Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Suka?
Lucy yang memperhatikan perubahan ekspresi Dewa langsung merasa ada yang aneh.
“Dewa? Ada apa? Chat dari siapa?” tanyanya hati-hati.
Dewa sempat terdiam beberapa detik. Matanya masih menatap layar, rahangnya menegang, tapi segera berusaha menormalkan raut wajahnya.
“Ah, enggak,” jawabnya datar tapi cepat. “Chat grup doang.”
Ia menepuk kedua bahu Lucy lembut, mencoba mengalihkan suasana.
“Udah, yuk balik ke festival. Emm…” ia menarik napas, tersenyum kecil. “Maaf ya gue… agak khilaf barusan.”
Lalu dengan nada menggoda ia menambahkan, “Atau mau dilanjutin?”
Lucy langsung mendelik. “Gak usah aneh-aneh!” serunya, mencubit pinggang Dewa cukup keras.
“Aw! Sakit tau,” keluh Dewa sambil tertawa kecil.
Lucy baru hendak berbalik ketika Dewa kembali menahannya.
“Eh, tunggu,” katanya sambil memiringkan kepala.
Dengan ibu jarinya, ia mengusap bibir Lucy pelan.
“Kayanya lo harus ganti lipstik deh.”
Lucy berkedip, bingung. “Kenapa emang?”
Senyum genit terbit di wajah Dewa.
“Soalnya lipstik yang ini gak tahan lama.” Ia menunjuk bibir Lucy. “Tuh, abis hehe....”
Lucy spontan menutup mulutnya dengan tangan, pipinya memerah. “Ini gara-gara lo juga, Dewa!”
Dewa hanya terkekeh pelan, menikmati bagaimana Lucy tak bisa menyembunyikan rasa malunya.
“Ya udah,” katanya akhirnya, dengan nada yang lebih lembut. “Ayo balik. Nanti orang-orang nyariin lo.”
Lucy keluar dari ruangan sambil menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang melihat.
Senyum kecil tersungging di wajahnya, seakan baru menyadari betapa beraninya ia barusan.
Beberapa langkah kemudian, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Astaga, Lucy! Eling, Luc! Menikmati banget lo barusan,” gerutunya pelan sambil berjalan cepat menuju area festival.
Sementara itu, Dewa masih berdiri di tempat, menatap layar ponselnya yang kini gelap.
Pesan tadi terus berputar di kepalanya seperti gema yang tak mau pergi.
Jantungnya berdegup tak karuan, jemarinya bergetar.
Ingatan tentang malam itu menyeruak tanpa bisa dicegah.
Napasnya mulai tak beraturan.
“Siapa yang kirim chat itu? Gak mungkin... orang sini gak ada yang tahu kejadian itu,” gumamnya panik.
Dengan cepat, Dewa menekan kontak Pak Dayat.
Sambungan tersambung, suara berat di seberang terdengar.
“Halo, Den.”
“Pak, bisa tolong lacak nomor seseorang?” suara Dewa rendah tapi tegang.
“Saya coba, Den. Kirimkan nomornya.”
“Oke, Pak. Saya kirim sekarang.”
Sambungan terputus.
Dewa menatap ponselnya lama, mencoba mengatur napas yang masih tersengal.
“Tenang, Dew,” bisiknya pada diri sendiri. “Itu udah berlalu. Kejadian itu bukan salah lo…”
Namun kalimat itu terasa hampa. Ia sendiri tak yakin mempercayainya.
Dewa akhirnya melangkah keluar dari ruangan, kembali ke arah festival.
Namun, dari ujung koridor yang remang, sepasang mata mengintainya tajam.
Tatapan penuh dendam menatap punggung Dewa yang menjauh.
“Setelah apa yang lo lakukan di masa lalu… jangan harap lo bahagia!"
“Lo gak pantas bahagia, Sadewa…”
...****************...
Rangkaian acara akhirnya selesai menjelang sore.
Stand Auralis Naturals mulai dibereskan, para mahasiswa pamit satu per satu.
Lucy baru saja menutup laptop saat Jeffry menghampiri dengan senyum ramah.
“Luc, kamu pulang sama siapa? Mau saya antar sekalian?”
Lucy menoleh cepat, mengibaskan tangannya pelan.
“Walah, gak usah repot-repot, Pak. Saya nunggu dijemput temen kok.”
Jeffry sempat hendak menjawab, tapi langkah riuh datang dari belakang.
Detri muncul sambil menyeret tas besar dan wajah kelelahan.
“Pak Jeff, anter kita aja gimana?” ujarnya dengan tawa kecil. “Lumayan, saya bisa hemat ongkos grab.”
Ahmad menyusul di belakang, mengangkat tangan.
“Saya juga ikut sampai kantor aja ya, Pak. Motor saya masih di sana, hehe.”
Jeffry tertawa kecil, lalu mengangguk pasrah.
