Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Bersama
Langit di luar jendela mulai berwarna biru, tanda pagi kian menjelang. Di ruang makan besar milik Andreas Wilton, suasana tampak megah namun mencekam. Meja makan panjang dari kayu tua mengkilap, dengan deretan kursi berukir rapi di sepanjang sisi-sisinya. Di atas meja, hidangan makan malam tersusun cantik dalam piring-piring porselen mewah, menebarkan aroma sedap yang memenuhi ruangan.
Andreas berdiri di dekat salah satu kursi utama, mengenakan setelan santai berwarna gelap, tangan kirinya melingkar di gelas anggur yang baru setengah isi. Ia melirik jam antik di dinding, lalu tanpa menoleh, ia bersuara.
"Richard," panggilnya dengan nada tenang namun penuh perintah.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat di koridor marmer. Richard muncul di ambang pintu dengan penampilan rapi seperti biasa.
Andreas memutar gelas anggurnya perlahan, memperhatikan warna merah gelap yang berputar dalam pantulan cahaya.
"Bawa Mistiza ke sini," katanya tanpa mengangkat wajah. Nada suaranya tegas, mengandung ketidaksabaran yang tertahan. "Sekarang."
Richard menundukkan kepala dalam-dalam.
"Segera, Tuan," jawabnya dengan suara rendah.
Namun sebelum Richard berbalik, Andreas menambahkan, kali ini dengan suara lebih pelan namun sarat makna, "Pastikan ia datang dalam keadaan rapi. Aku tidak ingin dia tampak seperti tahanan yang dipaksa makan."
Richard kembali membungkuk hormat, lalu menghilang di balik pintu untuk menjalankan perintah itu.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki kembali terdengar, kali ini lebih berat dan lambat. Richard kembali, di belakangnya berjalan dengan langkah pelan dan sedikit goyah, Mistiza.
Gaun putih sederhana yang dikenakannya membuat kulitnya yang pucat semakin terlihat rapuh. Rambut panjangnya tergerai tanpa banyak ditata, dan di matanya terdapat bayang-bayang kelelahan bercampur rasa takut. Namun, meski begitu, wajahnya tetap memancarkan keanggunan yang sukar disembunyikan.
Andreas menatapnya lama, seolah ingin menelannya bulat-bulat dalam sorotan matanya yang tajam.
"Baik," ucap Andreas akhirnya, suaranya tenang namun berisi ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Bawa dia ke sini."
Richard mengangguk, lalu memberi isyarat kepada Mistiza untuk mendekat.
Dengan langkah ragu, Mistiza berjalan ke arah meja. Matanya sesekali menatap Andreas dengan cemas, seakan mencari tahu maksud pria itu memanggilnya.
Andreas menarik kursi di hadapannya dan menunjuk ke arah kursi paling ujung untuk Mistiza, meski dalam satu meja yang sama tetapi lebar meja tersebut hampir berjarak satu meter.
"Duduk!" perintahnya singkat.
Tanpa berkata-kata, Mistiza menuruti. Gaun putihnya terseret sedikit di lantai saat ia menarik kursi dan duduk perlahan.
Andreas meletakkan gelas anggurnya di atas meja, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya tak lepas mengamati Mistiza.
"Aku memanggilmu ke sini karena aku ingin melihat bagaimana cara kau makan," kata Andreas datar. "Bukan tanpa alasan aku melakukan hal konyol ini, semenjak kemarin kau jatuh pingsan aku mulai heran dengan reaksi makanan itu di tubuhmu meskipun makanan bergizi telah disediakan. Aku ingin memastikan sendiri apa yang terjadi."
Mistiza menundukkan kepala. Ia tidak membantah, tidak pula menunjukkan perlawanan. Hanya ada ketundukan diam yang lebih menyakitkan daripada kemarahan.
Andreas mengangguk ke arah Richard.
"Sajikan makanannya," perintahnya.
Richard dengan sigap meletakkan piring di depan Mistiza. Sebuah piring berisi potongan daging sapi panggang, kentang tumbuk lembut, sayuran rebus, dan semangkuk kecil sup hangat. Semuanya tampak sempurna—makanan bergizi yang dirancang untuk mengembalikan kekuatan seseorang.
