NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:443
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 16

Sudah seminggu sejak Bastian memutuskan hubungannya dengan Vita. Hari-harinya di kantor berjalan normal dari luar, tapi batinnya penuh gejolak. Ia menatap ruang kerjanya yang terasa semakin sepi.

"Selama ini aku terlalu buta… Bagaimana mungkin aku menganggapnya tak selevel? Padahal dialah yang paling tulus, paling murni…" batin Bastian.

Setiap kali melihat Jenia, dadanya terasa sesak. Ada penyesalan mendalam yang menekan. Ia mengingat kata-katanya dulu, saat di depan Vita ia sengaja merendahkan Jenia.

"Bodoh… aku benar-benar bodoh. Dia bertahan dengan lukanya sendirian, sementara aku sibuk menjaga gengsi."

Suatu sore, ketika sebagian besar karyawan sudah pulang, Bastian sengaja melewati kantor Raka dan tetap di dalam mobilnya. Dari balik kaca transparan, ia melihat Jenia keluar belakangan sambil membawa beberapa berkas.

Bastian keluar dari mobil ingin menyapa. Namun langkahnya terhenti di pintu. Lidahnya kelu. Rasa takut, takut ditolak, takut dianggap hanya mencari perhatian membuatnya ragu.

Jenia berjalan melewatinya tanpa menyadari tatapannya. Rambutnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap indah.

Bastian hanya mampu berbisik lirih, nyaris tak terdengar: “Maafkan aku… Jenia.”

Malam itu di rumah, Bastian duduk sendiri di ruang kerjanya. Foto-foto perjalanan kantor, catatan agenda, hingga secarik memo dari Jenia yang pernah ia temukan tanpa sengaja semuanya terasa begitu berarti.

Perasaan itu kian jelas: bukan lagi sekadar ketertarikan sesaat. Ia menyadari dirinya… jatuh cinta.

Bastian menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri.

“Dan aku sudah terlambat.”

Pagi itu suasana kantor sedikit lebih sibuk dari biasanya. Jenia baru saja menaruh map tebal di mejanya ketika sebuah suara berat namun tenang terdengar dari belakang. “Jenia.”

Jantungnya refleks berdebar. Ia menoleh, mendapati Bastian berdiri tak jauh darinya. Pria itu mengenakan jas hitam, dasi sederhana, namun auranya tetap memancarkan wibawa.

“I-ya, Pak?” Jenia berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional.

“Aku ingin… eh, saya ingin kamu membantu saya mempersiapkan presentasi untuk klien saya besok,” ucap Bastian sedikit canggung sesuatu yang jarang terlihat darinya.

Jenia mengangguk singkat. “Baik, Pak. Nanti setelah jam makan siang saya ke kantor Bapak.”

Bastian tersenyum samar, lalu pergi. Namun senyum itu sempat membuat Jenia bingung. Kenapa rasanya beda?

Siang harinya, Jenia meminta ijin ke kantornya Bastian. ia memasuki ruang kerja Bastian. memaparkan konsep presentasi dengan tenang, sesekali menuliskan poin penting di papan. Bastian duduk, memperhatikan bukan hanya isi presentasinya, tapi juga ekspresi dan semangat Jenia.

Tanpa sadar, pandangan Bastian melunak. Ada rasa kagum yang begitu nyata.

“Presentasimu bagus sekali,” ucapnya tulus.

“Terima kasih, Pak.” Jenia tersenyum sopan, lalu buru-buru mengalihkan pandangan agar tak terlihat salah tingkah.

Namun saat ia hendak merapikan berkas, Bastian tiba-tiba berkata:

“Jenia… kamu boleh nggak… panggil aku Bastian saja?”

Jenia terdiam. Matanya melebar.

“Kenapa… eh, maksudnya, kenapa begitu, Pak?”

“Karena aku ingin kita lebih dekat. Tidak hanya sebagai atasan dan bawahan.”

Kata-kata itu membuat Jenia tercekat. Ia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan map di tangannya.

“Baiklah, saya permisi dulu, Pak.”

Bastian hanya menghela napas saat Jenia melangkah keluar dengan cepat. Namun di sudut bibirnya, ada senyum kecil langkah awalnya sudah dimulai.

Beberapa hari setelah pertemuan canggung antara Jenia dan Bastian, suasana kantor tiba-tiba riuh. Dari pintu masuk, sosok pria dengan jas abu-abu elegan melangkah percaya diri. Senyumnya ramah, auranya hangat, dan matanya langsung tertuju pada satu orang.

“Jenia…” panggilnya lirih.

Jenia yang sedang berdiskusi dengan rekan kerjanya sontak menoleh. Matanya melebar tak percaya. “Rehan?”

Pria itu tersenyum lebih lebar, lalu berjalan mendekat. Tanpa ragu ia meraih tangan Jenia, menggenggamnya hangat di depan semua orang.

“Aku balik. Dan kali ini aku nggak akan biarkan kesempatan kedua ini hilang.”

Ruangan seketika hening. Beberapa karyawan berbisik penasaran, sementara Jenia terpaku, wajahnya memerah menahan malu. Ia buru-buru menarik tangannya.

“Rehan… kita bicara di luar.”

Di taman belakang gedung, Jenia menatap Rehan dengan campuran bahagia sekaligus bingung.

“Kamu… pulang dari luar negeri?”

