JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. NYARIS
Raungan dua makhluk bertanduk itu menggema, membuat udara semakin berat dan menyesakkan dada. Mereka menekan tubuh mereka ke pagar gaib yang dibuat oleh para penjaga bertombak, namun batas cahaya itu bergetar, seakan tak lagi mampu menahan desakan kekuatan mereka.
Sadewa berdiri kaku. Ketakutannya makin menjadi-jadi. Napasnya tersengal, meski ia tidak benar-benar bernapas dalam tubuh kasarnya. Tiba-tiba, salah satu dari makhluk bertanduk itu menggeram keras, dan dari telapak tangannya meluncur sesuatu, seperti tali tambang, namun bukan dari serat biasa.
Tali itu tampak menjijikkan, menyerupai usus yang basah dan berlendir, melayang-layang di udara dengan gerakan hidup. Ujungnya bergerak sendiri, melilit pergelangan tangan dan kaki Sadewa dengan cepat.
"A-Arsel!!" teriak Dewa, tubuhnya tersentak ditarik ke depan. Kekuatan tali itu begitu kuat, membuatnya seperti boneka tak berdaya yang diseret ke arah pagar.
Arsel tersentak, buru-buru berusaha menarik tubuh Dewa. "Bertahan, Dewa! Jangan lepaskan kakimu dari tanah!" Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Dewa erat-erat. Namun baru saja ia mencoba menarik balik, usus menjijikkan lain meluncur dari arah makhluk bertanduk satunya.
Dalam sekejap, lilitan itu menjerat pinggang Arsel, lalu mengikat kedua tangannya. Rasa perih menembus sukma, seakan tubuh astralnya terbakar oleh sentuhan itu. Arsel mengerang, terhuyung, lalu roboh berlutut.
"Aaaarghhh!" teriak Arsel.
Dewa panik. "Arsel!!"
Makhluk bertanduk itu tertawa serak, suaranya bergema, menimbulkan rasa mual.
"DIA MILIK KANJENG! MILIK KAMI! KAU TAK AKAN BISA MELAWAN! SERAHKAN!"
Tubuh Dewa terus terseret, setengah melayang, sementara Arsel berusaha mati-matian menahan meski lilitan menjijikkan itu semakin mengencang di tubuhnya. Dua penjaga bertombak mencoba menusuk ke arah makhluk bertanduk, namun tombak mereka seakan terhalang kabut hitam pekat yang muncul di luar pagar.
Ketegangan itu mencapai puncak. Dewa merasa tubuhnya sudah semakin dekat dengan pagar. Ia meronta, menangis tanpa sadar. "Tolong ... aku tidak mau ...."
Lalu ....
Sebuah suara berat, dalam, dan penuh wibawa terdengar di belakang mereka.
"Cukup sudah!! Enyah kalian dari sini!"
Suara itu bergema, seakan berasal dari kedalaman bumi dan langit sekaligus. Dari arah pintu gerbang rumah, sosok seorang pria tua muncul. Rambutnya sudah beruban, tapi tubuhnya masih tegap. Ia mengenakan kain jarik sederhana, namun aura yang memancar darinya membuat udara langsung bergetar.
Matanya menyala tajam, penuh cahaya aneh. Ia mengangkat tangannya, jari-jarinya membentuk mudra, lalu mulutnya merapal mantra cepat, seperti untaian bahasa kuno yang asing di telinga Dewa.
Seberkas cahaya merah keemasan melesat dari tangannya, menghantam pagar gaib yang bergetar. Cahaya itu berubah menjadi api besar yang membakar tali-tali usus menjijikkan itu.
"AAARGHHHHH!!"
Raungan dua makhluk bertanduk mengguncang malam. Tubuh mereka tersentak ke belakang, wajah mereka dipenuhi amarah dan rasa sakit. Lilitan yang menjerat tubuh Dewa serta mengikat Arsel mendadak terbakar seperti kertas kering yang dilalap api. Bau menyengat menusuk udara, seperti daging busuk yang hangus.
Sadewa terhempas jatuh ke tanah, tubuh astralnya menggigil, sementara Arsel terlepas dari ikatan, meski tubuhnya lemas.
Dua makhluk bertanduk itu meronta, tubuh mereka terbakar dari dalam. Api itu bukan api biasa, api itu melahap bukan daging, melainkan jiwa. Mereka meraung panjang sebelum akhirnya lenyap ditelan kegelapan, hilang dari pandangan.
Hening.
Hanya suara napas terengah Dewa dan Arsel yang tersisa di udara malam yang dingin.
Pria tua itu berjalan mendekat, langkahnya mantap. Ia menatap Dewa sekilas, lalu menghela napas panjang. "Bocah, kau masih terlalu muda menanggung semua ini."
Arsel mencoba bangkit, menunduk hormat pada pria itu meski tubuhnya masih gemetar.
"Eyang?" ucap Arsel.
Sosok itu mengangguk, lalu menepuk bahu Arsel. "Ayo, cukup main-main di luar. Sukma kalian nyaris robek. Kembalilah ke ragamu."
Dengan satu kibasan tangan, dunia astral itu berputar. Sadewa merasa tubuhnya ditarik kuat, masuk ke pusaran gelap, lalu mendadak matanya terbuka. Ia terengah-engah, mendapati dirinya kembali duduk di lantai kamar kos bersama tubuh kasarnya.
Arsel juga terbangun, keringat dingin membasahi wajahnya.
"Arsel?! Dewa?!" suara panik Tama langsung terdengar. Ia berlari mendekat. "Kalian kemana tadi?! Aku nggak bisa merasakan sukma kalian ... tiba-tiba hilang begitu saja! Aku hampir gila mencari kalian tapi aku nggak bisa!"
Dewa masih gemetar, belum bisa bicara. Sementara Arsel menunduk, menenangkan diri, lalu menatap Tama dengan serius.
"Tama, ada dua sosok yang mengincar Sadewa," beritahu Arsel.
"Apa?!" Tama membelalak.
Arsel hendak melanjutkan, namun tiba-tiba pintu kamar berderit. Sosok pria tua yang tadi muncul di dunia astral kini berdiri di sana. Tubuhnya nyata, bukan sukma. Cahaya lampu kamar menyingkap wajah tuanya yang penuh wibawa.
Tama menunduk dalam-dalam, terkejut melihat sosok tua itu datang. "Eyang?"
Sadewa yang masih terguncang hanya bisa menatap kosong, bingung sekaligus takut.
Arsel menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Dewa, kenalkan. Beliau adalah kakek dari pemilik rumah ini. Orang yang ikut menjaga tempat ini sejak lama."
Keheningan turun ke kamar itu, hanya napas tersengal Sadewa dan bunyi detak jam dinding yang terdengar. Sosok tua yang baru saja muncul berdiri dengan tenang, matanya menatap ke sekeliling ruangan seakan memastikan tidak ada yang mengikuti mereka dari dunia astral.
Sadewa menelan ludah. Dadanya masih berguncang, tangannya bergetar hebat. Sosok pria tua itu sama persis dengan yang ia lihat tadi, sama wibawanya, sama sorot matanya yang tajam dan berisi. Bedanya, kini ia berdiri dalam tubuh nyata.
Pria yang dipanggil Eyang itu menepuk punggung Sadewa dan Arsel, mengelus punggung mereka seolah ingin menarik semua sisa energi dan rasa shock yang dua pria itu rasakan.
Arsel menundukkan kepala dalam-dalam, bahkan Tama yang biasanya ceria pun tampak penuh hormat.
"Eyang," suara Arsel berat, penuh takzim, "terima kasih sudah menolong kami."
Pria tua itu hanya mengibaskan tangannya, seakan menyuruh mereka tidak banyak basa-basi. "Kalian ceroboh," ujarnya datar namun setiap kata terasa menekan dada. "Kalau ada sesuatu yang berbahaya seperti itu seharusnya kalian tidak melakukan rogo sukmo."
Arsel menunduk lebih dalam. "Saya khilaf, Eyang. Saya kira mereka tadi tidak ada."
Tatapan pria tua itu kemudian jatuh pada Sadewa. Mata tuanya dalam, memancarkan cahaya yang sulit dijelaskan. Seakan menembus jauh ke dalam sukma Dewa, mengupas satu per satu lapisan yang tersembunyi.
Sadewa sontak gemetar. Ia ingin berpaling, tapi pandangan itu seperti mengikatnya.
"Kau, bocah," ucap sang kakek perlahan, "apa kau sadar apa yang barusan terjadi?"
Dewa menggeleng pelan, suaranya tercekat. "Sa-saya ... nggak tahu, Kek. Saya sedang belajar mengendalikan kemampuan yang baru saya dapatkan bersama Arsel dan Tama, lalu tiba-tiba dua makhluk itu datang."
Sang kakek menyipitkan mata, seakan mengulang untuk menimbang makna. Ia lalu menghela napas panjang, menutup matanya sebentar. "Kau membawa hal yang tidak seharusnya kau bawa dalam hidupmu, Nak."
