NovelToon NovelToon
The Final Entity Never Regrets In Reality

The Final Entity Never Regrets In Reality

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Reinkarnasi / Epik Petualangan / Keluarga / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: RiesSa

"Namaku ya..."

Siapa nama dari tubuh gadis yang Kumasuki ini? Apa maksud dari semua mimpi buruk sebelum aku masuk ke tubuh ini? Lalu suara yang memanggilku Himena sebelumnya itu, apakah ada hubungannya denganku atau tubuh ini?

"Vıra...panggil saja aku Vıra." Jawabku tersenyum sedih karena membayangkan harus menerima kenyataan yang ada bahwa aku di sini. Benar, inilah Kenyataanku sekarang.

Semua tentangku, dia, dan tragedi pengkhianatan itu, akan terkuak satu-persatu. PASTI....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RiesSa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Conqueror 3

“Jangan pikirkan, mereka hanya tertidur karena ulahnya sendiri. Kalian fokus saja untuk bertahan. Masalah jaga bendera biar aku yang tangani.” Ucapku ke yang lain.

“Kamu yang melakukannya, Feenrar?” Tanya Yonna.

“Bukan, mereka tidur karena ulah mereka sendiri.” Jawabku pendek.

“Tapi, bagaima-”

“Mereka tidur karena ulah mereka sendiri.” Potongku langsung.

“Tapi…”

“Mereka tidur karena ulah mereka sendiri.” Potongku lagi.

“Uh…” Yonna ragu untuk bertanya lagi.

“Apa masih kurang jelas?” Tanyaku tersenyum.

“Tidak-tidak-tidak, ya kamu benar! Mereka tidur karena ulahnya sendiri. Ya! Pasti itu!” Akhirnya siswi tersebut menyerah dan tidak mengungkitnya lagi.

Grim dan lainnya terlihat mau bertanya hal yang sama ditanyakan oleh Yonna, tapi malah urung dan menganggap bagai angin yang berlalu. Senangnya melihat mereka begitu pengertian. Meski dengan muka penasaran dan menganggap kejadian ini tetap aneh.

“Namun siapa sangka, Si peringkat delapan bisa pingsan saat hendak mencuri bendera kita. Apalagi bola kedudukannya sudah berada di tanganmu Feenrar.” Ujar Gleme.

“Dia peringkat delapan?”

“Kamu tidak tahu?” Tanya Gleme.

Aku menggeleng, jadi yang mengancamku tadi adalah siswa peringkat delapan di angkatan kami? Pantas saja dia percaya diri sekali bisa mendapatkan bendera yang kujaga.

“Aku hanya sempat mengingat siswa berperingkat di atas Kakakku dan dua peringkat di bawahnya. Selain itu aku tidak tahu.” Kataku.

“Kakakmu?” Respon Henos bertanya.

“Ya, dia peringkat empat di angkatan kita. Sithra Hellena Ar Wooseman fi Looqe.”

“Ah benar juga, tadi kamu bilang namamu dari keluarga Wooseman. Tapi aku tidak menyangka Si bintang malam adalah Kakakmu?!” Tanya Henos lagi.

“Ya, dia Kakakku, tapi bintang malam?” Ucapku dengan nada bertanya.

Lunann menjelaskan tentang kekagumannya ke Kak Sith dan bagaimana indahnya AURA milik Kak Sith yang seperti pemandangan rIbuan bintang di langit malam.

“Hihihii… Terima kasih untuk pujian dan penjelasannya. Aku baru tahu tentang hal ini. Baiklah, kita ubah topik pembicaraan kita. Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya dalam permainan Conqueror ini?” Ucapku mengangkat pembicaraan baru.

Kami mendiskusikan lagi rencana untuk babak yang baru yang akan segera dimulai. Kali ini aku hanya akan diam dan menuruti semua rencana buatan mereka. Hasilnya akan ada delapan orang yang siaga, satu orang yang jaga bendera, dan satu lagi untuk menjadi support. Penjaga bendera berganti menjadi Grim, dan aku akan menjadi unit support. Tugasku simpel, bantu setiap unit siaga yang kesusahan dan menjadi pemantau.

“Ayo menangkan ini semuanya!”

