Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3d. Burong Pocut Siti
Setelah keadaan Ayu berangsur membaik, warga desa berkumpul kembali di meunasah. Ayu beristirahat di sudut ruangan dengan wajah masih pucat, sementara Teungku Teungku Zainal duduk di tengah, memegang tasbih. Suaranya pelan tapi tegas saat ia mulai membuka rahasia lama.
“Anak-anak... cucu-cucu sekalian... malam ini kalian telah melihat sendiri kebangkitan roh Pocut Siti. Biarlah aku ceritakan asal usulnya, agar kalian tahu mengapa arwah itu gentayangan hingga sekarang.”
Semua mata tertuju pada Teungku Zainal. Suasana hening, hanya suara jangkrik dari luar jendela menemani.
*****
Alkisah, pada pertengahan abad ke-20, hiduplah seorang Uleebalang terpandang di kawasan Aceh Besar bernama Ikhsan. Ia dikenal sebagai penguasa yang keras, berwibawa, dan disegani rakyat. Meski kekayaannya berlimpah, hidup Ikhsan tidak lengkap tanpa kehadiran seorang putra laki-laki.
Namun Allah memberinya seorang anak perempuan, yang kecantikannya tersohor ke seluruh kampung. Gadis itu dipanggil Pocut Siti. Wajahnya putih berseri, rambut hitam panjangnya seperti gelombang laut, matanya teduh namun menyimpan ketegasan. Sejak kecil, Pocut Siti tumbuh sebagai gadis cerdas, suka membaca hikayat, dan gemar duduk di tepi sungai sambil bersyair.
Banyak pemuda terpikat, namun tak ada yang berani mendekat, karena ia adalah darah bangsawan.
Walaupun cantik jelita dan darah bangsawan mengalir di tubuhnya, Pocut Siti menyimpan sisi yang tak biasa. Usianya sudah mencapai 24 tahun, suatu hal yang dianggap “terlambat” bagi perempuan di zamannya. Pada masa itu, jika seorang gadis belum menikah menjelang usia dua puluh, masyarakat sudah mulai berbisik menyebutnya perawan tua.
Namun Pocut Siti tak peduli. Banyak pria kaya, tampan, bahkan bangsawan dari negeri tetangga datang melamar, membawa mas kawin berupa emas, kain sutra, hingga kuda pilihan. Semua lamaran itu ditolaknya dengan halus.
“Aku tidak butuh emas,” katanya kepada ibunya.
“Aku tidak butuh kuda,” jawabnya kepada utusan bangsawan.
“Aku hanya akan menikah dengan lelaki yang mampu membuat jiwaku tenang.”
Jawaban itu membuat ayahnya, Uleebalang Ikhsan, gelisah. Sebagai pemimpin, ia merasa aib bila anak gadisnya tak kunjung menikah, sementara rakyat menanti perayaan besar.
Di balik ketegasannya, Pocut Siti sering duduk sendiri di tepi sungai pada sore hari. Ia menatap aliran air, melantunkan syair-syair cinta yang hanya ia pahami.
Ada kegelisahan dalam dirinya: rasa sepi, rasa ingin bebas dari aturan bangsawan, dan hasrat menemukan cinta sejati yang bukan sekedar politik keluarga.
“Apakah salah bila aku ingin memilih sendiri jalan hidupku?” gumamnya sambil memandang ke arah laut lepas, seolah menunggu seseorang datang dari kejauhan.
Dan benar saja, penantian itu terjawab ketika seorang pedagang asing tiba di pelabuhan. Wajahnya berbeda dari lelaki kampung: berkulit sawo matang, bermata coklat, berbahasa dengan logat asing namun pandai merayu. Ia membawa barang dagangan yang belum pernah dilihat Pocut Siti—cermin besar, kain bercorak aneh, dan manisan manis dari negeri jauh.
Untuk pertama kalinya, hati Pocut Siti bergetar. Ia merasakan sesuatu yang tak pernah diberikan oleh para bangsawan yang datang melamarnya: kebebasan, rasa penasaran, dan cinta yang melawan adat.
Hubungan itulah yang menjadi awal dari tragedi besar, mengubah Pocut Siti dari seorang gadis cantik jelita menjadi legenda paling menakutkan di tanah Aceh.
Di lingkungan uleebalang Ikhsan, ada seorang pria bernama Zupri. Ia adalah algojo kepercayaan keluarga, terkenal dengan kekuatan dan keberaniannya. Tugasnya melaksanakan hukuman bagi siapa saja yang melanggar hukum adat—dari pencuri hingga pemberontak.
