Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 17 Sosok Rapuh
"Kenapa pada diem? Bantuin gue woi!" kesal Raffa seraya menahan tersangka yang terus memberontak di bawahnya. Atas perintah Pak Ahmad, beberapa anggota tim penyergap langsung mengambil alih tersangka tersebut.
Semua terdiam menyaksikan Raffa terengah sambil menumpukan lututnya di rerumputan. Dzaka dan Tanvir yang masih berada di dekat Raffa pun ikut diam membisu. Hingga Raffa menoleh ke arah mereka dengan senyuman yang dipaksakan. "Kayaknya gue butuh istirahat."
Tubuh Raffa tumbang begitu saja. Untungnya Dzaka dengan sigap menumpu tubuh sahabatnya itu. Dengan jarak sedekat ini Dzaka bisa merasakan panas tubuh Raffa meski tak sepanas pagi tadi.
"Bawa kembali ke rumah sakit!" titah Pak Ahmad yang disetujui Dzaka dan Tanvir. Mereka memapah tubuh Raffa menuju mobil Pak Ahmad yang dikendarai Kahfi. Sedangkan yang lain menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.
"Andai ngomong kasar gak bikin dosa. Rasanya gue pengen ngomong kasar sekarang." Tanvir menghela napas kesal seraya tetap memerhatikan jalanan malam yang ramai. Dzaka menoleh ke arah Tanvir dan tersenyum tipis. Dia sadar Tanvir mengkhawatirkan Raffa jauh lebih besar dari rasa kesalnya.
Sesampainya di rumah sakit, Tanvir dengan sigap memanggil petugas untuk membawakan brankar. Raffa kembali dirawat di ruang inap sebelumnya. Udara malam yang dingin membuat kondisi Raffa kembali memburuk. Suhu tubuhnya kembali naik dan masih tak sadarkan diri.
"Lo balik ke markas aja sama Bang Kahfi, Ka. Takutnya nanti urusannya jadi ribet kalau lo pulang kemalaman." Ucapan Tanvir langsung disetujui Dzaka. Namun baru saja Dzaka hendak ke luar, seseorang menghentikan langkahnya.
"Ganti baju lo! Gue antar pulang." Dzaka menerima tas yang diulurkan Dimitri dan memasuki kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Tidak butuh waktu lama, Dzaka sudah menggunakan seragam sekolahnya kembali dan berjalan mengekori Dimitri menuju parkiran.
...----------------...
Dari kejauhan Dzaka bisa melihat beberapa orang penjaga di depan gerbang rumahnya. Seolah tahu apa yang dikhawatirkan Dzaka, Dimitri memacu motornya mendahului Dzaka.
"Maaf memulangkan Dzaka terlalu malam." Dimitri langsung berhadapan dengan Paman Janu dan Paman Adi. Terlihat jelas Paman Janu menatap tak suka pada Dimitri, tapi Paman Adi menyambutnya dengan senyuman.
"Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah menjaga Tuan Muda Dzaka dan memulangkannya dengan selamat," balas Paman Adi seraya menjabat tangan Dimitri. Setelahnya Dimitri berpamitan pulang, sedangkan Dzaka memasuki pelataran rumahnya.
Dzaka berusaha menerbitkan sebuah lengkungan sempurna di wajahnya untuk berhadapan dengan Bi Edah. Dzaka hanya takut wanita paruh baya itu terlalu mengkhawatirkannya. "Bi Edah! Dzaka pu--"
Kepala Dzaka tertoleh ke samping karena sebuah tamparan yang mendarat di pipi kirinya. Dzaka dapat merasakan panas dari tamparan itu menjalari pipinya. Senyuman yang tadi terpatri indah di wajahnya perlahan sirna.
Dzaka menundukkan kepalanya mencoba menenangkan diri. Dia hanya tak siap melihat siapa yang baru saja menamparnya. Rasanya seperti mimpi tangan itu mampu menampar pipi Dzaka yang biasanya diberi elusan penuh kasih sayang.
Saat Dzaka memberanikan diri mengangkat pandangan, yang ditemukannya adalah tatapan nyalang tersirat luka. Wajah merah padam dengan tubuh gemetar itu membuat Dzaka kehilangan nyalinya.
"Edah! Apa yang kamu lakukan pada Tuan Muda?!" Paman Adi muncul dengan rasa tidak percaya yang memancing emosinya. Namun, sebelum Paman Adi mendekati Bi Edah, Dzaka menahan langkah Paman Adi dengan merentangkan tangan kirinya.
