Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Bekal Makan siang
Sesampainya di penthouse, suasana terasa sunyi. Alzena segera menuju kamarnya dengan niat untuk langsung beristirahat, sementara Ferdinan melepaskan dasi dan duduk di sofa ruang tengah. Matanya terlihat lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi berbagai hal, terutama percakapan Alzena dan Rian di pasar malam tadi.
"Alzena," panggil Ferdinan tiba-tiba, menghentikan langkahnya yang hampir masuk ke kamar.
Alzena berbalik, sedikit terkejut. "Ada apa?" tanyanya singkat.
Ferdinan menatapnya sejenak sebelum berkata, "Buatkan aku jeruk hangat. Tenggorokanku kering."
Alzena menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya. Ia tahu bahwa menolak hanya akan memperpanjang pembicaraan yang tidak diinginkan. "Baik, tunggu sebentar," jawabnya dengan nada datar.
Alzena berjalan menuju dapur, mengambil jeruk segar dari lemari es, dan mulai memerasnya. Meskipun lelah, ia tetap memastikan minuman itu dibuat dengan baik. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa Ferdinan selalu ingin diperhatikan dalam hal-hal kecil seperti ini.
Sementara itu, Ferdinan duduk di sofa sambil melonggarkan kemejanya. Ia menatap ke arah dapur, memperhatikan Alzena yang sibuk dengan tugasnya. Ada sesuatu dalam cara Alzena bekerja—kesederhanaannya, ketenangannya—yang membuat Ferdinan sulit mengalihkan pandangannya.
Beberapa menit kemudian, Alzena mendekat membawa segelas jeruk hangat. Ia meletakkannya di meja kecil di depan Ferdinan tanpa berkata apa-apa.
"Terima kasih," ucap Ferdinan singkat, matanya tetap mengamati Alzena.
"Kalau sudah tidak ada lagi, aku ingin istirahat," kata Alzena, lalu berbalik untuk pergi.
Namun, sebelum ia sempat melangkah, Ferdinan memanggilnya lagi. "Alzena."
Alzena berhenti, tetapi tidak menoleh. "Apa lagi?" tanyanya pelan, suaranya terdengar lelah.
Ferdinan terdiam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, ia hanya berkata, "Tidur yang nyenyak."
Alzena mengangguk singkat dan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Ferdinan memandangi punggungnya yang semakin menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Setelah Alzena masuk ke kamarnya, Ferdinan menghela napas panjang dan menyeruput jeruk hangat yang dibuatkan oleh istrinya. Entah mengapa, rasa jeruk itu lebih menenangkan daripada biasanya.
Pagi itu, Alzena bangun lebih awal setelah menunaikan salat subuh. Ia menuju dapur dengan langkah ringan, berencana membuat sarapan sederhana untuk mereka berdua. Meski hubungannya dengan Ferdinan terasa canggung, ia tetap merasa bertanggung jawab sebagai istri, setidaknya secara formal.
Ia mulai menyiapkan nasi, sup sayuran dan daging, untuk bekal makan siang, roti panggang untuk sarapan memenuhi dapur kecil penthouse mereka.
Saat ia sedang sibuk mengatur piring, suara langkah kaki pelan terdengar dari belakangnya. Sebelum sempat berbalik, suara berat Ferdinan terdengar. "Pagi, Alzena."
Alzena terkejut, hampir menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya. Ia segera menoleh, dan menemukan Ferdinan berdiri di sana, dengan rambut sedikit berantakan, mengenakan kaos sederhana yang membuatnya terlihat santai namun tetap menawan.
"P-pagi," jawab Alzena canggung, kembali memusatkan perhatian pada sarapan yang sedang disiapkan.
Ferdinan sangat dekat dengannya berada di belakang Alzena hingga napasnya terdengar sangat nyaring ditelinga Alzena. "Dia... mau ngapain ya, kok deket banget. "batin Alzena.
"Kamu ... masak apa heumm,"tanya Ferdinan.
"Owh ini.. cuma sarapan sama.. bekal untuk makan siang, bapak mau bekal makan siang?"Alzena dengan suara patah-patah karena gugup.
"Boleh juga," Ferdinan menyandarkan tubuhnya pada meja dapur, matanya mengamati Alzena dengan intens. "Kau selalu bangun sepagi ini?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Iya," jawab Alzena singkat. Ia merasa gugup dengan cara Ferdinan memandangnya, tetapi mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya.
"Kau tidak perlu repot-repot membuat sarapan untukku," kata Ferdinan lagi. "Aku bisa membelinya di luar."
"Tidak apa-apa," balas Alzena tanpa menoleh. "Aku sudah terbiasa."
