentar lagi ia akan terbang bersama suaminya ke negeri Rusia. Baru saja ia memompa ASI untuk si kecil itu, memastikan bayi itu dapat tetap kenyang di hari-hari mereka terpisah nanti.
Melly, yang sejak tadi mengamati, tersenyum lembut menyaksikan Michelle. Setelah memastikan Serena telah terlelap dalam buaian mimpi, Melly mendekat dan bertanya dengan lembut, “Ada apa, nona? Sepertinya engkau gelisah.”
Michelle menatap Melly. Tiba-tiba ide melintas di benaknya. “Melly, bentak aku—ayo!” ucap Michelle dengan nada serius, setengah memohon.
Melly menatapnya tajam, alisnya terangkat bingung, “Kenapa saya harus membentak Anda, nona? Itu mustahil.”
Michelle tersenyum getir. “Ini cuma candaan, Melly. Aku harus menyiapkan mental. Kalau nanti keluarga Om Al membentakku, aku jadi gadis lemah yang mudah runtuh,”
"Itu benar-benar berbeda, Nona. Candaan saya jelas takkan bermutu di hadapanmu," ujar Melly.
"Kupikir nona cuma takut pada bentakan tuan saja. Kalau sama orang lain? nona terlihat biasa saja." lanjutnya.
Michelle menggigit bibir. "Aku yakin dengan mereka jelas berbeda, aku takkan sanggup menahan amarah mereka. Pasti mengerikan, seperti saat Om Al marah."
Melly hanya tersenyum tipis, nonanya ini terlalu ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. "Nona terlalu khawatir pada sesuatu yang bahkan belum terjadi, padahal jika itu terjadi, aku yakin keluarga tuan itu hanya akan menyindir dengan tajam, bukan dengan amarah yang meledak-ledak."
Dia menarik napas dalam-dalam, bersiap memainkan peran. "Okelah, Aku coba, ya."
Tiba-tiba, suara Melly pecah dengan bentakan yang menggema: "Kenapa kau bisa bersama anakku?! Dasar gadis tak berguna!"
Michelle membeku, alisnya terangkat penuh terkejut.
"Apa aktingku kurang alami?" tanya Melly dengan senyum canggung, mencoba menutupi rasa malu.
Michelle menatapnya datar. "Kau sama sekali tidak menakutkan, Melly."
Melly menghembuskan napas berat. "Ya, jelas saja, Nona. Karena kita tidak benar-benar berseteru."
Pintu terbuka perlahan, dan Roslina melangkah masuk dengan senyum penuh arti yang sulit terbaca. Suara bentakan Melly yang tajam terdengar dari luar, tapi kemudian ia mengerti bahwa Michelle sedang diguncang gelisah; sebentar lagi ia harus menghadapi keluarga suaminya.
“Nona, Tuan Muda sudah menunggu di depan,” ujar Roslina lembut.
Michelle menatapnya, suaranya terbata, “Apa kita berangkat sekarang?”
Roslina mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Nona sebenarnya sedang dibohongi oleh Tuan Muda. Keluarganya... mereka jauh lebih baik dari yang nona kira. Mereka akan menyambutmu dengan tangan terbuka.”
Michelle tercekat, matanya menyipit kesal, “Benarkah? Jadi Om Al membohongiku?!”
Roslina tersenyum tipis, “Tentu saja.”
Michelle mengerutkan bibirnya, “Iseng sekali Om Al ini.”
Melly yang mendengar semua itu, akhirnya tak bisa menahan tawanya yang meledak kecil.
“Sudahlah, cepat keluar. Tuan Muda menunggumu di sana,” Roslina memimpin, suaranya tegas tapi penuh harap.
Michelle menghela napas panjang, "Aku pergi,"
Tanpa menoleh lagi, Michelle berbalik dan melangkah keluar. Lari kecilnya tergesa di halaman rumah megah itu, menuju mobil hitam suaminya.
Vino sudah membuka pintu, menunggu diam tanpa sepatah kata.
Saat tubuhnya tenggelam di jok, napasnya tersengal-sengal karena lelah berlari. Di sampingnya, Alfred tenang, matanya tertutup rapat. Dorongan untuk meluapkan kemarahan membakar dada Michelle, tapi ia menahan diri—lebih memilih diam.
Mana berani ia memarahi suami kejamnya.
Beberapa menit berlalu, kantuk berat merayap dan membungkusnya perlahan. Ia menepuk-nepuk pipi, berusaha melawan bayang-bayang tidur yang menaklukkan.
Alfred membuka matanya pelan, menoleh ke arah Michelle dengan senyum samar yang menyelinap di bibirnya. “Tidurlah,” ujarnya lembut sambil menepuk pahanya.
