Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hotel itu dan dua orang yang ku kenal..
Malam itu aku datang membawa kejutan.
Sebuah kue ulang tahun kecil yang kubeli sepulang kerja, lengkap dengan lilin mungil berbentuk angka tiga dan dua. Raka tak tahu kalau aku datang diam-diam ke hotel tempat dia menginap untuk urusan kantor. Kupikir, mungkin sedikit kejutan bisa memperbaiki suasana antara kami yang akhir-akhir ini terasa dingin.
Kupeluk kotak kue itu di dada, dan langkahku mantap menapaki lorong hotel. Nomor kamar yang diberinya: 1205. Tanganku sempat gemetar saat akan mengetuk, tapi akhirnya aku tekan bel.
Tak ada jawaban.
Kutekan lagi—kali ini lebih lama.
Hening. Tapi suara samar-samar dari dalam membuatku ragu. Kudekatkan telingaku ke pintu, dan detik berikutnya, jantungku seolah berhenti berdetak.
Itu suara tawa perempuan.
Bersahut dengan suara Raka… suamiku.
Dan entah kenapa, aku tahu betul suara tawa itu.
Suara yang dulu selalu menertawai lelucon konyolku saat kuliah. Suara yang pernah menemaniku menangis di malam terburuk dalam hidupku.
Itu suara Tania.
Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk mengambil kartu cadangan dari resepsionis. Mungkin dari kekecewaan yang tak bisa ditahan lagi. Atau mungkin dari pengkhianatan yang selama ini kurasakan, tapi tak pernah kuakui.
Kunci terbuka. Pintu bergerak perlahan.
Dan dunia runtuh di depan mataku.
Di sana.
Di atas ranjang hotel itu…
Raka dan Tania.
Tanpa selimut.
Tanpa penyesalan.
Tanpa tahu aku berdiri di ambang pintu, dengan kue ulang tahun masih di tanganku yang bergetar.
Tania menoleh lebih dulu. Tatapan matanya membeku, lalu berubah panik.
“Nayla—”
Ia bahkan belum sempat menarik selimut ketika aku melangkah mundur, menjatuhkan kotak kue di lantai yang dingin, dan lari sekencang mungkin keluar dari kamar itu.
Lorong hotel terasa seperti liang gelap yang menyeretku ke neraka. Tangisku pecah, tercekik di tenggorokan. Setiap langkah terasa berat, seolah kakiku terbelit rantai rasa sakit.
Kupencet tombol lift berkali-kali, tapi pintu belum juga terbuka. Tanganku gemetar, dan tubuhku mulai kehilangan keseimbangan.
“Bu… Anda tidak apa-apa?” seorang resepsionis wanita mendekat dengan wajah cemas.
Aku tidak bisa menjawab. Hanya bisa menggeleng.
Sampai akhirnya aku keluar dari hotel itu, menembus malam Jakarta yang dingin, dan terduduk di trotoar dengan napas terengah-engah.
Hatiku hancur.
Suamiku.
Dan sahabatku.
Di ranjang yang sama.
Beberapa menit berlalu. Entah berapa. Aku tak peduli.
Tapi saat aku menyentuh perutku…
Ada rasa mual yang mendadak menyergap.
Bukan karena jijik, bukan karena tangis… tapi tubuhku yang menolak semuanya.
Aku membungkuk, memuntahkan isi perutku di sela tangis yang makin keras. Dan ketika kubuka mata…
Aku terdiam.
Oh Tuhan… bisa jadi aku hamil.
Tubuhku masih gemetar saat akhirnya aku duduk di dalam taksi. Supir taksi itu sempat menoleh padaku dengan ragu, mungkin karena melihat mataku yang sembab dan gaun yang basah oleh hujan sisa air mataku sendiri.
"Arah mana, Bu?"
Aku menyebut alamat rumahku, pelan, hampir tak terdengar. Suaraku serak—seperti jiwaku baru saja direnggut.
Sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi suara itu. Suara Tania yang tertawa, lalu berubah gugup. Suara Raka memanggil namaku saat aku berlari keluar kamar. Tapi yang lebih menyakitkan bukan hanya pengkhianatan mereka, tapi kenyataan bahwa aku selalu mempercayai mereka.
Tania adalah sahabatku sejak kuliah. Kami berbagi banyak hal—termasuk rasa sakit. Dia tahu betul perjuanganku mendapatkan kepercayaan Raka, dia tahu betul luka masa kecilku karena ayah yang meninggalkan kami. Tapi tetap saja… dia hancurkan hidupku.
Dan Raka... suamiku. Lelaki yang pernah bersumpah tak akan membuatku menangis seperti ibuku dulu.
Semua itu bohong.
Setibanya di rumah, aku langsung masuk ke kamar mandi. Kupandangi wajahku di depan cermin.
Mataku bengkak. Bibirku pucat. Bahuku menegang.
Aku merasa seperti orang asing di tubuhku sendiri.
Kupeluk perutku. Entah benar atau tidak, entah hanya firasat atau sekadar ketakutan… aku merasa ada kehidupan kecil di dalam sana. Jika benar aku hamil, bagaimana aku bisa membesarkan anak ini dengan ayah seperti Raka?
Air mataku kembali mengalir. Kali ini tanpa suara. Tangisan yang paling sunyi… adalah tangisan yang tak lagi mampu menjerit.
Ponselku berdering. Nama itu muncul di layar:
📲 Raka
Aku menatapnya lama. Tanganku gemetar, tapi aku tidak mengangkat.
Detik berikutnya, sebuah pesan masuk:
"Nayla, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong angkat."
Menjelaskan? Apa yang mau dijelaskan? Bahwa ranjang hotel itu hanya 'kesalahan'? Bahwa dia tidak sengaja jatuh ke pelukan Tania?
Tidak. Kali ini aku tidak ingin mendengar.
Esok paginya, aku pergi ke klinik tanpa memberitahu siapa pun. Aku butuh kepastian—tentang tubuhku sendiri. Tentang kehidupanku yang mungkin berubah dalam hitungan minggu.
Perawat mengajakku ke ruangan kecil. Pemeriksaan dilakukan. Dan beberapa menit kemudian, dokter datang dengan hasil.
"Selamat ya, Bu Nayla," katanya dengan senyum lembut, "Anda hamil. Usianya sekitar lima minggu."
Hatiku tercekat.
Lima minggu? Itu artinya… malam saat kami terakhir bercinta, sebelum Raka mulai sibuk dengan ‘urusan kantor’.
Aku hamil.
Tapi bagaimana aku bisa menyambut kabar ini dengan bahagia, saat tahu ayah dari anakku—adalah suami yang mengkhianatiku?
Di dalam kamar, malam harinya, aku duduk sendirian dengan secarik kertas putih. Kertas itu kosong—seperti hidupku yang baru saja hancur.
Kupikir, mungkin aku harus pergi. Keluar dari rumah ini. Dari kota ini. Menyelamatkan anakku dari lingkungan yang penuh kebohongan.
Tapi aku juga takut. Takut hidup sendiri. Takut menghadapi dunia dengan perut yang makin membesar.
Kukira pernikahan adalah rumah. Ternyata… aku cuma tamu yang ditipu kenyamanan sementara.
📩 Pesan masuk lagi.
Dari Tania.
"Nay, aku minta maaf. Aku nggak pernah niat nyakitin kamu. Aku sayang kamu sebagai sahabat. Tapi semuanya terjadi begitu saja. Aku juga bingung..."
Tanganku mengepal.
"Terjadi begitu saja?"
Aku ingin membalas. Tapi kata-kataku hanya tertulis di kepala. Tak pernah benar-benar kuketik.
Aku hanya menatap layar, lalu melempar ponsel ke ranjang.
Mataku menatap langit-langit kamar, dan akhirnya, aku bicara—bukan pada siapa pun—tapi pada bayi kecil yang kini hadir di dalam tubuhku:
"Maaf ya, Nak… dunia ini nggak sebaik yang Mama kira."