Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kasih sayang
“Untuk apa kamu melakukan semua itu? Mencuri dari mafia… resikonya terlalu tinggi, bahkan bisa merenggut nyawamu,” ucap Arga, nada suaranya dingin namun penuh tekanan.
Wanita itu hanya tersenyum kecil dari balik topengnya. Senyum yang bukan kebahagiaan, melainkan semacam kepasrahan. Seolah ia sudah terlalu terbiasa hidup dengan bahaya di sisinya.
“Aku tidak peduli,” jawabnya pelan tapi mantap. “Hanya itu cara tercepat… untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar.”
Arga menoleh, menatapnya lekat. Dari sorot mata wanita itu, ia menangkap sesuatu yang berbeda—sebuah beban, tanggung jawab besar yang dipikul sendirian.
“Untuk apa kamu melakukan semua itu?” tanya Arga lagi, kali ini lebih lembut, seakan ingin menggali lebih dalam.
Wanita itu menatap balik, suara lirihnya menusuk di antara keheningan malam. “Ada banyak orang yang harus kuberi makan.”
Kalimat itu membuat Arga terdiam. Tatapannya terpaku pada mata wanita itu. Tidak ada kebohongan. Hanya kesungguhan dan luka yang ia sembunyikan.
Hening panjang membungkus keduanya, hingga akhirnya wanita itu berdiri perlahan. “Untuk malam ini… aku rasa cukup sampai di sini saja. Sampai jumpa di lain waktu.”
wanita itu bangun dari duduk nya, Ia melangkah menjauh, siluetnya perlahan ditelan kegelapan malam, meninggalkan Arga seorang diri dengan ribuan pertanyaan yang belum terjawab.
Arga akhirnya bangkit dari duduknya. Saat ia hendak melangkah, ujung kakinya mengenai sesuatu yang keras. Ia menunduk, melihat koper yang tadi sempat dia terima.
Keningnya berkerut. " Kenapa koper ini masih di sini?" pikirnya. Tangannya menyentuh gagang koper, menariknya sedikit ke arah cahaya bulan. " Apakah dia benar-benar ingin memberikannya padaku… atau ada maksud lain yang belum ku mengerti?"
Arga menatap koper itu lama, seolah benda tersebut bukan sekadar wadah uang, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah rahasia, atau mungkin… jebakan.
Beberapa detik Arga hanya menatap koper itu dalam diam. Perasaan curiga dan tanda tanya terus menghantam pikirannya. Namun akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, ia memutuskan untuk membawanya. Tangan kanannya menggenggam erat gagang koper, melangkah kembali menuju rumah kosong yang kini ia jadikan tempat tinggal.
Malam berlalu.
Pagi hari menyapa dengan cahaya tipis matahari yang menembus celah jendela reyot. Arga terbangun dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan tubuh yang masih terasa lelah. Ia menatap langit-langit rumah tua itu sejenak, lalu bangkit perlahan. Penampilannya sederhana—tidak mencerminkan sedikit pun bahwa semalam ia berhadapan dengan sesuatu yang berbahaya.
Langkah kakinya berderit di lantai kayu rapuh menuju kamar mandi usang. Keramik retak, cermin buram, dan udara lembap menambah kesan tak terurus. Ia mencoba memutar keran tua, dan suara berderak terdengar sebelum akhirnya air menetes perlahan. Meski kecil, aliran itu cukup membuatnya menunduk dan membasuh wajah. Air dingin menyapu rasa kantuk, sedikit menyegarkan.
setelah itu, ia kembali ke kamar, membuka koper miliknya—bukan koper misterius yang ia bawa semalam, melainkan koper pakaian yang dia bawa. Dari dalamnya, ia mengeluarkan seragam sekolah yang biasa dia gunakan. Ia mengenakannya tanpa banyak ekspresi, lalu menata tas seadanya.
Ketika semua persiapan selesai, Arga melangkah keluar dari rumah reyot itu. Jalanan kecil yang ia lalui tampak sepi, hanya suara burung dan roda motor yang sesekali lewat. Dengan wajah datar dan langkah tenang, ia berjalan menuju sekolah.