Andreas mengamati setiap gerak-gerik wanita di depannya. Ia memperhatikan bagaimana tangan Mistiza sedikit gemetar saat meraih sendok.
"Makanlah," katanya pelan, namun nadanya mengandung ketegasan yang tak bisa ditolak.
Mistiza mengangguk kecil. Ia mengambil sesendok sup, meniupnya perlahan, lalu memasukkan ke dalam mulut. Andreas mengamati caranya mengunyah, pelan, penuh kehati-hatian, seolah setiap gerakan menguras tenaga.
Suapan demi suapan, potongan demi potongan, Mistiza makan dalam diam. Andreas tetap memandanginya, kadang mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja dengan pelan, seolah menandai setiap detik yang berlalu.
Beberapa kali Mistiza terbatuk kecil, wajahnya sedikit menegang. Namun ia terus memaksakan diri untuk makan, mungkin karena tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan lain.
Andreas sendiri mulai makan makanannya, dengan gerakan santai dan tenang. Ia menikmati setiap suapan dengan ekspresi netral. Sesekali ia menyeruput anggur merahnya sambil tetap mengawasi Mistiza.
Waktu berjalan lambat.
Ketika Andreas meletakkan serbet di atas meja tanda ia selesai makan, ia mendapati bahwa Mistiza baru menghabiskan setengah porsi sarapannya. Andreas menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala.
"Begitu lambat," gumamnya, hampir tidak terdengar.
Mistiza berhenti makan, sendoknya bergetar sedikit di tangannya. Ia tampak berusaha keras menahan rasa tidak nyaman yang menguasai tubuhnya.
Andreas menatapnya tajam.
"Apakah kau berpikir aku akan meracunimu?" tanyanya sinis.
Mistiza menggeleng perlahan, namun tak mampu menahan getaran kecil di bahunya.
"Kalau begitu kenapa kau makan seperti orang yang dihukum?" lanjut Andreas. "Apakah kau ingin membuatku berpikir bahwa kau sengaja melemahkan tubuhmu agar bisa mencoba melarikan diri?"
Mistiza mengangkat wajahnya perlahan, menatap Andreas dengan mata besar yang tampak berkaca-kaca.
"Aku... aku tidak bermaksud seperti itu," jawabnya pelan. Suaranya serak, nyaris berbisik. "Aku hanya... tidak nafsu makan."
Andreas memiringkan kepalanya sedikit, mengamati wajah Mistiza seolah mencari kebenaran dalam kata-katanya.
"Tidak nafsu makan," ulangnya, seakan mengejek. "Bagus. Sungguh jawaban yang klasik."
Ia berdiri perlahan, kursinya bergeser ke belakang menimbulkan bunyi berderit kecil. Ia berjalan mengitari meja, mendekati Mistiza.
Wanita itu menunduk lagi, tubuhnya menegang saat mendengar langkah kaki Andreas.
Namun Andreas hanya berdiri di belakang kursinya, menatap piring di depannya.
"Setengah porsi," katanya datar. "Dalam waktu hampir satu jam lebih. Apakah menurutmu itu cukup untuk mengembalikan kesehatanmu?"
Mistiza diam saja. Nafasnya tersengal pelan.
Andreas berjongkok sedikit agar sejajar dengan tinggi kepala Mistiza. Ia berbicara dekat telinganya, suaranya rendah namun dingin.
"Sepertinya kau mau mencari perhatian ku ya… Kalau begitu mau ku suapi? Atau…." Ia membiarkan kata-katanya menggantung, mengisi udara di antara mereka dengan ancaman tak kasat mata.
Mistiza menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai menggenang.
Andreas berdiri kembali. Ia menghela napas panjang, seolah menahan rasa frustasi.
"Kau akan tetap di sini sampai piringmu bersih," katanya dingin. "Richard akan menunggumu."
Tanpa menunggu jawaban, Andreas berbalik dan berjalan keluar dari ruang makan. Langkah-langkahnya bergema di lantai marmer sebelum akhirnya menghilang di kejauhan.
Richard tetap berdiri di dekat pintu, menjaga jarak namun tetap awas.
Mistiza menatap piring di depannya, napasnya berat dan tersendat. Ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, ia kembali mengambil sendok, berusaha memaksa makanan masuk ke dalam tubuh yang sudah menolak segalanya.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu