terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berpikir keras
Oline membolak-balik kan kado tersebut, dia masih ragu untuk membukanya, tetapi juga penasaran akan isinya. Setelah lama mempertimbangkan, dia memilih untuk tidak membuka kado tersebut. Oline membuka ranselnya dan mengeluarkan buku diary milik Vanya, dia membaca lembar demi lembar tetapi tidak ada yang mencurigakan dalam diary tersebut, diary itu hanya berisi aktivitas keseharian Vanya. Di lembar terakhir, dia menemukan catatan yang bertuliskan “Help me” kalimat itu ditulis dengan darah, tetapi Oline tidak mengerti karena lembar berikutnya sudah di robek, dia yakin itu adalah darah Vanya. Oline semakin bertekat untuk mencari siapa pelaku dibalik pembunuhan Vanya sahabatnya.
Tekatnya membuat dia berani membuka kado tersebut, Oline terkejut melihat isi dalam kado tersebut dia reflek dan langsung melemparnya ke lantai, kado tersebut berisi jari-jari tangan. Meski jari-jari tersebut hanya terbuat dari kayu, tetapi bagaikan jari manusia yang sesungguhnya.
Ada perasaan kagum dalam diri Oline karena pembunuh itu memiliki kualitas seni yang sangat tinggi, jika saja orang lain melihatnya tidak dengan secara teliti maka mereka akan menganggap itu jari-jari manusia asli.
“Akh ... Oline, apa yang kau pikirkan? Sebagus apapun seni ini, dia adalah pembunuh, ingat! Dia pembunuh sahabatmu sendiri!” ucapnya mengingatkan dirinya sendiri.
Di dalam kado tersebut juga berisi sebuah surat, Oline membacanya dengan seksama. Surat tersebut menjelaskan bahwa Vanya terlalu banyak tingkah dengan mengatakan teror ini kepada orang lain dan kini dia datang untuk melakukan aksinya.
Oline tampak berpikir dengan keras.
“Mengatakan kepada orang lain? Itu berarti aku? Karena Vanya hanya memberitahukan teror dirinya kepadaku, lalu siapa peneror itu?” jelasnya pada diri sendiri.
Oline yakin orang tersebut adalah orang terdekatnya yang mungkin memiliki gangguan mental.
“Paman Bara?”
Oline mencoba menebak-nebak siapa pelaku tersebut, tetapi dia hanya mengingat Bara, karena baginya hanya Baralah yang bisa setega itu kepada orang lain.
“Tetapi untuk apa? Lagi pula saat kejadian itu paman sedang bersama ayah, mana mungkin dia melakukan itu? Dia juga yang membantu Vanya dan juga keluarganya, jika dia melakukan itu apa motif dibalik semuanya?” tanyanya kepada dirinya sendiri.
Oline tak habis pikir, kenapa tuduhannya malah mengarah kepada pamannya sendiri, yang jelas-jelas dalam hati kecilnya dia tidak yakin kalau Baralah yang melakukan itu.
Oline membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dia ingin mengistirahatkan pikirannya sebentar, angin sore membuatnya mengantuk dan terlelap.
Sedangkan di tempat lain, berdiri seorang lelaki misterius yang terus memperhatikan jendela kamar Oline, keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal sore itu udara begitu sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan dahan dan dedaunan.
Pikirannya gelisah, saat dia tahu bahwa kado tersebut berada di tangan Oline. Dia sama sekali tidak berniat untuk mencelakai Oline tetapi justru sebaliknya, dia ingin melindungi Oline meski dengan cara yang salah, dia berpikir caranyalah yang paling benar karena dengan begitu tidak ada orang yang berani mendekati sang pujaan lagi.
Dia ingin menjadi satu-satunya orang yang berada di dekat Oline selain ayah dan pamannya.
Saat makan malam Oline terlihat tidak berselera, dia hanya mengaduk-aduk makanannya dengan sendok tanpa berniat memakannya, Bara yang melihat itu tampak heran, dia yakin kalau Oline belum menemukan titik terang tentang kasus kematian sahabatnya Vanya.
Oline beranjak dari duduknya.
“Gak mau makan?”
“Gak nafsu makan,” jawabnya tanpa menoleh ke arah Bara.
