Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Nisa duduk di ujung ranjang, tangannya memegang perutnya yang kian membuncit. Tatapannya kosong menembus jendela. Ya Allah, aku harus pulang. Aku tak ingin dosa ini makin besar. Aku harus berhenti berbohong…
Azhar yang baru selesai menyiapkan koper menghampirinya. Ia meraih tangan Nisa.
“Sayang…” suaranya berat. “Kamu jangan khawatir. Aku akan usahakan pulang secepatnya. Kita akan baik-baik saja.”
Air mata Nisa mengambang. “Aku bukan takut ditinggal, Mas. Aku takut terus hidup dalam kebohongan. Aku ingin kembali ke kampung, bersih dari ini semua.”
Azhar menarik napas panjang, menatap istrinya yang sedang hamil itu. “Aku juga capek bohong, Nisa. Tapi aku cinta kamu. Aku nggak sanggup kehilangan kamu.”
Nisa menunduk, jemarinya mengelus perut. “Ya Allah, berkahilah rumah tangga kami dengan kebahagiaan, kedamaian, dan keharmonisan…” lirihnya.
Azhar menutup doa itu dengan, “Ya Allah, jadikanlah kami berdua penyejuk hati bagi masing-masing…”
Keduanya saling berpelukan erat. Malam itu mereka menenangkan hati satu sama lain, melangitkan doa-doa terbaik.
Azhar mengusap helai rambut Nisa yang tergerai. “Kalau kamu mendengar angin dengan seksama, kamu akan dengar aku membisikkan kata cinta untukmu…”
Nisa menjawab dengan suara bergetar, “Kamu terlalu jauh untuk tanganku memelukmu, tapi terlalu dekat bagi hatiku untuk mencintaimu…”
Azhar memandang wajahnya yang basah air mata. “Jika saatnya tiba, sedih jadi tawa, perih jadi cerita, kenangan jadi guru, rindu jadi temu. Kau dan aku akan jadi kita kembali…”
Nisa menutup matanya, air mata jatuh. “Karena kata hanya perantara, biarkan rasa yang bicara. Detik ini, masih rindu ini, untukmu suamiku seorang…”
Azhar semakin mengeratkan pelukannya. “Cinta tidak kenal jarak, ia tak punya benua. Bersabarlah dan doakan yang terbaik untuk suamimu ini…”
Isak kecil terdengar di antara doa-doa itu. Mereka berdua menangis, menyadari perpisahan sudah di depan mata.
Halaman rumah pagi itu terasa hening. Azhar berdiri dengan koper di samping mobil. Senyum yang ia berikan pada Nisa lebih mirip usaha menenangkan diri sendiri.
Bella menyalami Nisa. “Mbak Nisa jaga diri baik-baik, ya. Kami ke bandara dulu.”
“Insha Allah, Mbak. Makasih banyak…” Nisa berusaha tersenyum meski matanya merah.
Hafsah mengusap perut Nisa. “Alhamdulillah, kehadiran kalian bertiga membawa teman untuk kami. Aku dan Bella juga sedang hamil…”
Nisa tersentak, lalu tersenyum lebar. “Masya Allah… akhirnya setelah lama menunggu. Semoga sehat selalu dan lancar hingga melahirkan, aamiin.”
Akbar merangkul istrinya, “Sejujurnya kami berterima kasih padamu, Mbak. Kehadiran Mbak seperti membawa berkah untuk rumah tangga kami.”
Nisa menunduk. “Aku hanya wanita biasa, Mas. Kalau dianggap pembawa berkah… Alhamdulillah.”
Bella menimpali, “Amin allahumma amin. Doa yang sama juga untuk Mbak dan calon baby boy triplenya…”
Nisa tersenyum. “Allahummaj’al auladana auladan sholihiin haafizhiina lil qurani wa sunnati fuqoha fiddiin mubarokan hayatuhum fiddunya wal akhirah…” doanya panjang, mengalun pelan.
“Amin ya rabbal alamin…” jawab mereka serempak.
Bu Nurul mengamati dari teras, hatinya hangat sekaligus bingung. Kenapa anak-anakku lebih akrab dengan Nisa dibanding Dian? batinnya.
Azhar memandang Nisa terakhir kali. Wajah itu akan ia bawa dalam pikirannya saat jauh nanti. Mobil perlahan meninggalkan halaman, sementara Nisa berdiri di pagar, air mata menetes diam-diam.
“Ya Allah, lindungi suamiku dalam perjalanannya. Berkahilah hatinya, pendengarannya, penglihatannya. Berikanlah taufik dan hidayah agar ia selalu berada di jalan-Mu…” gumamnya.
Aku masih berdiri di depan pagar rumah, tanganku meremas erat ujung gamis. Mobil yang membawa Azhar makin menjauh, hanya titik merah lampu belakangnya yang masih kulihat di sudut jalan.
Perutku yang mulai membuncit terasa sesak, bukan hanya karena kehamilan, tapi karena ruang kosong yang tiba-tiba tercipta di hatiku.
“Ya Allah…” bibirku bergetar tanpa suara. Aku menahan napas agar air mata tidak jatuh, tapi malah semakin deras. Bagaimana aku menghadapi semua ini sendiri? Bagaimana aku menguatkan bayi di dalam kandungan jika aku sendiri lemah?
Azhar sempat menoleh sebelum pintu mobil tertutup. Senyumnya itu adalah senyum yang selalu membuatku merasa aman dan justru semakin menghantam pertahananku.
Aku ingin berlari memeluknya, menyandarkan kepalaku di dadanya, mengatakan kalau aku takut. Tapi adik-adiknya ada di sana. Aku hanya bisa berdiri kaku, berusaha terlihat tegar.
Aku membisikkan doa, suaraku serak.
“Ya Allah, lindungi dia di setiap langkahnya, berkahilah hatinya, pendengarannya, penglihatannya. Kuatkan kami berdua menghadapi jarak ini.”
Tanganku otomatis mengusap perutku. Bayi kecilku bergerak pelan. “Nak, kamu dengar ya… Ayah sedang berjuang jauh dari kita. Kita harus sabar menunggu. Semoga nanti kita bisa bertemu Ayah dalam keadaan sehat dan bahagia,” bisikku.
Aku menghela napas panjang, dadaku bergemuruh. Semua sudut rumah terasa lebih hening dan luas. Bahkan aroma kopi yang biasa kubuatkan untuk Azhar di pagi hari kini seperti menertawakanku.
“Mas, kenapa rasanya cepat sekali waktu kita bersama…” gumamku lirih, “padahal aku masih ingin setiap hari mendengar suara kamu dekat telingaku, bukan lewat telepon.”
Bayangan malam terakhir kami bersama datang lagi. Pelukan Azhar, tangannya yang mengusap rambutku sambil berdoa. Kata-katanya terus terngiang di kepala, ‘Cinta tidak mengenal jarak. Bersabarlah dan doakan yang terbaik untuk suamimu ini.’
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. “Mas… aku akan menunggumu. Meski berat, aku akan menunggumu. Karena bagiku rumah itu bukan dinding dan atap, rumahku adalah kamu.”
Aku berjalan masuk ke rumah dengan langkah gontai. Aroma masakan, gelas-gelas yang baru kubersihkan, semuanya masih terasa hangat bekas kebersamaan tadi. Tapi kehangatan itu berubah menjadi ruang kosong yang memelukku erat.
Aku kembali menatap foto pernikahan kami di meja kecil ruang tengah. Kutelusuri wajahnya dengan ujung jariku.
“Suamiku… aku hanya berjarak darimu, bukan berpisah. Di pelukanmu aku akan pulang.
Beberapa hari kemudian. Malam. Rumah terasa lengang. Nisa baru selesai membersihkan peralatan makan. Ia menatap ponsel yang tak henti ia genggam, menunggu kabar Azhar.
Tiba-tiba terdengar teriakan di balik pintu depan. “Nisa! Buka pintu!”
Suara itu suara Dianti, agak berat dan terseret. Nisa buru-buru menuju pintu. Begitu dibuka, Dianti masuk sambil berpelukan dengan seorang pria asing.
“Nisa, siapkan makan malam untuk kami berdua,” titah Dianti dengan mata setengah terpejam.
“Baik, Nyonya…” jawab Nisa pelan.
Pria itu menatap Nisa lekat-lekat. Bibirnya melengkung nakal. “Dia lebih cantik dari Dian… sayang hamil dan bersuami,” gumamnya lirih.
Tatapan itu membuat Nisa menegang. Ia balas menatap tajam. Astaghfirullah… apa yang terjadi dengan Mbak Dian setelah balik dari luar kota?
Ia melangkah ke dapur menyiapkan makanan, tapi perasaannya gelisah. Selesai memasak, ia membawa nampan ke lantai dua.
Pintu kamar Dianti sedikit terbuka. Ia mengangkat tangannya hendak mengetuk, tapi langkahnya terhenti.
Suara percakapan dari dalam terdengar jelas. Kata-kata yang membuat darahnya berdesir dingin. Nisa sampai menutup mulutnya sendiri menahan seruan.
Tangannya yang tadi terangkat hendak mengetuk kini membeku di udara. Jemarinya gemetar halus, lalu perlahan turun, menggantung di samping tubuhnya. Dadanya naik turun cepat, seperti habis berlari.
Napasnya terhenti sesaat; ia menahan udara di paru-paru agar tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Lehernya menegang, rahangnya mengatup rapat, membuat wajahnya pucat.
Matanya membesar, kelopak atasnya tertarik ke atas seperti sedang melihat sesuatu yang tak percaya. Air bening segera berkumpul di sudut matanya, bergetar siap jatuh, namun ia paksa tetap bertahan.
Kedua bibirnya yang semula terkatup kini bergetar, membuka sedikit, lalu ia refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tidak keluar suara. Bahunya turun naik, menahan isak yang hampir pecah.
Kakinya lemas, satu langkah kecil mundur, punggungnya merapat ke dinding seolah butuh sandaran agar tidak jatuh. Ujung jarinya menggenggam erat kain gamis di pinggangnya sendiri, sekuat tenaga mencari pegangan.
Keringat dingin muncul di pelipisnya. Kepala Nisa sedikit tertunduk, rambutnya yang tergerai jatuh menutupi sebagian wajahnya, membuat air mata yang lolos jadi tersamarkan.
Hidungnya memerah, bibirnya kian bergetar, dan bola matanya basah sepenuhnya yaitu ekspresi yang jelas antara terkejut, sedih, dan takut bercampur jadi satu.
“Ya Allah ya Rabb… ini tidak mungkin…” bisiknya gemetar.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor