Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Suara deru mesin mobil terdengar mendekat ke halaman rumah besar keluarga Albirru. Lampu-lampu taman yang tertata rapi menyinari jalan masuk, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring kedatangan mobil hitam mewah itu. Pintu depan dibuka oleh salah seorang pelayan, menyambut kepulangan sang tuan muda.
Aliya yang sejak sore tadi duduk di ruang tamu, merapikan duduknya begitu mendengar suara mobil. Jantungnya berdebar, ada rasa gugup yang tak bisa ia kendalikan setiap kali bayangan Angkasa muncul dalam pikirannya. Sejak sore, ia sudah mencoba menyiapkan dirinya: rambutnya ia sisir rapi, wajahnya ia cuci bersih, dan gaun sederhana pemberian Bi Mar ia kenakan. Bukan untuk terlihat cantik, tapi setidaknya pantas.
Ketika pintu masuk terbuka, langkah Angkasa terdengar berat namun tenang. Aliya spontan berdiri, menunduk sopan, dan menyambutnya dengan suara pelan.
“Selamat datang, Mas…” ucap Aliya ragu, suara itu hampir tertelan oleh detak jantungnya sendiri.
Angkasa menghentikan langkahnya. Tatapannya langsung tertuju pada sosok yang menunggunya di ruang tamu. Ada sesuatu yang aneh di hatinya. Ia terbiasa pulang dengan rumah yang hening, pelayan hanya sekadar menyapa formal, lalu ia melangkah masuk ke kamar tanpa ada siapa pun yang benar-benar menunggunya. Namun kali ini berbeda. Ada seorang wanita—istrinya—yang duduk menantinya.
Sebuah memori pun muncul di kepalanya. Ibunya, Mommy Zivana, selalu menunggu suaminya pulang kerja. Duduk manis di ruang keluarga, menyiapkan teh hangat, lalu menyapa dengan lembut. Itu tradisi kecil yang tak pernah terhapus dari ingatan Angkasa. Dan tanpa ia sadari, kehadiran Aliya sore ini membuatnya mengingat kembali kebiasaan yang membuat rumah dulu terasa hangat.
Namun Angkasa menahan diri untuk tidak menunjukkan perasaan itu. Wajahnya tetap dingin, suaranya datar.
“Buatkan kopi dan antarkan ke kamarku, lalu siapkan pakaian ganti,” katanya singkat, lalu beranjak naik tanpa menoleh lagi.
Aliya hanya bisa mengangguk pelan. Perintah itu sederhana, namun membuat dadanya terasa sesak. Ada rasa ingin sekali membuktikan bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk pria itu.
Begitu langkah Angkasa menghilang di tangga, Bi Mar yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan mendekat.
“Nyonya, bisa membuat kopi?” tanya Bi Mar dengan suara hangat.
Aliya menoleh, tersenyum tipis. “Bisa, Bi. Tapi…” ia ragu, lalu melanjutkan, “Mas Angkasa suka kopi manis atau pahit, Bi?”
Bi Mar tersenyum. “Tuan muda menyukai kopi dengan manis yang pas. Tidak terlalu pahit, tapi juga tidak berlebihan. Cobalah menyesuaikan, Nyonya.”
Aliya mengangguk mantap. “Baik, Bi.”
Ia pun segera melangkah ke dapur. Aroma harum dari masakan malam para pelayan masih tercium, namun ia fokus pada satu hal: membuat kopi yang pas untuk suaminya. Tangan Aliya sedikit bergetar saat menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir. Ia takut hasilnya tidak sesuai, takut Angkasa marah atau menganggapnya tidak becus. Namun ia mencoba mengingat kata-kata Bi Mar: “manis yang pas.” Ia tambahkan sedikit gula, aduk perlahan, lalu menaruh cangkir itu di atas nampan.
Dengan langkah hati-hati, ia menuju kamar Angkasa. Jantungnya kembali berpacu. Kamar itu terasa begitu megah, pintunya saja tinggi dan berat. Ia mengetuk pelan sebelum masuk.
Ruangan luas menyambutnya, dengan interior modern yang maskulin. Ia menaruh cangkir kopi di meja kerja Angkasa, lalu berjalan ke arah walk-in closet. Di sana, ia memilihkan pakaian santai sesuai yang tadi diarahkan Bi Mar: kaos oblong hitam sederhana dan celana pendek selutut.
Ketika ia hendak keluar, tiba-tiba suara pintu kamar mandi terbuka. Aliya menoleh sejenak, lalu segera membuang pandangannya. Angkasa muncul hanya dengan sehelai handuk melilit pinggangnya. Rambutnya masih basah, tetesan air turun perlahan melewati dada bidangnya.