“Oooouuu…!!!” Sorak kami bersama penuh semangat.

Conqueror dimulai!

Tanpa diduga kabut di lapangan hilang seketika saat pengumuman di berikan karena Si Hide menarik kembali AURAnya dan membuat medan terbuka. Alhasil pandangan antar kelompok seluruh lapangan tidak tertutupi lagi. Ada sebelas kelompok yang tersisa dengan jumlah anggota terbanyak dimiliki oleh kelompok emas biru, kelompoknya Zigruth. Anggota mereka berjumlah 35 orang diikuti oleh kelompok kami yang paling sedikit berjumlah 14 orang. Namun sepertinya jumlah kami tetaplah sepuluh, karena empat sisanya… ya… mereka yang pingsan ini!

“Tidak apa-apa, kita tetap akan jalankan strategi kita. Jangan patah semangat, tinggal sedikit lagi!” Kata Grim dari belakang.

Tanpa disangka kelompok kami diserang terlebih dahulu oleh dua kelompok di samping kanan dan kiri. Kami diserang dengan total 18 orang, itu artinya setiap satu dari kami harus menghadapi dua orang sekaligus menjaga bendera dan bola kedudukan masing-masing.

Perubahan mendadak medan lapangan membuat strategi yang telah disiapkan untuk medan berkabut sebelumnya sia-sia sekarang. Mereka berhasil mengepung dari segala arah hingga kami terpaksa mengelilingi bendera kelompok. Beratnya lagi Kromar, Gleme, dan Sonna telah kehilangan bola kedudukannya. Mereka terpaksa membantu musuh dan menyerang kelompoknya sendiri. Jumlah yang memusingkan! 21 vs 7!

“Akh!” Lunann pingsan.

Semenit kemudian, hanya tinggal aku dan Grim saja yang masih bertahan menjaga bendera. Tujuh anggota kami telah bergabung dengan tim musuh, dan satu sisanya Si Lunann telah pingsan di atas tanah.

“Bagaimana kalau kalian menyerah saja, berikan bendera itu dan kujamin kamu berdua masih mempunyai bola kedudukan. Kami juga tidak ingin berlama-lama.” Tawar siswa pemimpin serangan ini.

“Maaf, hal itu akan meninggalkan rasa pahit di lidahku nanti.” Tolakku.

“Aku pun.” Sambung Grim.

“Sayang sekali, tidak ada tawaran kedua setelah ini.”

Aku berusaha sebisa mungkin menahan mereka dengan hanya menggunakan tenaga saja mulai dari awal serangan. Karena aku penasaran, seberapa jauh aku dapat melakukannya tanpa menggunakan AURA. Mungkin terdengar egois dan keras kepala, tapi aku rasa sekarang adalah saat yang tepat.Ya meski hasil akhirnya sudah bisa tertebak, aku tersudutkan tidak berdaya.

“Argh!” Grim terlempar keluar lapangan dan tidak mampu lagi berdiri. Tinggal aku seorang…

“Maafkan aku.” Ucap Gleme.

“Jangan berat hati, kamu tidak salah sama sekali.” Kataku menenangkannya.

Wajah Gleme dan yang lainnya terlihat bersalah karena mengarahkan serangannya ke kelompok sendiri. Namun apa dikata, peraturan tetap peraturan. Aku memakluminya. Tapi setelah babak belur dan sendirian seperti ini, mungkin sudah cukup kali ya? Murid-murid ini sudah merasakan pengalaman lebih dari yang dibutuhkan. Aku sendiri sudah tahu sejauh apa tanpa AURA.

Aku melihat jauh ke tempat Bu Sigrune berdiri memantau setiap kejadian di lapangan ini. Dia sepertinya tengah fokus melihat ke kelompokku yang lagi kritis. Hide di sampingnya membuat sebuah isyarat lingkaran menggunakan tangan. Gerakan yang… Hihihii… Seperti monyet berkomunikasi, tapi tanda darinya sudah sangat cukup sekali.

Pak Looqe, Teer, dan Sic telah mengizinkan.

Aku menatap Gleme. “Serahkan sisanya padaku Gleme, kamu bisa beristirahat setelah ini.”

“Beristirahat?” Respon Gleme bingung.

Aku melompat mundur dan menarik benderaku ke tepi garis lapangan, lalu menancapkannya tepat di titik pojok garis. Kemudian mengambil nafas dan menutup mata sesaat.

“…”

“A-AURA apa ini!?” Siswa pemimpin serangan terpaku diam.

“AURA yang pekat dan berat sekali! Apa yang kamu lakukan Feenrar?!” Gumam Magni.

“Hah?! Siapa katamu? Feenrar! Siswi yang dirumorkan itu!?” Tanya siswa penyerang kaget.

“Aku juga baru tahu tidak lama, dia adalah Feenrar.” Jawab Henos pendek.

AURA dari jantung Garudaku hingga menyelimuti seluruh tubuh dan menimbulkan uap panas dari darah yang terbakar. Warna emas kemerahannya yang tidak pernah berubah sedari awal eksperimen di laboratorium kini membanjiri area sekitar hingga memberi kehidupan berlebih ke tumbuhan yang ada. Melihat ini membuat sebuah pertanyaan yang selalu terbesit dalam kepalaku…

Apakah aku diizinkan untuk hidup damai seperti ini? Di atas kematian orang lain?

Buru-buru kusingkirkan pikiran negatif itu dan kembali konsentrasi ke AURA agar tidak bocor ke mana-mana. Meminimalkannya hingga menjadi setengah dari AURA yang biasa digunakan oleh para ksatria utama kerajaan.

Aku berjalan keluar lapangan menghampiri Grim yang masih setengah sadar, kuberikan beberapa energi hingga setidaknya dia mampu berjalan sendiri. Tapi…

Braak!!!

“Kamu mau apa?” Tanyaku. Aku membanting cepat salah satu siswa yang hendak diam-diam mengambil bendera kelompokku di saat berusaha menyembuhkan Grim. Tentu saja sudah kupastikan dia tidak terluka parah dan kupukul tengkuknya agar dia pingsan.

“Grim, aku serahkan bendera ini kepadamu.” Pintaku.

“Y-ya…” Grim terlihat terkejut lukanya bisa sembuh secepat itu.

“Baiklah, tinggal satu-dua-tiga… delapan kelompok ya. Berarti kurang empat lagi.” Gumamku menghitung.

“Gleme, Henos, Akasha, dan yang lainnya. Maaf aku akan membuat kalian tidur setelah ini.” Peringatku.

“M-mau apa kamu?” Tanya siswa pemimpin serangan gugup.

“Tidak ada, hanya…”

Dak! Dak! Dak!

“Aku akan menyelesaikan permainan ini agar tidak terlalu lama.”

Gleme dan yang lainnya jatuh pingsan bersamaan dengan bola kedudukan mereka yang jatuh kepadaku. Kutitipkan bola-bola itu ke Grim agar dia menjaganya.

“M-monster…” Siswa pemimpin tim lawan jatuh tertunduk melihat semua timnya pingsan seketika.

“Maaf ya, aku telah berjanji ke kelompokku agar menang empat besar. Lagipula aku sangat tidak suka dengan hal yang namanya ingkar janji.” Ucapku sambil menepuk pelan bahunya. Dia pun jatuh pingsan akibat dari gelombang kejut kecil dari AURAku.

Seketika seisi lapangan terdiam antara takjub, takut, dan terkejut melihat perlawanan searah tersebut. Pandangan yang sama dari khalayak saat aku melawan Kaisar Surtr dulu ataupun Pak Looqe di istana Vicrost. Jika boleh jujur perilaku itu…

Tatapan yang memuakkan.

Aku menargetkan kelompok yang menyerang kami terlebih dahulu karena mereka yang terdekat. Tidak peduli meski ada teman sekelasku di sana, mata dibalas mata, tangan dibalas dengan tangan, dan serangan dibalas dengan serangan. Tapi tidak seserius itu sih, lagipula ini cuma permainan. Aku cuma menargetkan menang untuk memenuhi janjiku.

Dua kelompok berjumlah lebih dari empat puluh siswa langsung dinyatakan kalah dan seluruhnya kehilangan bola kedudukan beserta bendera. Aku bertanya ke salah satu teman sekelasku yang jadi tawanan di kelompok yang kukalahkan ini.

“Aku mau tanya, siapa yang mengkhianati kelompokmu dan pergi ke mana dia?”

“K-kamu tahu hal itu?” Tanyanya kaget.

“Katakan saja, akan aku usahakan agar bola kedudukanmu kembali.” Jawabku.

Dia menunjuk ke sebuah kelompok di samping milik kelompok siswa peringkat pertama Zigruth. Kelompok yang bekerja sama dengan kelompok Zigruth sepanjang permainan ini. Sehingga mereka menjadi kelompok nomer dua dengan anggota terbanyak daripada kami semua.

“Baiklah, terima kasih.” Aku membuat dia pingsan dan meninggalkannya.

Berjalan… sambil membawa dua bendera di tangan. Hihihii… Tinggal dua kelompok lagi dan permainan ini akan selesai.

Sreet…

“Hm?”

Dua puluhan siswa menghadang di depanku bersama lima orang dari kelompok yang sama dengan Zigruth. Aku menghela nafas kecewa. Kalau saja semisalnya kelompok Zigruth tidak ikut campur aku mungkin akan membiarkan mereka berlalu dan menyerang kelompok yang lainnya. Aku sebenarnya tahu dalang di balik penyerangan kelompokku juga berasal dari Si Zigruth, keempat kelompok ini saling bekerja sama selama permainan ini dimulai. Terus mereka salah? Tentu saja itu tidak! Makanya aku berniat melepaskannya karena itu juga bentuk dari strategi. Namun setelah melihat kerja sama terang-terangan ini, benar-benar…

“Bodoh sekali.” Sindirku pelan.

“Kamu mau apa?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Apa perlu ditanyakan lagi?” Tanyaku balik.

“Jangan belagu kau!” Dia terpancing amarah dan menyerangku, dan dia jadi yang pertama pingsan.

“Emosi yang tidak terkontrol akan membuat berbagai celah, apa tidak ada yang menasihatimu tentang hal tersebut?” Aku segera mengambil bola kedudukannya kemudian menoleh. “Bagaimana dengan kalian?”

Diselipi oleh rasa panik dan sedikit marah, mereka menyerangku bersamaan tanpa berpikir dua kali. Sesungguhnya kalau dirasakan lagi, pemandangan aku yang seorang gadis kecil dikeroyok oleh banyak orang sangat tidak enak dilihat. Sangat pahit dimata. Namun apa boleh buat, inilah sebuah prototipe kecil dari perang yang sesungguhnya. Di mana ras, umur, gender, dan agama hampir tidak dipedulikan.

Pahit sekali.

Hasilnya mereka semua pingsan tergeletak di lapangan, lebih cepat selesai lebih baik.

“Sudah kukatakan, emosi yang tidak terkontrol akan membuat berbagai celah.” Ucapku ke siswa-siswi yang pingsan.

Kemudian aku melanjutkan mengambil bendera milik kelompok ini dan berjalan lagi ke kelompoknya Zigruth. Mereka juga menghadangku dengan Zigruth di depan sebagai pemimpin. Matanya terlihat berusaha menyelidiki setiap sisi identitasku.

“Bolehkah aku lewat?” Pintaku sopan ke mereka.

“Mana mungki-”

Zigruth langsung menahan siswa yang hendak menjawab itu. “Kenapa harus kami yang menjadi targetmu?” Tanya Zigruth mencoba tenang kepadaku.

Aku menancapkan ketiga bendera yang kudapatkan ke atas tanah dengan sejajar, lalu menambahkan sebatang ranting kecil dan kutancapkan sebagai pelengkap agar jumlahnya empat. Menggambar lingkaran yang mengelilingi bendera dan rantingnya lalu berkata…

“Lihat bendera-bendera kecilnya, bukankah menurutmu ada yang janggal?”

“Kamu…” Zigruth sepertinya memahami maksudku.

“Jadi bisakah kalian membiarkanku lewat?” Pintaku sopan lagi.

Zigruth diam sesaat menimbang-nimbang untuk membuat keputusan. Meski terlihat keberatan, dia ternyata lebih pintar dari yang kukira.

“Silahkan.” Ucap Zigruth.

