NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:652
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 16 Api kecil ditengah Bayangan

Api unggun kecil berkeredap di tengah pondok reyot itu. Cahayanya menari di dinding kayu lembap, menyingkirkan sedikit kegelapan malam. Uap tipis dari pakaian basah mereka mengepul, bercampur dengan aroma kayu terbakar.

Mauryn duduk bersandar di tiang, memeluk lutut. Jaket Revan masih membungkus bahunya, meski tak banyak mengusir dingin. Ia menatap nyala api, namun pikirannya jauh lebih ramai dari yang bisa ditampakkan wajahnya.

Revan, duduk tak jauh darinya, sedang memeriksa pisaunya. Gerakannya tenang tapi tegas, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar bisa melepaskan kewaspadaan. Sementara Ardan, yang kini sedikit lebih hangat, berbaring dengan tangan dilipat di belakang kepala, menatap atap pondok yang reyot.

Hening cukup lama sebelum akhirnya Revan memecahnya.

“Kita harus bicara.”

Ardan mendengus tanpa menoleh.

“Tentu saja, selalu ‘kita harus bicara’ dari mulutmu. Kamu tahu rasanya lari dari maut lalu dipaksa rapat darurat?”

Revan menatapnya dingin.

“Kalau kamu tidak mau bicara, aku bisa mengikat mulutmu. Lebih cepat dan lebih tenang.”

Ardan mengangkat tangan, menyerah.

“Oke, oke. Kamu menang. Apa yang ingin kamu gali kali ini?”

Mauryn menoleh perlahan, suaranya pelan tapi jelas.

“Tentang ayahku. Darian.”

Ardan langsung terdiam, pandangannya berubah. Ia menelan ludah, lalu berguling menghadap ke api.

“Aku sudah menduga kamu akan tanyakan itu.”

Revan mengarahkan tatapannya ke Ardan.

“Kamu kenal dia?”

Ardan menghela napas panjang.

“Kenal bukan kata yang tepat. Aku tidak pernah bertemu langsung. Tapi nama itu selalu berputar di kalangan mereka orang-orang yang mengejar kita sekarang. Darian bukan hanya seseorang. Dia legenda… atau kutukan, tergantung siapa yang kamu tanyai.”

Mauryn mengepalkan jemarinya.

“Dia ayahku. Dan aku bahkan tidak tahu apakah dia hidup atau mati.”

Ardan menatap Mauryn lama.

“Aku bisa katakan satu hal: kalau dia mati, mereka tidak akan segila ini mencarimu. Jadi kemungkinan besar… dia masih hidup.”

Jantung Mauryn berdebar kencang. Harapan kecil muncul, meski samar.

Revan bersuara rendah.

“Kamu yakin tidak ada trik di balik kata-katamu?”

Mauryn menutup mata sebentar, menyelami gelombang hati Ardan. Getaran ketakutan masih ada, juga rasa frustrasi. Tapi kalimat terakhirnya… jujur.

“Dia tidak berbohong,” bisik Mauryn.

Ardan menoleh ke Revan, tersenyum sinis.

“Lihat? Aku punya juru pendeteksi kebenaran di sini. Kamu bisa santai sedikit.”

Revan mendekat, menancapkan pisaunya ke tanah dekat kaki Ardan.

“Jangan uji kesabaranku. Aku tidak pernah santai.”

Ardan terdiam, mengangkat kedua tangannya lagi.

Mauryn mendesah, lalu menatap Revan.

“Aku harus menemukannya.”

Revan mengernyit.

“Siapa? Ayahmu?”

“Ya,” jawab Mauryn mantap, meski suaranya bergetar.

“Dia kunci semua ini. Jika aku tahu kenapa mereka mengejar kami… kenapa aku dianggap warisan berharga… hanya dia yang bisa menjawab.”

Revan menatapnya lama, seolah ingin menimbang apakah keputusan itu lahir dari keberanian atau keputusasaan.

“Dan kalau kau menemukannya, lalu ternyata dia bagian dari semua ini? Bagaimana kalau dia tidak seperti yang kau harapkan?”