Aliya langsung memalingkan wajah, pipinya memanas. Napasnya memburu, tubuhnya kaku.
“M-Mas…” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Angkasa menyadari kegugupan itu, namun ia justru mendekat. Wangi sabun dari tubuhnya memenuhi udara, membuat Aliya semakin salah tingkah. Ia berhenti tepat di hadapan istrinya yang menunduk, lalu berkata singkat,
“Di mana pakaianku?”
Aliya menunjuk dengan jari tanpa berani menatap. “Di-disana, Mas…” suaranya bergetar.
Angkasa menoleh ke arah yang ditunjuk, menemukan pakaian yang sudah rapi di atas kursi. Ia mengangguk kecil. “Keluarlah. Tunggu aku di meja makan.”
Tanpa pikir panjang, Aliya berlari kecil keluar kamar, wajahnya merah padam. Ia merasa malu sekaligus bingung dengan dirinya sendiri. Mengapa kehadiran pria itu begitu membuatnya gugup?
Di dalam kamar, Angkasa tersenyum tipis—senyum yang jarang muncul di wajahnya. Ia mengenakan pakaian santai, lalu meraih kopi di meja. Ia menyesap sedikit, lalu mengangguk kecil.
“Hmm… not bad,” gumamnya. Bahkan, tanpa sadar, ia menghabiskan seluruh isi cangkir kopi itu.
Beberapa menit kemudian, Angkasa turun ke ruang makan. Aliya sudah duduk di kursi, menunggunya. Tangannya ia letakkan rapi di pangkuan, wajahnya tampak gugup namun berusaha tenang.
Suasana ruang makan malam itu terasa berbeda. Hangat lampu kristal di atas meja, aroma masakan tersaji, dan kehadiran seorang istri yang menunggu. Angkasa menarik kursi dan duduk. Ia sempat melirik Aliya, lalu membuka percakapan singkat.
“Kamu sudah makan?” tanyanya dengan suara datar.
Aliya menoleh, sedikit terkejut ditanya. “B-belum, Mas. Saya menunggu Mas dulu.”
Angkasa terdiam. Ada lagi memori lama yang muncul—kebiasaan Mommy Zivana yang selalu menunggu Daddy Samudra sebelum makan malam. Dan kini, Aliya pun melakukan hal yang sama. Ia tidak tahu kenapa, tapi hatinya sedikit tersentuh.
“Kalau begitu, ayo makan,” katanya singkat.
Pelayan mulai menyajikan hidangan. Nasi hangat, ayam panggang, sup sayur, dan tumisan sederhana. Aliya mengambil nasi secukupnya, lalu mempersilakan Angkasa lebih dulu. Setelah itu, mereka makan dalam diam. Namun diam itu tidak terasa canggung. Ada ketenangan aneh yang membuat hati Angkasa tidak lagi sekeras sebelumnya.
Sesekali, ia melirik Aliya. Gerakan wanita itu sederhana, tidak dibuat-buat. Cara ia memegang sendok, cara ia mengunyah pelan, bahkan cara ia meneguk air putih—semuanya begitu polos.
Aliya sadar dirinya diperhatikan, tapi ia berusaha tetap tenang. Dalam hatinya, ia hanya ingin membuktikan bahwa ia bisa menyesuaikan diri, bisa menjadi istri yang baik meski statusnya hanya “istri kontrak”.
Setelah makan malam selesai, Angkasa meletakkan sendok dan menyandarkan tubuhnya. “Kopi tadi… enak,” katanya tiba-tiba.
Aliya menoleh cepat, matanya membesar sedikit. “T-terimakasih, Mas.” Suara itu keluar dengan rasa lega sekaligus bangga.
Angkasa tidak menambahkan apa-apa lagi. Namun pujian singkat itu, bagi Aliya, terasa sangat berarti. Itu adalah pengakuan kecil bahwa usahanya tidak sia-sia.
Malam itu, ketika Angkasa kembali ke kamarnya, ia membawa perasaan berbeda. Ada sesuatu tentang Aliya yang mulai mengusik hatinya. Sementara di kamar lain, Aliya duduk di tepi ranjang, memegang dadanya yang masih berdebar. Ia tersenyum kecil, merasa untuk pertama kalinya ada harapan bahwa hidup barunya tidak akan selamanya dipenuhi dingin dan ketakutan.
Dan sejak malam itu, meski tak diucapkan, benih kecil kedekatan di antara mereka mulai tumbuh.
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