Tonggak rapuh itu sedang mengumpulkan segenap kekuatannya untuk memunculkan sebuah lengkungan sempurna meski sekejap. "Dzaka mau langsung istirahat, ya, Paman Adi." Kemudian ia mengalihkan pandangan pada wanita paruh baya di depannya. "Maaf udah bikin Bi Edah khawatir." Dzaka mengakhiri ucapannya dengan lengkung sempurna yang menampilkan lesung di ujung lengkungan itu.
"Kamu lihat itu Edah?! Kamu lihat, kan, bagaimana anak itu tetap menghargaimu?! Meski kamu yang membesarkannya, kamu tidak berhak menamparnya! Kamu harus sadar diri bahwa kamu hanya pengasuh!" murka Paman Adi yang terdengar jelas di telinga Dzaka.
"Harusnya kamu lebih tau cara menjaga perasaannya! Tapi kamu sendiri yang menjadi penyebab lukanya! Saya kecewa dengan tindakanmu, Edah!" Paman Adi beranjak ke luar rumah dengan perasaan marah yang masih mendominasi hatinya.
Dzaka memerhatikan kedua orang itu dengan tatapan sayu. Setelahnya Dzaka memasuki kamar dengan lesu. Saat berjalan menuju tempat tidurnya, tubuh Dzaka meluruh ke lantai. Kakinya seolah kehilangan tenaga untuk melanjutkan langkah. Dzaka terdiam meresapi sesuatu yang aneh di hatinya. Rasa panas di pipinya tak sebanding dengan lebam membiru di hatinya.
Dzaka merasakan sakit yang teramat di hatinya--jauh lebih sakit dari kekerasan yang dia dapatkan dari Tuan Emir. Tangan yang sudah berjasa membesarkannya semenjak bayi merah hingga remaja dengan penuh kasih sayang, kini menjadi alasan luka menganga lain di hatinya.
"Ini salah gue. Harusnya gue gak bikin Bi Edah khawatir." Dzaka mencoba menguatkan dirinya sendiri untuk kembali berdiri. "Lebih baik gue belajar, supaya usaha Bang Dimi gak sia-sia."
Dzaka masih mencoba menguatkan diri dengan bersegera membuka buku pelajaran. Tak lupa ia mengganti plester jarinya dengan yang baru. Baru saja penanya menyentuh kertas putih, air matanya berebutan jatuh membasahi pipi.
Pertahanan Dzaka runtuh. Ternyata dinding yang dibangunnya terlalu rapuh. Hanya dengan air mata saja, semuanya hancur berantakan. Perasaan sakit ini tak asing bagi Dzaka. Sudah lama ia mencoba menyembuhkan lukanya, tapi kini di samping luka lama yang masih menganga, sudah ada luka baru yang basah.
Sesaknya menimbulkan isak. Dzaka merengkuh tubuhnya yang masih dibaluti seragam sekolah. Tidak biasanya Dzaka mudah hancur seperti ini. Padahal tak ada luka pun tetesan darah. Namun, sakitnya terasa begitu nyata. Sampai-sampai Dzaka tak bisa berhenti mengeluarkan air mata.
"Ya Tuhan .... Rasanya sangat sakit," lirih Dzaka di sela tangisnya.
Dalam remangnya cahaya di kamar itu, Dzaka masih bisa melihat dengan jelas bekas merah di pipi kirinya. Perlahan telapak tangannya menyentuh tepat pada bekas tamparan. Saat itu pula bayang-bayang elusan penuh kasih sayang dari Bi Edah berputar di pikirannya.
"Harusnya gue gak ngelakuin hal-hal yang bikin Bi Edah khawatir. Hiks .... Harusnya gue ... gak mencoba menikmati kebebasan ini. Hiks." Harusnya dan harusnya mulai menjadi penyesalan Dzaka hingga tubuhnya yang sedang tidak dalam kondisi baik mulai menunjukkan reaksi.
Kepala Dzaka terasa berat dan hidungnya pun tersumbat. Pandangan Dzaka juga terasa berputar, hingga ia memilih memejamkan mata. Saat Dzaka hendak melangkah menuju tempat tidur, pandangan Dzaka menggelap. Tubuhnya tergeletak di atas lantai yang dingin.
Tidak ada yang mengetahui bahwa Dzaka sedang tak sadarkan diri di kamarnya. Pun tak ada yang mengetahui luka basah yang menganga di hati laki-laki itu. Malam yang dingin menemani Dzaka yang tergeletak tak berdaya dengan rasa sakit yang ditanggungnya.
Begitu pula seseorang di balik pintu yang masih gemetar menahan tangis. Rasa penyesalan tengah menggerogotinya hingga ia tak berani menemui majikan mudanya itu.
"Maafin bibi, Den Dzaka," lirih Bi Edah bersandar pada pintu kamar Dzaka yang tertutup rapat.