Tidak ada kesedihan, tidak ada tekanan yang terlihat. Seolah kehidupan malamnya yang penuh darah dan rahasia hanyalah bayangan yang tidak pernah ada. Di pagi hari, Arga hanyalah seorang pelajar biasa—atau setidaknya, itulah yang ia tunjukkan pada dunia.
setelah Beberapa meter pergi meninggalkan rumah kosong itu, Arga berdiri di tepi jalan. Dengan wajah datar, ia mengangkat tangan, menyetop sebuah angkutan umum. Pintu berderit terbuka, ia naik tanpa banyak bicara, hanya menatap keluar jendela sepanjang perjalanan.
Sesampainya di depan sekolah, Arga merogoh saku, membayar ongkos, lalu turun perlahan. Kakinya menjejak trotoar, wajahnya masih tertunduk, seolah ingin tetap tenggelam di keramaian.
Namun, belum sempat ia benar-benar melangkah, suara langkah kaki cepat mendekat dari arah depan.
“Arga!”
Seketika ia menoleh. Dan saat kepalanya baru saja terangkat, sebuah pelukan hangat langsung menyambutnya. Tubuhnya sedikit terhentak karena tidak menduga sama sekali.
Pelukan itu erat, penuh kerinduan. Sejenak Arga hanya terdiam, matanya melebar, sebelum perlahan rasa hangat itu meresap menembus kesederhanaan pagi yang baru saja dimulainya.
“Gimana kabarmu Ar? Sekarang kamu tinggal di mana?” suara Rindi pecah, air matanya menetes deras. Pelukannya begitu erat, seakan takut kehilangan lagi.
Arga terdiam sebentar. Tubuhnya kaku, lalu pelan-pelan ia angkat tangan, menepuk punggung Rindi. Senyum tipis muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tenang, tidak memperlihatkan kesedihan.
“Sudah lah Rin… jangan begini terus. kelakuan kamu ini membuat Kita menjadi pusat perhatian, malu dilihat oleh murid lain,” ucap Arga dengan nada pelan, mencoba menenangkan.
Beberapa siswa yang lewat memang berhenti sejenak, menoleh ke arah mereka. Ada yang berbisik-bisik, ada juga yang hanya melirik sekilas sebelum melanjutkan langkah. Tapi Rindi sama sekali tidak peduli. Pelukannya tetap erat, kepalanya menunduk di bahu Arga.
“Maafin aku Ar… waktu kamu diusir dari rumah… aku nggak bisa berbuat apa-apa, aku nggak berani bela kamu,” lirih Rindi dengan suara gemetar. Bahunya ikut terguncang karena tangisan.
Arga menghela napas kecil. Tangannya perlahan mendorong bahu Rindi agar mau melepas pelukan. Saat wajah mereka berhadapan, Arga mengangkat kedua tangannya, mengusap lembut pipi Rindi yang basah oleh air mata.
“Jangan merasa bersalah begitu. Aku sudah ngerti kok,” ucap Arga tenang. Senyumnya kecil, tapi matanya menatap Rindi dalam, seolah ingin memastikan kalimat itu benar-benar sampai ke hatinya.
Rindi menunduk, bahunya bergetar. Tangisnya pecah semakin keras. Ia tidak berani menatap wajah Arga, rasa bersalah menekan dadanya sampai sesak. Dalam hatinya, ia terus menyalahkan diri karena tak mampu mempertahankan sepupunya tetap tinggal di rumah.
Arga menghela napas kecil lalu menahan tangannya di pundak Rindi. Ia tidak ingin sepupunya terus terpuruk. Dengan senyum tipis, ia menggenggam tangan Rindi dan perlahan menuntunnya berjalan masuk ke dalam sekolah.
Koridor terasa hening, hanya terdengar langkah kaki mereka berdua. Beberapa murid sempat melirik penasaran, tapi segera kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Sesampainya di depan kelas, langkah Arga mendadak terhenti. Urat di lehernya menegang. Naluri bertempurnya yang terasah sejak lama langsung berdesir. Ada sesuatu di balik pintu itu. Sesuatu yang tidak biasa.
Arga berdiri tegak, matanya menyipit ke arah pintu kelas yang tertutup rapat. Ia mengangkat tangannya pelan, sedikit mendorong tubuh Rindi agar berada di belakangnya. Rindi bingung, tapi mengikuti tanpa bertanya.