Namun di balik ketegasannya, Zupri menyimpan rahasia: ia sudah lama jatuh hati pada Pocut Siti. Setiap kali mengawal ke mana Pocut Siti pergi, Zupri diam-diam mengagumi kecantikan dan kecerdasan gadis itu.
Hingga suatu hari, dengan penuh keberanian, Zupri melamar Pocut Siti.
Namun jawabannya justru tajam dan tegas:
“Zupri... aku menghargaimu sebagai penjaga keluarga kami. Tapi jangan pernah berharap lebih. Aku tidak mencintaimu, dan aku tidak akan pernah memilihmu.”
Jawaban itu menghantam harga diri Zupri.
Sebagai algojo, Zupri terbiasa ditakuti. Tak pernah ada orang yang berani merendahkannya. Namun penolakan Pocut Siti membuat hatinya terbakar.
Sejak itu, ia mulai menyimpan dendam. “Kau menolak aku, Pocut... suatu hari kau akan menyesal.”
Zupri menjadi dingin. Setiap kali berpapasan dengan Pocut Siti, ia menunduk, tapi di balik sorot matanya tersimpan kemarahan dan rasa iri terhadap siapa saja yang dekat dengan gadis itu.
Hari itu, pasar pekan di Aceh Besar ramai luar biasa. Suara tawar-menawar, aroma rempah, kambing, dan kain-kain warna-warni memenuhi lapangan tanah yang dipenuhi orang dari berbagai kampung.
Pocut Siti, yang jarang keluar rumah, meminta izin untuk berbelanja bersama dayang-dayangnya. Dengan kain kebaya putih dan selendang sutra, ia menarik perhatian siapa pun yang melihat.
Di tengah keramaian, tatapannya bertemu dengan seorang pria asing berkulit sawo matang, wajah tegas, dan senyum yang memikat. Lelaki itu adalah Helmi, pedagang dari luar daerah yang datang menjual kain dan perhiasan.
“Selamat siang, Putri,” Helmi menyapanya dengan sopan, menundukkan kepala. “Bolehkah Tuan Putri melihat kain terbaik dari negeri seberang?”
Pocut Siti, yang biasanya dingin pada para lelaki, justru menatapnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu di mata Helmi: ketulusan bercampur keberanian.
Hari itu mereka hanya berbincang singkat, namun cukup untuk membuat hati Pocut Siti bergetar. Ia membeli sehelai kain, bukan karena butuh, melainkan agar punya alasan kembali melihat Helmi.
Pekan berikutnya, Pocut Siti diam-diam kembali ke pasar. Dan Helmi sudah menunggunya. Dari obrolan ringan tentang kain dan rempah, lama-lama mereka berbicara tentang hidup, tentang kesepian, dan tentang mimpi.
“Tuan Putri hidup di istana, pasti segalanya indah,” kata Helmi suatu kali.
Pocut Siti menggeleng pelan. “Tidak, Helmi. Istana hanya penuh aturan. Aku ingin merasakan hidup sederhana, berjalan bebas di pantai, tertawa tanpa beban.”
Mata mereka saling bertemu, dan dalam diam, benih cinta pun mulai tumbuh.
Sejak itu, Pocut Siti dan Helmi kerap bertemu diam-diam. Kadang di kebun pala, kadang di tepi sungai. Pocut Siti merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia temukan di rumah uleebalang. Helmi pun jatuh semakin dalam, hingga berani menyatakan:
“Jika kau bukan anak bangsawan, aku akan segera meminangmu.”
Pocut Siti tersenyum pahit. “Dan jika kau bukan orang asing, mungkin aku sudah menikahimu.”
Namun cinta tetap cinta. Malam demi malam, keduanya semakin dekat, hingga akhirnya terjalin hubungan yang melampaui batas adat. Dari situlah, benih-benih cinta tumbuh sekaligus benih malapetaka.
Ketika hubungan Pocut Siti dengan pedagang asing itu mulai tercium, Zupri melihat kesempatan. Dialah orang pertama yang membawa kabar tersebut ke telinga Uleebalang Ikhsan.
“Tuanku,” katanya dengan suara tenang namun menusuk, “anak Tuan, Pocut Siti, telah berbuat aib. Aku sendiri melihatnya bertemu diam-diam dengan lelaki asing itu. Jika tidak segera ditindak, nama baik Tuanku akan tercemar.”
Ikhsan marah, bingung, dan terluka. Tapi ia tak bisa mengabaikan kabar dari algojo kepercayaannya.
Note:
ULEEBALANG : sebuah jabatan setingkat bupati pada jaman dulu.