Setelah kesalahan yang dilakukan akibat jebakan orang lain, Humaira harus menanggung tahun-tahun penuh penderitaan. Hingga delapan tahun pun terlewati, dan ia kembali dipertemukan sosok pria yang dicintainya.
Pria itu, Farel Erganick. Menikahi sahabatnya sendiri karena berpikir itu adalah kesalahan diperbuat olehnya saat mabuk, namun bertemu wanita yang dicintainya membuat Farel tau kebenaran dibalik kesalahan satu malam delapan tahun lalu.
Indira, sang pelaku perkara mencoba berbagai cara untuk mendapat kembali miliknya. Dan rela melakukan apapun, termasuk berada di antara Farel dan Humaira.
Sebenarnya siapa penjahatnya?
Aku, Kamu, atau Dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Lelah
"Maksudmu kejadian waktu hujan kita di halte itu ya? Aku ingat. Makanya setelah itu Aku pakai Hoodie 'kan," ucap Farel tertawa-tawa.
Waktu berkelakuan begini Humaira jadi berpikir Farel cuma berlagak mabuk, soalnya pria ini masih lancar berpikir dan ingatannya pun bagus, dan dalam menahan gerakannya juga benar. Humaira mendengus.
Humaira tersentak sewaktu tangan yang berada di atas kepalanya diturunkan Farel, kemudian Farel mengalungkan tangan Farel yang bebas ke pinggangnya. Spontan mata Humaira membola merasakan dekapan Farel yang erat.
"Sekarang hangat 'kan?" tanya Farel.
"Kamu gi|a ya," umpat Humaira memberontak kembali, dan seperti yang sudah-sudah perlawanannya tak memberi pengaruh apapun pada Farel. Pria itu malah menikmati pelukan sampai tubuhnya bergetar.
Eh, bergetar? Humaira juga mendengar isakan.
"Aku mencintaimu, Humaira. Tidakkah Kamu mengerti?"
Seketika Humaira menjadi panik. "Farel, Kamu beneran nangis?"
Mood orang mabuk benar-benar kayak roller coaster, naik turun kayak bumil. Pertama marah, kemudian senang, setelah itu nangis. Humaira benar-benar dibuat kebingungan atas sikap Farel.
Kaki Farel yang gemetar akhirnya tidak mampu menopang raga Farel lagi dan jadilah ia ambruk, membuat Humaira terjatuh juga dan menimpa Farel.
Pria itu meringis kecil akibat benturan di pantatnya pada lantai, hingga menyebabkan rasa khawatir Humaira timbul tanpa bisa dicegah.
"Kamu nggak papa?" tanya Humaira.
Sesaat Humaira lupa pada posisinya. Farel tersenyum menyadari hal bagus dari posisi mereka.
"E-eh, eh."
Farel membaringkan tubuhnya, menyebabkan Humaira terbaring di dadanya. Lalu memiringkan diri dan Humaira menimpa lengannya, Farel kembali memeluk Humaira erat sampai menyusupkan kepala di bagian leher Humaira. Dia mengambil oksigen dalam-dalam disana, dan membuang tipis-tipis karbondioksida.
Napas Farel mulai teratur.
"Aku lelah, Farel. Lelah dalam berbagai hal," lirih Humaira.
Napas serta dengkuran halus terdengar seirama dalam jarak sedekat ini. Humaira pun dapat merasakan detak jantung Farel yang tenang, berbeda dengan irama jantungnya yang masih berdebar dan berdenyut sakit.
"Lelah menangis, lelah berpikir, lelah berlari, lelah juga bertahan, lelah memulai kembali. Tidur terkadang juga membuatku lelah, tapi bangun dari tidur juga tidak menghilangkan kelelahan itu," gumam Humaira. Matanya menatap kosong ke depan.
"Dan lelah juga pada kehidupanku yang mulai rumit sejak Aku mengenalmu, mencintaimu, Farel."
"Kesalahanku delapan lalu memang adalah pilihan yang Aku buat, tapi bukankah Kamu yang bertemu kembali adalah takdir? Apa arti pertemuan kita, Farel? Hubungan kita terlalu bercampur aduk untuk ada akhir yang bahagia."
"Aku ingin menemukan hikmahnya ya Allah. Biarkan Aku merasakannya."
Perlahan Humaira menarik diri dari Farel saat pegangan di kedua tangannya mengendur, dan menurunkan lengan yang melilit pinggangnya. Humaira akhirnya terbebas dari Farel.
