cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps #bayangan kak gio selalu muncul di pikiranku
Beberapa hari sudah berlalu sejak terakhir kali aku membalas chat dari Kak Gio. Notifikasi dari dia masih sering muncul di layar ponselku, tapi entah kenapa, setiap kali ingin membuka pesannya, ada perasaan berat yang menahan. Aku hanya menatap layar, lalu mematikannya lagi. Mungkin aku takut… takut terlalu berharap pada sesuatu yang tak pasti. Aku tahu, berharap terlalu dalam pada seseorang hanya akan melukai diri sendiri. Jadi, aku memilih diam, pura-pura tidak peduli, meski sebenarnya pikiranku masih terus memikirkan dia.
Hari-hari terasa datar. Aku menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat sekolah pagi, tertawa dengan Yuli di kelas, lalu pulang saat siang menjelang. Tapi entah kenapa, setiap melewati jalan tempat aku dan Kak Gio dulu sering berpapasan, ada rasa sesak di dada. Seperti ada sesuatu yang tertinggal di sana — mungkin kenangan, atau mungkin juga perasaan yang belum selesai.
Hari ini pun sama, tidak ada pelajaran tambahan, jadi aku pulang lebih awal. Cuaca cukup terik, jalanan ramai oleh siswa-siswa lain yang baru keluar sekolah. Aku berjalan menuju parkiran sambil memakai helm, rambutku sedikit berantakan. Saat menyalakan motor, aku mencoba menepis semua pikiran tentang Kak Gio. Sudahlah, semua sudah cukup, batinku.jangan sampai pikiran ku juga terganggu.
Tapi takdir kadang suka bercanda.
Begitu aku melewati jalan kecil menuju rumah, pandanganku langsung tertuju pada sosok yang sudah tak asing. Kak Gio berdiri di tepi jalan, bersandar di motornya. Wajahnya tampak lelah, namun matanya menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan — campuran antara rindu dan kecewa. Aku sempat terkejut, jantungku berdebar tak karuan. Aku bahkan hampir kehilangan kendali atas motorku saat dia melambaikan tangan dan meminta aku berhenti.
Dengan sedikit gugup, aku menarik rem. Motor berhenti tepat di depannya. Ia mendekat, suaranya pelan tapi tegas.
“Kenapa beberapa hari ini kamu nggak angkat telepon aku, Dek?” kata dia “Chat aku juga nggak kamu bales. Kamu marah, ya? Apa aku ada salah?”
Aku menunduk, pura-pura sibuk membuka sarung tangan, berusaha menutupi wajahku yang tiba-tiba panas. “Nggak, Kak… cuma sibuk aja akhir2 ini ada banyak banget pelajaran tambahan.”
Kak Gio menghela napas panjang. “Dari kemarin aku tahu kamu pulangnya siang, aku nunggu, tapi kamu nggak mau lihat aku. Kamu banyak alasan, padahal aku cuma mau ketemu dan ngobrol sama kamu dek.”
Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, mata kami bertemu lagi. Ada banyak hal yang ingin aku katakan — tentang rasa kecewa, tentang ketakutanku, tentang perasaanku yang belum siap terluka. Tapi lidahku keliru tetap saja diam ketika dia berbicara tidak bisa menjelaskan semuanya
"kak kalo boleh jujur sebenarnya akhir2 ini banyak hal yang membuat hati aku males untuk melakukan apapun kak karena kejadian kemarin, dampak setelah aku putus hubungan sama jen aku tiada ada harapan lagi untuk melakukan sesuatu bahkan untuk hidup saja aku sudah lelah ka " ucap ku sambil membelakangi kak gio,
“Kadang… aku cuma nggak mau berharap terlalu jauh, Kak,” ucapku lirih. “Karena kalau akhirnya aku ditinggal, aku nggak tahu bisa sekuat apa dan untuk kaka mulai dari sekarang lupakan aku kak, kit hanya teman yang ketemu nya gak sengaja. Karena ketika aku ketemu sama kaka aku selalu ingat sama jen, apalagi sama kata2 yang dia ucapkan yang cukup membuat aku down ka "
Kak Gio terdiam. Angin sore berhembus pelan, membuat dedaunan di pinggir jalan bergoyang lembut. Ia mendekat, suaranya pelan namun penuh ketulusan.
“Dek, aku nggak datang cuma buat minta maaf. Aku datang karena aku nggak mau kamu pergi tanpa tahu apa yang sebenarnya aku rasain.”
Aku menatapnya lagi — dan di balik tatapan itu, aku tahu, mungkin perasaan ini belum benar-benar selesai. Mungkin, justru inilah awal dari cerita yang sesungguhnya atau ini hanya ilusi aku saja