Rehan mengangguk. “Ya. Semua urusan selesai lebih cepat. Dan selama di sana, aku sadar satu hal aku nggak pernah benar-benar bisa melupakanmu, Jen.”

Kata-kata itu membuat hati Jenia bergetar. Rehan, sahabat dekat Bastian sekaligus pria yang selalu tulus padanya.

“Aku tahu mungkin hatimu masih penuh luka. Tapi izinkan aku ada di sisimu, menghapus semua itu,” lanjut Rehan, matanya dalam penuh kesungguhan.

Dari lantai atas, di balik jendela kaca besar, Bastian berdiri terpaku melihat pemandangan itu. Pandangan matanya menajam ketika melihat Rehan menggenggam tangan Jenia lagi, kali ini tanpa penolakan.

Tangan Bastian mengepal. Di dadanya muncul rasa asing campuran marah, takut, dan… cemburu.

"Rehan… jangan coba-coba merebutnya dariku."

Sore itu, Rehan mengantar Jenia pulang setelah mereka menghabiskan waktu makan siang bersama. Di sepanjang perjalanan, Rehan terus berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi Jenia hanya merespons seadanya.

Saat mobil berhenti di depan rumah kontrakan sederhana Jenia, Rehan menoleh dengan ekspresi serius.

“Jen… aku sungguh-sungguh sama kamu. Aku ingin kita nggak cuma sebatas teman. Aku ingin kamu tahu, aku siap jadi orang yang menjaga kamu.”

Jenia menunduk. Ada rasa hangat di dadanya mendengar ketulusan itu, tapi sekaligus ada benteng tebal yang ia bangun. Luka lama, rasa kecewa, dan keraguannya masih terlalu besar.

“Rehan…” suaranya bergetar pelan, “kamu orang baik. Aku berterima kasih karena kamu selalu ada buat aku. Tapi hatiku… belum bisa. Aku belum siap membuka pintu itu lagi.”

Rehan terdiam. Senyumnya memudar, tapi ia tetap menatap Jenia lembut.

“Aku ngerti. Aku nggak akan maksa. Aku akan tunggu, berapa lama pun itu.”

Jenia menahan napas, lalu buru-buru turun dari mobil. Begitu pintu tertutup, ia bersandar pada dinding rumah, menutup wajah dengan kedua tangan. Air matanya menetes tanpa ia sadari.

Di sisi lain kota, Bastian duduk di ruang kerjanya yang gelap. Ia memandangi layar ponsel, menatap foto Jenia yang secara diam-diam ia simpan dari acara pernikahan teman mereka.

"Dia bahkan menolak Rehan… berarti hatinya masih tertutup. Tapi sampai kapan aku harus terus menunggu? Sampai dia benar-benar menjauh dariku?"

Tangannya mengepal kuat. Untuk pertama kalinya, Bastian merasa kalah bukan oleh pesaing bisnis, melainkan oleh hatinya sendiri yang tak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahan.

Hari Minggu sore, Jenia memutuskan pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota. Ia ingin menenangkan pikiran dengan membaca buku. Saat ia baru saja duduk, suara riang seorang wanita memanggil namanya.

“Jenia? Astaga, ini beneran kamu?”

Jenia menoleh, matanya melebar.

“Rani?!”

Rani adalah teman kuliah Jenia dulu, jurusan desain fashion. Mereka sempat dekat, tapi sejak lulus, Rani langsung merintis usaha butik kecil dan perlahan menghilang dari lingkaran pertemanan. Kini, Rani tampak lebih dewasa, percaya diri, dan stylish dengan blazer krem serta high heels yang menawan.

Mereka pun memutuskan duduk bersama. Obrolan cepat meriah, membahas kenangan lama hingga akhirnya Rani bercerita.

“Bisnis butikku sekarang lumayan berkembang, Jen. Aku lagi cari partner buat buka cabang baru. Terus, aku ingat kamu punya taste fashion yang bagus banget waktu kuliah. Jadi aku kepikiran… mau nggak kamu join sama aku?”

Jenia terdiam. Hatinya berdebar, bukan karena cinta, melainkan semangat baru. Dunia fashion adalah impiannya yang dulu sempat ia kubur karena sibuk mencari pekerjaan tetap.

“Tapi Ran… aku masih kerja di perusahaan sekarang,” ucap Jenia ragu.

“Justru bagus. Kamu bisa mulai pelan-pelan, sambil belajar ngatur bisnis. Aku yakin kamu bisa. Lagipula, aku butuh orang yang aku percaya,” balas Rani penuh keyakinan.

Mata Jenia berkilat, seakan ada pintu baru yang terbuka di hadapannya.

Ini… mungkin jalan untuk benar-benar berdiri di atas kakiku sendiri.

Malamnya, Jenia merenung di kamarnya. Ia menatap catatan kecil yang berisi sketsa baju-baju yang dulu sering ia gambar saat kuliah. Senyum tipis terlukis di wajahnya. “Fashion… mimpi lamaku.”

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya dipenuhi rasa antusias, bukan luka.

Di kantor keesokan harinya, perubahan itu terlihat jelas. Jenia tampak lebih cerah, lebih hidup. Rehan yang kebetulan datang langsung menyadarinya. merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia bertanya-tanya, apa yang membuat Jenia terlihat begitu bahagia hari ini?

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!