Mauryn terdiam. Hatinya perih hanya membayangkan kemungkinan itu.

“Kalau begitu… aku akan tahu. Aku lebih memilih kebenaran pahit daripada kebohongan manis.”

Revan menunduk sebentar, lalu mengangguk kecil.

“Baik. Kalau itu maumu, aku ikut.”

“Tapi ini… berbahaya.” Mauryn menoleh cepat.

“Kamu pikir apa yang kita alami sekarang bukan bahaya? Aku sudah memutuskan sejak awal. Aku tidak akan biarkan kamu sendiri.” Revan tersenyum tipis.

Mata Mauryn memanas. Ada sesuatu dalam cara Revan mengatakan itu tenang, tanpa keraguan yang membuat dadanya bergetar. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata macet di tenggorokan.

Ardan mendecak pelan.

“Astaga, kalian berdua ini. Satu-satunya alasan aku tidak muntah sekarang adalah karena aku terlalu lelah.”

Revan langsung menatapnya tajam.

“Kalau kamu lelah, tidur. Biar mulutmu berhenti berisik.”

Ardan hanya mengangkat bahu, tapi wajahnya menunjukkan ia benar-benar kelelahan. Ia berbaring lagi, kali ini membelakangi mereka.

Keheningan kembali, hanya diselingi suara api yang berkeretak.

Mauryn menarik napas panjang.

“Revan…”

“Hm?”

“Terima kasih.”

“Untuk apa?” Revan menoleh, mengangkat alis.

“Untuk tidak meninggalkanku. Untuk selalu bertahan.”

Revan menatapnya lama, lalu suaranya melembut.

“Aku tidak pernah lihat ini sebagai beban, Mauryn. Kamu bukan alasan aku terluka. Kamu alasan aku tetap maju.”

Mauryn menahan napas. Kata-kata itu menembus hatinya lebih dalam dari yang ia kira. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona hangat di wajahnya.

Revan tersenyum samar, lalu menambahkan

“Kau tahu, kau tidak harus selalu kuat sendiri. Sesekali, kau boleh bersandar pada orang lain.”

Mauryn mengangkat pandangan, menatapnya.

“Boleh aku bersandar padamu?”

Revan terdiam sejenak, lalu mendekat, jaraknya kini hanya beberapa jengkal.

“Aku harap kamu tidak menanyakannya. Karena jawabanku selalu ya.”

Mauryn nyaris kehilangan kata. Ia hanya bisa menundukkan kepala, menyandarkan kepalanya di bahu Revan. Rasanya asing, tapi juga aman.

Revan membiarkannya, menatap api sambil tetap waspada pada setiap bunyi dari luar pondok. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang lebih hangat dari api di hadapan mereka.

Tak lama, suara Ardan terdengar dari tempatnya berbaring.

“Aku tahu aku harus tidur, tapi kalau kalian mulai berciuman, tolong lakukan di luar. Aku tidak mau jadi saksi mata.”

Mauryn langsung terlonjak, wajahnya memerah. Ia buru-buru menjauh dari bahu Revan.

“A-aku tidak…”

Revan hanya tertawa pendek, untuk pertama kalinya sejak malam itu.

“Tidur saja, Ardan. Kalau aku benar-benar mencium seseorang, kamu akan jadi orang terakhir yang kuberitahu.”

Ardan menggerutu pelan, tapi kemudian sunyi kembali.

Mauryn masih menunduk, wajahnya panas. Revan hanya tersenyum samar, lalu berkata lembut.

“Tidurlah, Mauryn. Malam ini panjang, tapi esok akan lebih berat.”

Mauryn mengangguk pelan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bisa memejamkan mata tanpa terlalu takut.

Di luar pondok, hutan tetap bergema dengan suara malam. Bahaya belum pergi. Tapi di dalam ruangan reyot itu, untuk sesaat… ada tempat kecil untuk bernapas.

Bersambung…

Jangan lupa like, komen dan Votenya yah 🙌🏻

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!