Raina Wulandari, seorang wanita cantik yang harus menerima kenyataan pahit ketika diceraikan oleh suaminya setelah hampir tujuh tahun membina rumah tangga. Dan alasannya sangat klasik, Raina dianggap mandul dan tak bisa memberikan keturunan.
Raina pulang ke kampung halamannya dan memulai hidup baru di sana. Niatnya ingin mencari ketenangan batin karena selama ini dia hidup menderita di bawah tekanan mantan suami dan mantan mertuanya.
Namun, hal itu sepertinya tak bisa berjalan lancar. Karena seorang pria dari masa lalu Raina muncul dan membawa semuanya kerumitan hidupnya. Raina akhirnya ikut terseret dan tak bisa lepas dari seorang duda tampan bernama Rahardian Pratama. Apalagi anak pria itu selalu menempel pada Raina, padahal Rahardian selalu menunjukkan permusuhan setiap bertemu Raina.
Bagaimanakah jalan kisah Raina? Apakah Raina mau menerima tawaran pernikahan dari ibu kandung Rahardian? Ataukah kembali pada Bayu, mantan suami yang dicintainya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naira_w, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Wanita di Seberang Telponnya
Pagi ini Raina tak bisa bangun seperti biasa. Kepalanya terasa berat dan tubuhnya sangat lemah.
Tadi subuh, Raina hampir tumbang setelah sholat subuh karena tubuhnya benar-benar lemas.
"In, makan dulu buburnya. Habis itu minum obat." kata ibunya yang membawa semangkok bubur dan segelas air hangat.
Raina yang merasa pusing hanya mampu duduk sambil bersandar di headboard tempat tidurnya. Ibunya pun segera menyuapkannya.
Raina sangat sedih jika mengingat kesalahannya dulu. Dia bahkan melawan ibunya demi menjadi menantu seorang wanita yang tak berhati itu.
Raina membuang ibunya yang selalu tulus menyayanginya demo seorang menjadi istri dari seorang lelaki yang membiarkan saja ibunya menghina dan memakinya.
"Bu, maafin Iin ya, Bu. Iin banyak dosa sama ibu dan ayah." kata Raina lirih.
Matanya kini berair kembali mengingat kekejaman ibu mertuanya yang selalu menyiksa batin dan menghancurkan mental Raina.
"Hus, gak usah ingat-ingat itu lagi. Yang penting sekarang kamu harus bisa bahagia. Biar ibu dan ayahmu itu bisa tenang." kata Bu Vivi.
Raina pun mengangguk, lidahnya terasa kelu. Tak bisa berbicara apapun. Ditambah dia merasa lemah dan pusing.
"Habis ini minum obatnya, kalau belum turun nanti kita ke dokter setelah Zaki pulang. Soalnya ibu juga khawatir, kemarin ada yang opname kena DBD di komplek kita." kata Bu Vivi.
Raina mengangguk saja agar ibunya tak tau dia sakit karena menangis semalaman setelah melihat kiriman foto undangan sia*an itu.
"Rayyan gak dianterin mas Iyan Bu?" tanya Raina pada ibunya, dia masih saja memikirkan bocah kecil itu saat sakit begini.
"Udah tadi pagi, tapi dibawa Iyan ke kantornya setelah dengar kamu sakit." kata Bu Vivi.
"Loh, kok gitu sih Bu. Kenapa gak biarin aja Rayyan di sini. Nanti di sana siapa yang jagain." kata Raina panik, dia sangat khawatir pada bocah kecil itu.
"Ck, justru kalau dia di sini yang ibu khawatirkan. Kalau sakitnya kamu nular ke Rayyan gimana? Dia masih kecil dan belum bisa bicara. Kan lebih kasihan." kata Bu Vivi pada Raina setelah memberikan sebutir obat.
"Iya juga, ya Bu. Tapi tetap aja Iin khawatir." kata Raina
"Telpon aja, kalau kamu khawatir. Jam segini sih udah selesai apel pagi." saran Bu Vivi sebelum meninggalkan kamar Raina sambil membawa mangkok dan gelas sisa makan Raina.
Raina mengambil ponselnya, dengan ragu-ragu dia memencet nomor yang selama ini dia hindari.
Papa Rayyan Calling
Tulisan itu terpampang di layar ponselnya. Rahardian lah yang memasukkan nomor dan juga nama pada ponselnya saat pertama kali dia menitipkan Rayyan. Cukup lama Raina menghubungi Rahardian bahkan mengulang dua kali panggilan sebelum diangkat.
"Halo" kata sapaan itu dari ujung telepon.
Namun bukan suara Rahardian, melainkan suara seorang wanita.
Sempat Raina terdiam dan mengecek nama yang tertera, takutnya dia salah menekan tombol.
"Halo, maaf. Benar ini ponselnya pak Rahardian." tanya Raina dengan hati-hati.
"Iya, Bu. Benar ini ponselnya pak Har. Cuma beliau lagi dipanggil ke ruangan pak wadir. Apa ada pesan, Bu?" kata wanita itu lagi.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Nanti saja saya hubungi kembali." kata Raina dengan kecewa.
Raina menutup panggilannya dan meletakkan ponselnya di atas nakas sebelah tempat tidurnya. Dia melihat bayangannya pada cermin yang menyatu dengan lemari pakaiannya.
"Ck, sudah bisa kau lihat kan Raina. Kau hanya serpihan debu yang bahkan tak akan dilirik sedikit pun olehnya. Fokuslah pada tujuan awalmu. Dan jangan oleng lagi." kata Raina pada dirinya sendiri saat melihat bayangannya itu.
Setelah itu Raina membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya, sepertinya efek obat yang ibunya berikan mulai bekerja. Karena Raina merasa mengantuk dan tertidur lelap kembali.