“Yaudah, yaudah. Ayo sekalian deh, daripada pulang sendirian juga.”
Sebelum naik ke mobil, Jeffry sempat menoleh pada Lucy.
“Kita duluan ya, Luc.”
Lucy tersenyum, melambaikan tangan.
“Iya, hati-hati di jalan kalian.”
Mobil mereka perlahan menjauh, meninggalkan Lucy yang kini berdiri sendirian di area festival yang mulai sepi.
Sementara itu, Dewa dan timnya juga baru saja menutup acara.
Lampu-lampu di panggung mulai diredupkan, sisa balon dan brosur beterbangan ditiup angin sore.
Dewa berdiri di tengah keramaian kecil itu, menepuk tangan pelan sambil tersenyum lelah.
“Akhirnya selesai juga. Makasih buat semua tim yang udah terlibat, acara tahun ini sukses, guys!”
Tepuk tangan meriah pecah dari para panitia.
Bayu menambahkan dengan semangat,
“Oke, dengan ini tim Creative Fest resmi berakhir! Sampai ketemu di festival selanjutnya!”
Satu per satu anggota tim berpamitan, meninggalkan area yang mulai kosong.
Dewa masih di tempat, membereskan tas dan beberapa dokumen di meja registrasi.
Tak lama, Cindy menghampiri sambil menggantungkan tas di bahu.
“Dewa, pulang bareng yuk.”
Dewa menoleh, tersenyum kecil.
“Duh, Cin... sorry banget, hari ini gue gak bawa kendaraan.”
Cindy menggeleng cepat, tetap mencoba menahan Dewa.
“Gak papa, gue bawa mobil kok. Sekalian aja, biar gue anter.”
Dewa sempat ragu sejenak sebelum menolak halus.
“Emm, gak deh. Makasih ya tawarannya, tapi gue nunggu dijemput sepupu.”
Cindy sempat terdiam, wajahnya menahan kecewa tapi mencoba tetap ramah.
“Oh... yaudah deh, hati-hati ya. Sampai ketemu besok.”
“Iya, Cin. Makasih.”
Cindy pun melangkah pergi, Tak lama setelah Cindy pergi, ponsel Dewa bergetar.
Satu pesan masuk dari nama yang langsung bikin senyum muncul di wajahnya.
Lucyana
Gue di parkiran paling pojok.
Dewa tersenyum kecil. Istriku nungguin juga ternyata, batinnya sambil cepat-cepat melangkah ke parkiran.
Begitu sampai, ia melihat Lucy duduk di kursi kemudi, menunduk sambil main ponsel.
Dewa mengetuk jendela mobil pelan.
“Biar gue aja yang nyetir.”
Lucy mendongak, ekspresinya datar tapi matanya sempat menatap cepat ke arah Dewa.
“Gak usah, gue aja. Masuk sana.”
“Nurut gak?!”
Lucy mengangkat tangan menyerah.
“Yaudah, iyaaa.”
Mereka pun bertukar posisi, Lucy akhirnya duduk di kursi penumpang.
Begitu mesin menyala dan mobil mulai melaju, hening sempat menyelimuti kabin.
Lucy beberapa kali melirik ke arah Dewa yang fokus menyetir.
Dari samping, rahangnya terlihat tegas, hidungnya mancung sempurna, dan mata itu—astaga, mata yang tadi begitu dekat dengannya.
Sampai pandangannya turun ke bibir Dewa. Bibir yang...aww sexy maybe? 😁
Astaga, Lucy!
Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya keluar jendela.
"Sial gue salah fokus sama bibirnya terus hffftt..istighfar lucy istighfar...”
Dewa sempat menoleh sekilas, melihat pipi Lucy yang mulai memerah.
Senyumnya mengembang tanpa suara.
...****************...
Udara sore yang gerah sedikit teredam oleh kesibukan dan aura suram di balik jeruji besi. Dea baru saja menyelesaikan kunjungan yang terasa singkat dan menyesakkan. Ia menjenguk kekasihnya, Andika, yang kini mendekam di penjara.
Meskipun berat untuk berpisah, kalimat terakhir dari kekasihnya,masih terngiang.
"Kamu harus cari cara supaya aku cepet keluar dari sini yangg."
Ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, menatap tembok tinggi yang memisahkan dirinya dan Andika. Tangan Dea terkepal erat, kuku-kukunya memutih.
"Awas ya lo, Lucy. Gue gak akan tinggal diam setelah lo buat Andika kayak gini!"
...----------------...
Duh si Dea mau ngapain lagi sih?
Darderdor banget ini yang mau nyerang Lucy-Dewa 😫
Semoga pasutri muda kita ini kuat dan dapat mengahadapi nyaa...
Terimakasih untuk pembaca setia Bukan Berondong Biasa, jangan lupa untuk sertakan vote like dan komentar nya yaa supaya author semangaat! 😁😘
Have a nice day all ✨🥰