Michelle terbangun oleh suara samar-suara dari suaminya. Ia menoleh pelan, mata merah mengantuk namun penuh tanya. “Om bilang apa tadi?”
Alfred membalas dengan suara berat, tangan menepuk lembut pahanya. “Tidurlah di sini... perjalanan ke bandara masih panjang.”
“Apakah... tidak apa-apa?” suara Michelle ragu.
Alfred hanya berdehem pelan, tanpa jawaban yang pasti. Perlahan, Michelle merebahkan kepalanya ke paha suaminya. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ia menutup mata dengan segera hingga terlelap,jari telunjuknya masuk ke mulut hingga terdengar suara isap bak bayi.
Alfred menunduk, dengan penuh kelembutan menarik selimut kecil menutupi kaki Michelle yang terbuka. Di balik setir, Vino melemparkan pandang waspada ke kaca dashboard, sorot matanya bertemu dengan Alfred.
“Tuan, saya dapat kabar terbaru dari nona Elena,” suara Vino.
“Katakan,” balas Alfred, tangannya tanpa sadar mengelus lembut rambut Michelle, mencoba menenangkannya.
“Nona Elena sekarang berada di Rusia. Saya belum tahu pasti apa alasannya datang ke sana,” ujar Vino dengan suara berat, matanya tetap fokus di jalanan yang gelap.
Alfred mengerutkan kening, tatapannya menajam seperti pedang. “Selidiki terus sampai dia berani muncul di hadapanku. Aku harus tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan.”
Vino mengangguk tegas, “Orang yang kita tangkap di depan rumah sakit, semalam… sebelum meninggal, dia sempat berusaha mengungkap siapa yang menyuruhnya. Tapi, semuanya terputus saat ia tiba-tiba bunuh diri.”
Alfred menatap dalam-dalam, napasnya tenang, “Lanjutkan penyelidikan pada orang yang selama ini kita curigai. Sepertinya dia mengincar satu-satunya yang aku miliki sekarang… istriku.”
“Baik, Tuan,” jawab Vino dengan ketegasan yang tersembunyi di balik tenangnya.
DOR
Suara tembakan ke udara membuat pria itu mengerem mendadak. Mobil meluncur liar, membuat Michelle yang sedang terlelap terhuyung jatuh ke lantai mobil. Kepala kecilnya membentur lutut Alfred yang duduk di sebelahnya.
Alfred juga hampir terjatuh ke depan, berhasil menahan tubuhnya dengan sekuat tenaga, tapi tidak dengan istrinya.
Michelle mengusap pelan keningnya yang mulai berdetak nyeri.
“Apa yang terjadi, Vino?” suara Alfred kini berubah panik.
“Tuan, kita sedang dikepung,” kata Vino sambil menatap beberapa mobil yang muncul dan memblokir jalan mereka.
Alfred menghela napas,“Sial! Ada informasi bocor. Mereka tahu aku berpergian!"
“Sekarang bagaimana, Tuan? Saya menunggu perintah anda,” suara Vino penuh kecemasan, seraya menunggu jawaban Alfred.
Namun, sebelum Alfred bicara, matanya menunduk, menatap istrinya yang masih mengusap keningnya yang berdenyut sakit. Bibirnya mengerucut lucu, tapi matanya terpejam berat, berjuang menahan kantuk yang menguasai tubuh.
“Bocil, kau baik-baik saja?” Alfred bertanya lembut, memegang kedua bahu Michelle dengan penuh perhatian.
Seketika, ingatan tentang kata-kata dokter Grace terlintas di benaknya—peringatan agar Michelle menghindari benturan di kepala. “Shit” gumam Alfred, seraya mengangkat tubuh Michelle perlahan ke pangkuannya.
“Coba aku lihat,” ujarnya sambil memeriksa benjolan kecil di kening sang istri. Napasnya tersengal lega saat menyadari luka itu tak sebesar yang ia bayangkan.
“Vino, lakukan tipu daya. Melawan mereka tak memungkinkan sekarang,” suara Alfred berubah tegas. “Sudah kau hubungi Paman Mario?”
“Sudah, Tuan,” jawab Vino cepat.
“Lakukan sekarang. Jalankan mobil sampai ke bandara,” Alfred mendesak, kemudian menarik kepala Michelle agar bersandar di dadanya. “Tidurlah!” bisiknya pelan penuh kasih.
Mata Michelle yang berat segera terpejam, karena matanya memang tidak bisa di kompromi. "Aku seperti tidur di medan perang." tanpa membuka matanya.