Baru selangkah Oline melangkah, tiba-tiba saja dari arah samping seorang pemuda menyenggolnya, Bara yang melihat itu sangat berang.
“Apa kau tak punya mata!” bentaknya.
Pemuda tersebut langsung bersimpuh di depan Bara dan Oline. Dia terlihat sangat ketakutan melihat amarah Bara.
“M—maafkan saya tuan,” ucapnya memohon.
Oline melihat Bara yang terlihat sangat marah, padahal baginya ini adalah kesalahan kecil.
“Gak papa, ayo bangun. Jangan bersimpuh seperti itu.”
“Oline!”
“Ini hanya kesalahan kecil, mungkin lantainya sedikit licin hingga dia tidak sengaja menyenggolku. Lagi pula aku tidak apa-apa, apa yang perlu dikhawatirkan?” jawabnya membela pemuda tersebut.
Bara terdiam dan meninggalkan Oline dengan perasaan jengkel.
“Bukankah dia terlalu baik? Pantas saja orang-orang menganggapnya rendah, dia tidak berani melawan! Semua kesalahan orang lain dia sepelekan, dia anggap itu kesalahan yang wajar!” gerutu Bara.
Perhatian Oline kembali terarah kepada pemuda yang masih bersimpuh di depannya, tanpa berkata apapun Oline memutuskan kembali ke kamarnya meninggalkan pemuda tersebut.
Bara kembali ke dapur, dia meminta pembantunya agar memasak nasi goreng untuk makan malam Oline, meski dirinya merasa jengkel terhadap sikap anak dari kakaknya ini tetapi Oline tetaplah keponakan dia satu-satunya yang harus dia jaga.
Tak lama berselang Bibi mengetuk pintu kamar Oline, Oline yang tengah melamun buru-buru membukanya, pembantu tersebut langsung menyerahkan nampan yang berisi nasi goreng tak lupa juga dengan air dingin. Oline tersenyum dan berterima kasih. Pembantu itupun membalas senyuman Oline dan bergegas untuk kembali ke kamarnya.
Kebetulan cacing-cacing di dalam perut Oline berdemo minta diberi makan. Oline pun langsung memakan nasi goreng itu dengan lahap.
Pagi menjelang, Oline sudah bersiap untuk pergi ke sekolah, saat turun dari tangga Oline kembali melihat pemuda tadi malam yang tidak sengaja menyenggolnya, dia heran siapa lelaki itu? Pemuda tersebut memandang Oline dan tersenyum, Oline membalas senyuman itu sekilas lalu pergi ke dapur.
“Bi, laki-laki itu siapa?” tanya Oline tanpa basa-basi.
“Oh itu non? Itu adiknya kang Komar, non tau kang Komar 'kan?”
“Iya, tukang bersih-bersih di taman belakang itu. Lalu kenapa adiknya ada di sini?”
“Dia sekarang kerja di sini menggantikan kang Komar.”
“Kang Komar kemana?” tanya Oline lagi.
“Katanya sih pindah dari desa ini, ikut istrinya.”
Oline mengangguk.
“Bi, buatkan aku nasi goreng seperti tadi malam, buat bekal sekolah.”
Bibi tersenyum dan langsung mengambil peralatan memasaknya, sedangkan Oline menunggu di meja makan sambil meminum susu hangat buatan sang Bibi.
Bara datang dan langsung duduk di depan Oline, dia mengambil roti dan mengoleskan selai coklat, Oline melihat Bara dari ujung kaki sampai ujung rambutnya yang nampak rapi, jelas sekali Bara ingin pergi hari ini.
“Kenapa? Apa aku terlihat tampan hari ini?” tanyanya tanpa melihat Oline.
“Hah?”
Oline tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih.
“Mau kemana?” tanya Oline kemudian.
“Mengantarkan kamu ke sekolah.”
“Dandananmu terlalu rapi jika hanya ingin mengantarkan aku ke sekolah,” ucap Oline ragu-ragu.
“Aku ada urusan di luar kota, sekalian nganterin kamu ke sekolah. Lagi pula kita searah, nanti kalau kamu pulang telfon sopir saja jangan menungguku pulang.”
“Ini non, bekal sekolahnya,” ucap sang pembantu sambil menyerahkan kotak bekal kepada Oline.