“Ketua!?” Teriak protes anggota yang lain.

“Terima kasih.” Ucapku mengambil kembali ketiga bendera dan berjalan untuk mengambil bendera keempat. Dengan begini aku tidak perlu menghabiskan waktu yang sia-sia untuk meladeni mereka.

“Ketua! Kenapa kamu menyerahkannya ke gadis kecil itu! Kita kalah kalau begini!”. Protes salah satu anggota Zigruth.

“Ini masih lebih baik daripada kehilangan bola kedudukan kita, apa kalian tidak lihat kemampuannya tadi.” Jawab Zigruth.

“Tapi kau peringkat satu di antara kami semua!? Kenapa kamu bisa setakut itu dengan gadis yang tidak jelas itu!?”

Zigruth terlihat menyesal telah bersikap terlalu yakin selama awal permainan. Menurutku itu adalah hal yang bagus untuk pelajaran, sifat angkuh dan sombongnya semoga hilang seusai permainan ini. Karena dia selalu menatap yang lain dengan tatapan merendahkan dan selalu merasa benar. Posisinya yang selalu di atas membuatnya buta akan kehormatan.

Aku mengambil bendera terakhir dan berjalan keluar dari kerumunan ini. Mereka di sekelilingku terlihat ingin menyerang tapi di sisi lain juga takut kehilangan bola kedudukan. Alhasil tatapan geram dan gigit jari dari mereka mengiringiku tanpa henti. Posisi juara mereka langsung sirna tanpa bisa melawan balik.

“Oh iya! Aku belum memperkenalkan diri ke kalian.” Aku balik badan menghadap ke kerumunan di belakangku. “Perkenalkan, aku adalah Feenrar LaVira Ar Wooseman fi Looqe. Mohon bantuannya untuk tiga tahun ke depan! Sampai jumpa.”

Seketika kerumunan itu terdiam dalam ukiran wajah terkejut. Nama dari siswi misterius yang dirumorkan karena mendapat rekomendasi langsung dari Raja dan undangan dari Kepala sekolah terbongkar sudah. Dengan ini mereka mendapatkan alasan untuk kekalahannya, dan aku bisa memenuhi kewajiban sebagai bukti siswa yang masuk sekolah ini di luar jalur tes.

Aku segera melangkah keluar dari wilayah kelompok Zigruth dan… Jreeng! Saat itu juga bel keras berbunyi menandai bahwa permainan Conqueror ini telah berakhir.

“Total partisipan berjumlah 200 siswa dari lima kelas, tereliminasi 40 siswa saat penyisihan. Menyisihkan 20 kelompok untuk permainan Conqueror. Kelompok yang tersisa adalah bola merah hijau dengan 18 siswa, biru kuning dengan 20 siswa, violet coklat 24 siswa, dan juara Conqueror ini, kelompok hitam emas berjumlah 98 siswa. Selamat kepada kalian yang telah bertahan!” Kata Bu Sigrune melalui pengeras suara.

Sisa dari siswa yang bertahan dan menang langsung sorak-sorak bergembira, meski sebagian besar dari siswa di lapangan ini pingsan karena perbuatanku. Grim dari kejauhan melambaikan kedua tangannya senang, aku membalas dengan lambaian dan senyum lebar.

Hari pertamaku di STA Ingrid ini ditutup dengan pesta kecil yang kelompokku adakan sore harinya. Kami menerima beberapa hadiah bagus sebagai juara pertama kompetisi dadakan tersebut. Tapi…

“Ah… kapan pulangnya?”

Dah berat mata ini.

1
RiesSa
Menyala gan
Hakim Zain
Menyala abangkuh!
Hakim Zain
Bagus thor
Hakim Zain
Nice
Linda Ika Widhiasrini
up gan
Linda Ika Widhiasrini
Doppelgangerkah? mirip banget
Linda Ika Widhiasrini
Up Thor
RiesSa: Siap, terima kasih
total 1 replies
Linda Ika Widhiasrini
lanjut thor
fayefae
penulisannya bagus thorr, aku mampir yaa, kalau berkenan boleh mampir balikk. semangat terusss
RiesSa
Terima kasih
👑Queen of tears👑
dalam bangettt ini thor /Kiss/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!