Bagaimana caranya Hanum si preman pasar yang bar- bar seketika menjadi anggun saat dia harus menikah dengan anak majikannya.
"Ada uang Abang kucinta. Gak ada uang Abang kusita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menangis
Arya Chandra Wijaya, nama yang tertulis di papan nama dimana tertulis juga Vice Director di bawah nama yang juga dia bawa dari nama besar keluarganya, Chandra Wijaya.
Disana Arya tengah bekerja dengan serius. Menatap layar laptop yang menyala. Tak ada senyum terpatri hanya tatapan tajam seolah dia begitu fokus memahami pekerjaanya.
Ketukan pintu sedikit menyentaknya, meski tak mendongak Arya tahu yang masuk adalah asistennya.
Gerakan tangan Arya terhenti memberi isyarat agar pria yang menunduk hormat padanya itu boleh bicara.
"Tuan Rendi ada di luar, Tuan," ucapnya dengan nada hati- hati.
Aryan mengedipkan matanya. "Biarkan dia masuk."
Pria itu mengangguk patuh, lalu keluar untuk mempersilakan Rendi masuk.
Arya menutup laptopnya lalu menatap kedatangan Rendi adik sepupunya. "Ada apa?" tanyanya saat Rendi menghampirinya.
"Mas Arya pasti lagi sibuk. Jadi aku gak akan sita waktu Mas terlalu lama." Rendi tak perlu repot duduk dia masih berdiri dan menyimpan undangan di tangannya di depan Arya.
"Tapi, aku yakin seberapa sibuknya Mas, pasti datang ke pertunanganku, kan?"
Arya menatap kartu undangan di depannya, lalu memberikan senyum tipis. "Pasti."
"Ya dong. Mas juga harus jadi saksi aku di angkat jadi asisten direktur nanti." Rendi menyentuh papan nama di depannya. "Memiliki jabatan seperti Mas."
"Kamu yakin ingin menikah hanya karena ingin di posisi sama sepertiku?" gerakan tangan Rendi yang masih berada di papan nama Arya terhenti.
"Apa maksud, Mas?"
Arya menggeleng. "Aku hanya memberi saran. Jangan terlalu gegabah Rendi. Kamu yakin kemampuan kamu bisa menandingi aku?"
Rendi mengeraskan rahangnya. "Aku datang baik- baik menganggap Mas sebagai kakakku, tapi sambutan Mas sangat dingin."
"Undangan sudah di depanku, kamu mau apa lagi?"
Rendi mengangguk. "Aku dengar Mas juga sudah punya pacar? Kenapa? Takut aku benar-benar bisa menandingi Mas sampe buru- buru cari pacar? Tapi jangan sama pembantu juga dong, Mas, bikin malu keluarga aja."
Arya tersenyum miring, dugaanya benar. Di rumahnya ada pengkhianat. "Aku berbeda dari kamu. Mencari wanita kaya yang bisa kamu manfaatkan dan mendukung kamu. Aku mencintai dia. Jadi kenapa aku harus malu. Lagi pula aku cukup punya kemampuan tidak membutuhkan peran pendukung." Arya merasakan dadanya bergemuruh. Rasa mual tiba-tiba muncul dalam dirinya saat kata- kata itu muncul dari mulutnya.
Cinta?
Sebuah kata tabu yang membuat Arya merasa ingin meledak dan marah.
"Sudahkan. Kalau gak ada lagi silakan keluar. Aku masih sibuk." Rendi mengepalkan tangannya, lalu dengan nafas memburu dia segera pergi dari sana meninggalkan Arya yang masih duduk dengan tenang.
Pintu tertutup menimbulkan bunyi debuman. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Arya merasa suara itu mengganggu telinganya.
...
Hanum baru kembali setelah cuti dan menemani bapaknya di rumah sakit. Untuk hari ini ada Johan yang menunggui bapaknya sebelum nanti Hanum akan menyewa orang untuk menjaga bapaknya sebab adiknya itu juga perlu sekolah. Untung saja dia punya uang dari Arya. 50 juta itu bisa dia gunakan untuk keperluan adik- adiknya agar hidup lebih nyaman, juga untuk menyewa orang untuk menjaga bapaknya. Mungkin dia bisa minta Emak Jono nanti.
Baru saja memasuki kamar dan menyimpan tasnya, Hanum di kejutkan seseorang yang membuka pintu kamarnya hingga berbunyi keras.
"Anj—" Hanum memukul bibirnya hampir berkata kasar. "Kebiasaanmu, Hanum."
"Hanum, kamu udah datang!" Dia berkata dengan terburu-buru bahkan nafasnya terengah.
"Belum, ini setan bukan gue. Pake nanya lagi. Kagak liat gue segede ini," gumam Hanum semakin pelan di akhir kalimat.
Hanum berjalan ke arah lemari hendak mengambil seragamnya dan mulai bekerja. Namun baru saja membuka pintu tangan Hanum di tarik keluar kamar.
"Eh, apaan nih?"
"Cepet Num, Tuan muda lagi ngamuk."
"Hah? Gue belum ganti baju, belum mandi juga." Hanum mengendus dirinya, meski tidak bau tapi dia sudah di peringatkan untuk serba bersih saat menghadap Tuan muda.
"Gak ada waktu, Num. Semua orang udah kewalahan!" Langkah Hanum terus terseret mengikuti langkah teman sesama pelayannya.