Tanpa berkata sepatah pun, Arga memutar gagang pintu lalu mendorongnya terbuka. Gerakan tubuhnya penuh kewaspadaan, seolah siap menghadapi apa pun yang menanti di dalam.
Dan benar saja. Begitu pintu terbuka lebar, sebuah penghapus papan tulis melayang cepat ke arah kepala Arga. Gerakannya nyaris tak terlihat bagi murid lain, tapi cukup jelas bagi Arga yang sudah terbiasa membaca ancaman.
Dalam sepersekian detik, ia memiringkan tubuhnya pura-pura menoleh ke samping, seakan hanya melihat suasana kelas. Sementara itu, tangan kirinya yang masih menggenggam Rindi ditarik kuat ke arah samping, memastikan sepupunya tidak terkena lemparan itu.
Buk! Penghapus menghantam dinding dan jatuh berdebam ke lantai, meninggalkan bekas kapur putih. Beberapa murid langsung menoleh, ada yang tertawa kecil, ada yang pura-pura tak tahu apa-apa.
Arga hanya tersenyum tipis, seolah tak terjadi apa-apa. Ia tahu kalau menunjukkan reaksi berlebihan justru akan membuatnya dicurigai.
Di arah depan, seorang murid tampak kecewa. Ia menepuk kepalanya dengan kedua tangan, ekspresi kesal jelas terlihat. Usahanya menjahili Arga gagal total, dan itu membuatnya semakin merasa tertantang.
Sementara itu, di bangku belakang tepat di pojok kanan, Keysha dan Kinan saling berpandangan. Tatapan mereka serius, jelas bukan tatapan murid biasa yang sekadar heran. Mereka sama-sama menangkap ada sesuatu yang janggal dari gerakan Arga barusan. Cara Arga menghindar terlalu cepat, terlalu tepat sasaran. Itu bukan reaksi spontan, melainkan gerakan yang sudah diperhitungkan.
Di sisi lain, di pojok kiri kelas, Leo yang tampak sibuk dengan buku bacaan sebenarnya tak benar-benar fokus. Kepalanya sedikit menunduk, tetapi matanya mencuri pandang ke arah Arga. Dari sudut matanya, ia juga menyadari hal yang sama—gerakan Arga tidak wajar untuk ukuran murid biasa.
Rindi, yang masih berdiri di samping Arga, justru terkejut dengan kejadian itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, wajahnya berubah tegang. Ia tidak mengerti kenapa murid lain tega melempar penghapus, dan ia juga tidak menyadari kalau Arga baru saja melindunginya. Yang ia rasakan hanya satu: takut jika sepupunya kembali menjadi sasaran kejahilan murid-murid di kelas ini.
“Rin, kamu duduk duluan ya. Aku mau taruh penghapus dulu,” ucap Arga sambil memegang kedua lengan Rindi dengan tenang.
Rindi mengangguk pelan, matanya masih menyiratkan rasa khawatir, lalu melangkah ke bangkunya. Arga pun berjalan mengambil penghapus yang tadi sempat dilempar.
Belum sempat ia meletakkannya di papan tulis, seorang anak bangor dengan wajah penuh kepuasan melangkah mendekat dari depan.
“Heh, kenapa tadi kamu malah menoleh? seharusnya kamu diem aja agar kena,” katanya sinis, menatap Arga dengan gaya menantang.
Arga hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tipis, tidak menunjukkan rasa takut atau marah. Ia lalu berjalan santai menuju papan tulis.
Merasa diremehkan, anak bangor itu semakin tersulut emosi. “Kurang ajar! Lain kali jangan coba-coba hiraukan gue kalau lagi ngomong!” teriaknya sambil mengayunkan pukulan ke arah kepala Arga.
Beberapa murid spontan menoleh, suasana kelas mendadak hening menunggu apa yang akan terjadi. Namun sebelum pukulan itu mendarat, Arga tiba-tiba menunduk cepat, pura-pura membenahi tali sepatunya. Gerakan itu membuat pukulan lawannya meleset hanya beberapa sentimeter di atas kepalanya.
“Cih!” anak bangor itu mendengus kesal, sementara murid-murid lain mulai bersorak kecil, ada yang menahan tawa, ada juga yang menutup mulut menahan kaget.
nunggu banget nih lanjutannya