Tama yang dari tadi gelisah akhirnya angkat bicara. "Eyang, maaf tapi apa maksud mereka? Kenapa dua makhluk itu sampai berani menembus pagar gaib rumah ini hanya untuk Sadewa?"
Pria tua itu membuka mata kembali. Sorotnya dingin, namun ada sesuatu di baliknya, semacam kekhawatiran yang disembunyikan rapat.
"Makhluk bertanduk yang kalian lihat tadi bukan sembarangan," katanya berat. "Mereka adalah utusan. Utusan dari kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kalian bisa bayangkan. Mereka tidak akan muncul tanpa alasan, dan tidak mungkin mereka mengincar anak ini jika tidak ada alasan yang kuat."
Sadewa mendongak, wajahnya pucat. "Ikatan? Maksudnya ... apa saya punya hubungan dengan mereka? Nggak mungkin! Saya cuma siswa biasa, Kek."
Arsel menoleh cepat ke arah Dewa, mencoba menenangkan. "Tenang dulu, Dewa. Jangan panik."
Namun sang kakek melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa berat, seakan membawa aura berabad-abad. Ia berhenti tepat di depan Sadewa, lalu meraih dagu Dewa perlahan, membuat pemuda itu menatap matanya lagi.
"Tidak ada yang benar-benar 'biasa', Nak. Darahmu, sukma leluhurmu, mungkin menyimpan sesuatu yang kau sendiri tidak tahu. Kau harus ingat, banyak hal di dunia ini tidak diwariskan lewat cerita, tapi lewat garis darah yang tak bisa kau tolak," ucap sang kakek.
Kata-kata itu menusuk Sadewa. Ia merasa seolah sesuatu di dalam dirinya bergemuruh, sebuah rahasia yang bahkan dirinya tidak tahu.
Arsel memberanikan diri bertanya, "Eyang, aku membawa Sadewa ke sini selain untuk mengajarkan tentang kemampuan mata batinnya yang baru saja terbuka, tapi aku juga melihat tali itu ada pada dia."
Sang kakek tidak langsung menjawab. Ia melepaskan dagu Dewa, lalu berjalan pelan ke arah jendela kamar. Ia menatap keluar, ke halaman yang gelap. Melihat apakah masih ada ancaman di luar sana.
"Anak ini sudah ditandai bahkan sebelum dia lahir. Seseorang memberikan dirinya ke sang penguasa gelap yang sangat tua. Dan mereka menginginkan anak ini ketika waktunya sudah tiba. Dan waktunya sepertinya sudah mulai tiba," kata sang kakek, terlihat tidak senang dengan keadaan ini.
"Maksud Eyang ... jangan-jangan Dewa ...." Tama tidak berani meneruskan ucapannya. Takut membuat Sadewa panik.
Dewa tidak mengerti apa yang terjadi.
Arsel maju, berdiri di sisi Dewa. "Eyang, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Mereka sudah berani muncul di depan pagar rumah. Kalau mereka kembali, apakah Sadewa bisa aman?"
Pria tua itu menatap Arsel lama, lalu menghela napas berat. "Untuk sementara, selama ia berada di dalam rumah ini, ia aman. Penjaga masih cukup kuat untuk melindungi. Tapi ingat, pagar gaib hanya menahan dari luar. Jika ikatan mereka dengan bocah ini semakin kuat, bisa saja panggilan itu menembus mimpi, pikiran, bahkan raganya."
Sadewa terbelalak. "Tembus raga?"
Arsel meremas bahu Dewa, menahan tubuhnya agar tidak gemetar lebih jauh. "Tenang. Kita akan cari tahu. Kau tidak sendirian."
Pria tua itu lalu mendekat lagi, menepuk kepala Dewa perlahan, seakan seorang kakek menenangkan cucunya.
"Nak, jangan takut. Malam ini kau memang hampir terseret, tapi itu artinya kau sudah diberi peringatan. Kau harus siap, karena mungkin takdirmu jauh lebih besar dari yang kau kira. Ingatlah, tidak ada yang bisa menyakitimu kecuali dari izin Yang Kuasa," ucap sang kakek.
Dewa menatap Arsel dan Tama, dari ekspresi mereka berdua, jelas kalau Dewa tampaknya terjebak pada hal yang selama ini menjadi rahasia besar. Rahasia yang akan menghancurkan kepercayaannya terhadap orang yang paling penting.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???