"Pelan- pelan Sari, lo kira gue karung beras, main seret aja!" Hanum hampir tersandung saat menaiki tangga, hingga mereka tiba di depan kamar Arya, dimana para pelayan berdiri mengkerut. Ada beberapa orang terluka juga Ratna yang nampak berdarah di bagian dahi.
Astaga! Tuan muda gila itu.
"Hanum?" Ratna menatap Hanum, di sebelahnya ada dokter yang sedang mengobati lukanya.
"Nyonya kemana?" tanya Hanum memastikan, biasanya dia adalah orang yang paling khawatir.
"Nyonya dalam perjalanan, beliau sedang dinas."
"Gak ada yang bisa masuk Num, setiap ada yang masuk pasti kena." Sari berucap.
"Udah tahu dia gila, ngapain di samperin."
"Tapi Tuan udah dari siang ngamuk terus, Num. Kalau di biarin bisa celaka." Ratna menatap Hanum. "Tolong masuk, Hanum. Selama ini cuma kamu yang bisa tenangin Tuan muda."
Hanum mengedutkan hidungnya. "Menenangkan apanya. Gue juga manusia, ya takut lah." gumamnya. Namun saat ini Sari kembali mendorongnya agar segera masuk.
Sialan, emang!
Hanum melihat Ratna. "Kalau saya dalam bahaya, boleh ngelawan kan ya, Bu?" Ratna menggeleng.
"Jangan sampai Tuan muda terluka."
Benar- benar sialan!
Hanum membuka pintu perlahan, dan melihat kamar Arya sudah kacau. Meski suasananya gelap Hanum bisa melihat barang- barang sudah berserakan dan ada beberapa pecahan di lantai. Hanum mengedarkan pandangannya dan mencari dimana Arya berada. Hingga tatapannya jatuh pada pria yang tengah duduk di kursi dengan sebotol minuman di tangannya.
"Wah mabok ni orang," gumam Hanum dengan melangkah masuk.
"Mau apa kamu?" tanya Arya dengan tajam. "Sudah aku bilang tidak ada yang boleh masuk!"
Hanum menghela nafasnya. "Umur Tuan muda nih berapa sih? Kalau marah jangan suka ngamuk gak jelas dong! Masa tiap ngamuk sampe lukain orang." Arya mendongak, lalu bangkit berdiri.
Hanum menelan ludahnya kasar. "Sudah aku bilang untuk menjauh. Kenapa masih datang?" Mata Arya nampak menyala, sudah seperti mata kucing di kegelapan membuat Hanum sedikit bergidik.
"Mereka juga datang bukan karena mau."
Arya terkekeh. "Tentu saja, itu pengorbanan mereka untuk uang."
"Ya, iya lah. Tapi gak sampe luka juga." Kalau gak ada uang Arya pikir mereka mau.
"Tapi mereka juga akan diam hanya karena uang. Seperti kamu. Mau melakukan apa saja demi uang. Gak masalah kan terluka sedikit saja." Arya menunjuk wajah Hanum membuat wajah Hanum merah.
"Emang kenapa? Kami kerja. Jadi sudah sewajarnya dapat uang. Dan kalau kami terluka ya wajib dapat kompensasi."
Arya menyeringai. "Bahkan meski harus menjual diri sendiri?" Hanum mengerutkan keningnya. Apa yang Arya bicarakan?
"Kenapa diam? Bukannya kamu hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk menggodaku dan naik ke ranjangku!"
Plak!
Pipi Arya tertoleh ke samping saat Hanum menamparnya.
"Lo terlalu percaya diri, Tuan muda. Gue bukan orang yang seperti lo pikirin." Hanum bahkan bicara dengan gayanya, melupakan nada formal dan sopan yang harus dia lakukan di depa majikannya. Sejak tadi Hanum sudah kesal dan menahan dirinya.
Arya tertawa dengan mengusap pipinya dengan kasar, lalu melemparkan botol minuman di tangannya tepat di sebelah Hanum membuat Hanum berjengit.
"Lalu seperti apa?" Hanum berjalan mundur saat lagi- lagi Arya berjalan mendekat. "Jelaskan padaku?" Arya terus mendekat hingga punggung Hanum membentur tembok.
Hanum mengernyit saat melihat wajah Arya dari celah gorden yang terbuka. Mata pria itu merah. Ada sedikit air mata disana seolah dia baru saja menangis. Apa setiap tawa yang dia lakukan hanya kamuflase untuk menutupi tangisnya?
Hanum tertegun saat wajah Arya semakin dekat. Tubuh pria itu menekannya hingga dia tak bisa lari. Bau alkohol menyeruak di hidungnya membuat ketegangan semakin nyata. Namun dalam fokus Hanum dia hanya melihat air mata Arya yang menggenang. Hanum seperti melihat adiknya, Reva yang sedang merajuk saat sedih. Dan memerlukan pelukan untuk di tenangkan.
"Ayo katakan?" bisiknya dengan menekan dahinya di tembok tepat di sisi wajah Hanum. Arya benar-benar mabuk.
Sementara Hanum tiba-tiba mengangkat tangannya untuk memeluk punggung Arya. Hanum merasakan tubuh Arya menegang hingga dia bergerak pelan dan menepuk punggung Arya, barulah pria itu melemaskan pundaknya.
Hanum mengangkat pandangannya saat pintu tiba-tiba terbuka menampilkan Ningsih yang tertegun di tempatnya dan melihat ke arahnya.
Doble Up kalau boleh kak