Humaira mengambil jaket di gantungan dapur dan menyelimuti Farel menggunakan jaket tersebut. Humaira tersenyum. "Bukan hanya Kamu yang pakai jaket kemana-mana setelah kejadian itu, Farel. Aku enggak mau Kamu menemaniku kedinginan."
Humaira akhirnya memilih pulang dan meninggalkan Farel di dalam toko yang tidak terkunci.
Dalam perjalanannya Humaira mengabari dua pegawainya agar tidak masuk kerja besok. Humaira tidak mau mereka syok melihat terkaparnya orang di dalam toko, apalagi yang terkapar itu pengusaha sukses yang terkenal.
Alasannya? Tidak perlu alasan. Mereka dikatakan libur saja udah sujud syukur.
Humaira memeluknya tubuhnya yang bergetar akibat angin malam, dan kaki dibaluti sepatu putih menapak agak lambat.
Tiba dirumah Humaira harus menghela napas lagi. Mungkin dulu ia akan beristigfar beberapa kali melihat kiriman kardus berisi bangkai, tapi karena mungkin sudah kebal Humaira mulai menanggapi dengan membuangnya ke dalam tong tanpa basa-basi.
"Nenek peyot itu enggak ada kapoknya ya. Oh ya, diakan tinggal nyuruh," gumam Humaira meminum teh hangat.
Seusai menghangatkan tubuh, Humaira pun melaksanakan shalat isya disambut shalat tahajud sampai subuh menjemput. Humaira memilih menunggu pukul delapan pagi untuk shalat Dhuha, dan setelah itulah raga Humaira merasakan empukan kasur.
Sinar menyinari kelopak mata, menyebabkan ia tak tahan untuk tetap terpejam. Akhirnya setelah sehari tak sadarkan diri, Indira membuka matanya. Hal yang pertama kali terlihat adalah ruangan serba putih.
Berhembuslah napas dari mulutnya secara kasar. "Rumah sakit lagi ya."
Indira berpaling ke samping, tepatnya pada sofa. Berharap ada seseorang yang tertidur gara-gara menunggunya terbangun, tapi harapan itu abu.
"Farel tidak lagi menungguku."
Dulu iya, dulu sekali sekali di masa pertemanan mereka dan di awal-awal pernikahan, Farel masih menunjukkan perhatian. Namun seiring berjalannya waktu perhatian itu mulai sirna digantikan ketidakpedulian seperti kemarin, apalagi saat Farel tahu ada yang akan datang dimasa dropnya.
Dan setelah kebenaran kemarin, kemarahan Farel yang memuncak, apakah pria itu masih memiliki secuil kepedulian padanya.
Setitik air mata mengalir. Nyatanya Indira meragukan itu.
Dua hari kemudian.
Humaira bersyukur makhluk itu pergi dari tokonya, dan dua pegawainya bersikap biasa-biasa karena memang tidak menemukan sesuatu yang patut dicurigai.
"Eh, tumben Mbak ganti jaket secepat ini? Biasanya dipakai seminggu baru ganti lain. Apa yang Mbak pakai kemarin udah kotor?" tanya Naina polos, menghentikan aksi menyapunya.
Ia tak tau rasa penasarannya telah menghasilkan kerutan emosi di dahi Humaira. Bukan, bukan emosi pada Naina tapi pertanyaannya yang membuat Humaira kembali mengingat tragedi ia lebih awal mengeluarkan jaket dari lemarinya.
Ngomong soal jaket, Humaira jadi berjalan ke belakang rak kue dan tidak mendapati jaketnya di lantai. Humaira juga memeriksa sangkutan di dapur, namun jaket itu tidak ada.
Jangan-jangan Farel membawanya pulang? Yang benar saja. Humaira menepuk dahi.
Ia kembali dibuat istighfar beberapa kali sebelum akhirnya tenang dan bekerja dengan tentram.
Siang tiba, dan diwaktu inilah pelanggan ramai memesan dessert dan kukis untuk anak mereka. Seharusnya mereka sangat sibuk hingga tak punya waktu berdiri menetap, tapi Humaira malah tercengang di tempat akibat sosok yang membuka pintu toko dan tersenyum cerah padanya.
"Halo, Tante Ninja."
Kepala Humaira oleng sebelah.
...🌾🌾🌾🌾...