Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hari biasa yang tidak biasa
Gerbang sekolah terbuka, tapi tanpa penjaga.
Zean dan Lira melangkah masuk tanpa dicegat. Tak ada Pak Darman dengan peluit sakti dan catatan dosa pagi. Hanya gerimis sisa semalam yang masih menempel di paving, membuat udara terasa basah dan bau besi.
Zean melirik Lira. "seperti nya pak Darman sadar kalau dia bukan NPC.”
Lira mengangkat alis. “Atau dia bosen liat muka kamu tiap hari.”
Mereka masuk tanpa pemeriksaan. Kantin yang biasanya sudah hidup sejak matahari naik, kini hanya menebar aroma minyak goreng bekas dan rolling door yang menggantung setengah. Halaman sekolah tidak seperti biasanya,tak ada tawa, tak ada yang duduk di tangga sambil pura-pura baca buku, tak ada pasangan remaja yang adu diam karena salah paham soal status WA.
Beberapa siswa berjalan cepat, sebagian pakai masker, beberapa batuk pelan sambil menunduk. Suasana seperti ruang tunggu rumah sakit, bukan sekolah.
Di dinding lorong, selebaran baru tertempel dengan huruf besar yang mencolok:
“WASPADA: DEMAM MISTERIUS!
Segera lapor jika mengalami gejala berikut:
– Demam tinggi
– Mual
– Kehilangan orientasi
– Agresi mendadak”
Zean berhenti membaca. “Kayak daftar efek samping obat gagal.”
Lira memandangi selebaran lebih lama. “Atau kayak habis ngerjain tugas kelompok sendirian.”
__
“Kalau istirahat nanti kamu duluan ke kantin, ya,” kata Zean. “Biar aku bisa ambil tempat duduk favorit.”
“Yang deket kipas tapi jauh dari tanggung jawab?”
“Persis.”
Lira hanya mengangguk dan masuk ke kelas. Zean juga melangkah ke kelasnya sendiri.
Tidak ada yang mencolok. Tidak ada alarm. Tapi semuanya terasa... sedikit bergeser. Seperti ada bagian kecil dari dunia yang mulai tidak pas, dan semua orang pura-pura tidak melihatnya.
Zean duduk di bangkunya, dekat jendela. Tempat paling strategis untuk melamun tanpa terlalu mencolok. Di sekitarnya, beberapa teman sekelasnya masuk satu per satu,lebih pelan dari biasanya, lebih diam.
Ayu, yang biasanya ribut soal idol K-Pop, hanya diam sambil menggulung-gulung earphone. Raka duduk tanpa membuka jaket, meski biasanya kepanasan tiap pagi. Bahkan Johan, si tukang gosip yang biasanya membuka pagi dengan kabar remeh, hanya berkata pendek:
“Lu denger berita semalam?”
Zean mengangkat bahu. “Yang mana? Aku langganan tiga.”
“Yang... ambulans depan rumah Bu Sinta.”
Zean menoleh. “Yang guru biologi?”
“Iya. Katanya dia tiba-tiba nyakar suaminya.”
“Romantis banget,” gumam Zean.
“Bukan kayak gitu juga Zean,katanya pingsan... atau ngamuk... nggak jelas gitulah. Pokoknya ada orang pakai APD yang angkut dia.” Johan hanya nyengir tipis, lalu menunduk.
Guru belum masuk. Bel belum bunyi. Tapi semua anak sudah di tempat, duduk diam, menunggu sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak tahu apa.
Di luar jendela, langit belum benar-benar cerah. Awan masih menggantung, berat. Ada sesuatu yang menggumpal di udara,bukan hanya kelembapan, tapi semacam... ketegangan tak kasat mata.
Zean melirik jam dinding. Lima menit lewat dari jadwal. Tidak ada guru. Tidak ada pengumuman.
Lalu pintu dibuka.
Bukan guru yang masuk. Tapi siswa lain. Nafasnya terengah, wajahnya pucat.
“UKS... ada yang... jatuh kejang-kejang,” katanya pelan.
Semua mata mengarah padanya.
Zean tidak berkata apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa sepenuhnya terjaga.
...
Sementara itu, di kelas Lira, Lira tidak benar-benar memperhatikan pelajaran. Atau lebih tepatnya, tidak ada pelajaran yang dimulai. Ibu Endah, wali kelas mereka, belum muncul sejak bel berbunyi sepuluh menit lalu. Sebagian murid masih berdiri, beberapa duduk tanpa membuka buku. Seolah semua sedang menunggu aba-aba yang tidak kunjung datang.
Lira duduk di baris tengah dekat jendela, diam sambil menatap keluar. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat halaman sekolah. Beberapa anak tampak berjalan cepat, beberapa lainnya mondar-mandir seperti kehilangan arah. Ada yang duduk di tangga dekat taman kecil, menutup wajahnya, pundaknya berguncang pelan.
“Lu lihat nggak, tadi pagi?” bisik Dini, teman sebangkunya. “Katanya Pak Darman dibawa ke rumah sakit. Pingsan pas buka gerbang.”
Lira mengangguk pelan, tidak menjawab. Kepalanya masih memikirkan selebaran yang tadi tertempel di lorong. Bukan isinya yang mengganggu,tapi caranya tertempel. Tidak rapi. Miring, tergesa. Seperti ditempel oleh orang yang sedang dikejar waktu, atau ketakutan.
Pintu kelas sempat terbuka, kepala Pak Yono,guru olahraga,menengok sebentar.
“Tenang ya, anak-anak. Jangan keluar kelas dulu,” ucapnya singkat. Lalu menghilang lagi, terburu-buru, tak sempat ditanya apa pun.
Dari luar jendela, terdengar lagi suara aneh. Seperti benda logam jatuh, diikuti ringkikan keras dari arah parkiran sepeda. Beberapa siswa menoleh, sebagian berdiri ingin melihat.
“Lira,” Dini menunduk lebih dekat. “Kok... kayaknya ada yang aneh, ya?”
Lira menatap temannya sejenak. Lalu mengangguk.
Bukan cuma aneh. Ini seperti pagi yang terlalu pelan untuk menjadi nyata.
Seolah waktu sedang menahan napas.