Ferdinan terdiam, memperhatikan gerak-gerik Alzena yang terlihat lincah namun sederhana. Ia merasa ada yang berbeda dari Alzena pagi ini, mungkin karena kesahajaannya, atau mungkin karena cara Alzena tampak begitu alami di dapur, sesuatu yang jarang ia lihat dalam kehidupan penuh kemewahannya.
Setelah selesai, Alzena meletakkan dua piring sarapan di meja makan. "Silakan dimakan. Aku akan ke kamar dulu," katanya, berusaha menghindari suasana canggung.
Namun, sebelum ia sempat pergi, Ferdinan menahan langkahnya. "Alzena."
Alzena menoleh, menatap Ferdinan dengan bingung. "Ada apa?"
Ferdinan tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih."
Kata-kata itu membuat Alzena terkejut. Ia hanya mengangguk pelan sebelum berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Ferdinan yang duduk di meja makan, menikmati sarapan dengan perasaan yang sulit ia pahami sendiri.
Pagi itu, Alzena telah rapi dengan kemeja putih sederhana yang dipadukan dengan celana hitam. Ia memasukkan beberapa dokumen ke dalam tasnya, bersiap untuk berangkat kerja seperti biasa. Namun, saat ia melangkah menuju pintu, suara Ferdinan menghentikannya.
ALZENA
"Tunggu, Alzena."
Alzena menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Ada apa?"
Ferdinan, yang sedang berdiri di dekat sofa sambil memasang jam tangan, menjawab dengan nada tegas namun tenang. "Aku akan mengantarmu."
Alzena mengerutkan kening. "Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri seperti biasa."
Ferdinan melangkah mendekatinya, tatapannya tajam namun ada sedikit kelembutan di sana. "Aku tidak sedang meminta izin. Aku akan mengantarmu. Lagipula, ini tanggung jawabku sebagai suamimu, bukan?"
Alzena merasa bingung dengan sikap Ferdinan yang tiba-tiba. "Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa naik transportasi umum."
Namun, Ferdinan menggeleng pelan, mengabaikan penolakannya. "Sudah kubilang, aku akan mengantarmu. Jangan membuatku mengulangnya lagi."
Alzena menarik napas panjang, tidak ingin memperpanjang perdebatan. "Baiklah," jawabnya singkat.
Ferdinan tersenyum tipis, lalu mengambil kunci mobilnya. "Ayo, kita pergi."
Di dalam mobil, suasana terasa sedikit canggung. Alzena sibuk memandang ke luar jendela, sementara Ferdinan fokus menyetir. Sesekali ia melirik Alzena, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Kau tidak harus melakukan ini setiap hari," kata Alzena tiba-tiba, memecah keheningan.
Ferdinan meliriknya sekilas sebelum menjawab, "Mungkin tidak, tapi hari ini aku ingin melakukannya."
"Ishhh, aneh."bisik Alzena.
Alzena memilih tidak menanggapi. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari cara Ferdinan bersikap, tetapi ia tidak ingin mengartikan lebih dari apa yang terlihat.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan kantor Alzena. Ferdinan memarkirkan mobilnya dengan rapi, lalu menoleh ke arah Alzena.
"Jangan pulang terlambat," katanya dengan nada datar namun terdengar seperti perintah.
Alzena mengangguk pelan. "Terima kasih sudah mengantar."
Ferdinan hanya mengangguk sebelum Alzena turun dari mobil. Ia memperhatikan langkah Alzena menuju lobi kantor hingga sosoknya menghilang di balik pintu.
"Kenapa jantungku berdegup kencang begini, padahal umurku sudah engga remaja lagi, kok kaya baru jatuh cinta ya,"gumam Ferdinan.
Di dalam mobil, Ferdinan menghela napas panjang, mencoba memahami perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya itu.
"Wahhh, dapat sugar daddy darimana tuh si Alzena, dianter sama mobil sport mewah, gua engga salah lihat kan?"ucap seorang staff di kantor Alzena. Vera langsung menyebarkan berita tersebut. Bahkan sampai ke manajer Alzena.
Pagi itu Bastian pun sudah datang, dia mengadakan meeting bahwa akan ada pertemuan dengan klien penting yaitu dari Klein Group dan pertemuan akan diadakan di sebuah Restoran ternama di kota ini.
"Selamat pagi semuanya, saya hanya ingin kita semua masing-masing tim harus bekerja keras karena ada klien yang akan bekerja sama dan menanamkan sahamnya di perusahaan kita ini merupakan suatu kabar baik untuk kita dan menuju progress yang lebih baik lagi." Ferdinan memberikan arahannya pada karyawannya.
"Alzena kamu ikut dengan saya untuk penandatanganan MOU nanti siang,"ujar Ferdinan.
"Baik pak."
"Bekal makan siangnya mubajir dong, pak Ferdinan juga bawa banyak pula."Alzena menggerutu dalam batinnya.