NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:344
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa yang Mati

“Tokcer juga laki lo, Nir.”

“Emang lo gak pasang KB apa?”

Nira menoleh, menatap kedua temannya.

“Anak lo bahkan belum ada satu tahun. Tapi, dia bakal punya adik. Eh, tapi, kenapa muka lo kayak nggak seneng gitu sih?” Fiza bertanya, melihat wajah Nira yang muram.

Nira menghela napas pendek. “Gue cuma nggak nyangka aja kalau gue bakal hamil lagi.”

“Ah elah. Lo udah nikah. Punya laki. Ya kali kalian kalau di rumah cuma pegangan tangan doang. Wajarlah kalau lo hamil lagi,” ucap Rini.

“Ya tapi nggak secepat ini juga. Gue jadi bingung mesti gimana.” Nira menatap layar komputer di depannya. “Mana anak gue masih kecil banget. Gue takut nggak bisa ngasih perhatian penuh ke dia kalau adiknya lahir. Gue takut nggak bisa adil.”

Fiza dan Rini saling pandang. Fiza menepuk pelan bahu Nira. “Lo pasti bisa. Anak itu anugerah, Nir. Kalau lo dikasih rezeki secepat ini, itu berarti Tuhan tahu lo bisa adil sama mereka nantinya.”

“Iya. Gue yakin lo sama laki lo mampu,” angguk Rini.

Nira terdiam. Bukan itu yang ia pikirkan. Tapi, anak keduanya ini hadir tanpa keinginannya. Tanpa kesiapannya. Dan bukan dari hubungan penuh cinta saat membuatnya.

Ditambah Riki belum bekerja sampai saat ini. Bagaimana ia bisa menghidupi anak keduanya saat ia harus menghidupi Riki dan putra sulungnya.

Saat istirahat, Nira pergi ke kantin. Disana ia menelepon kedua orang tuanya, memberitahukan kabar yang menurutnya tidak membahagiakan tapi juga bukan kabar buruk.

“Apa aku salah, Pak, Bu, kalau aku nggak seneng dengan kabar kehamilan ini?” Nira bertanya pelan. Ia menatap kosong piring nasi ramesnya yang belum tersentuh.

“Nggak, Nak. Kamu cuma lagi kaget aja. Makanya kesannya kayak nggak senang. Tapi, di dalam hati kamu, pasti kamu senang dengan kehadirannya. Perlahan, kamu pasti akan menerimanya.” Suara Sinta terdengar.

“Kamu sama Riki baik-baik aja ‘kan, Nira?” Tanya Mardi dari ujung sambungan.

“Ba-baik kok Pak,” Nira menjawab dengan nada lirih, nyaris tak terdengar.

“Kalau kamu takut nggak bisa ngasuh dua anak sekaligus, Arsa kami bawa saja ya ke sini. Jangan apa-apa kamu lakuin sendiri, Nak. Ibu sama Bapak nggak mau kamu kepikiran terus jadi sakit di kota sana.”

Nira tersenyum getir. “Aku nggak mau ngrepotin Ibu sama Bapak.”

“Kata siapa kamu ngrepotin. Arsa juga cucu kami. Disini juga ada Dela. Arsa punya teman bermain.”

“Sudah. Itu dipikirkan nanti saja. Yang penting sekarang, kamu jaga kesehatan ya. Jangan malas makan. Ingat, ada anak di dalam perutmu.” Mardi menengahi, agar Nira tak kebingungan di sana atas permintaan Sinta.

“Ya udah kalau gitu, aku makan dulu ya, Pak, Bu. Teleponnya aku matiin.”

“Iya, Sayang. Jaga kesehatan selalu dan sering menelepon kami ya.”

“Iya, Bu.”

Nira meletakkan ponselnya dan mulai meraih sendok, menyuap makanan di depannya.

***

Nira mengepalkan tangannya. Mata menatap tajam pada Riki yang duduk bersantai di sofa sambil bermain game. Ia yang seharian lelah bekerja, pulang bekerja disuguhi pemandangan yang membuatnya kesal setengah mati. Suaminya enak-enak main game seharian.

Nira melewati Riki begitu saja. Tak ada sapaan. Tak ada cium tangan. Nira tak mau berpura-pura memaklumi suami yang tak punya pekerjaan itu.

Bahkan sampai Nira sudah mandi, berganti pakaian pun, Riki masih di tempatnya. Nira sempat menemui Arsa di halaman belakang bersama pengasuhnya.

Nira sengaja membuat suara di dapur agar Riki berhenti melihat ponsel.

“Berisik amat sih.” Riki masuk ke dalam dapur. Dan saat melihat Nira di sana, Riki tersenyum. “Eh, kamu udah pulang?”

“Udah,” jawab Nira acuh.

Riki memeluk Nira dari belakang dan mengecup sisi lehernya. “Kenapa sih? Kok jutek amat, hm?”

Nira mencoba melepaskan pelukan Riki, tapi Riki malah makin memeluknya. “Lepasin. Nanti Mbak Dewi lihat.”

“Biarin aja. Kita ‘kan suami istri. Mau melakukan di sini juga, nggak masalah.” Riki mengecup pipi Nira.

Nira menghela napas panjang. Membiarkan Riki memeluknya.

“Aku hamil lagi.” Nira berkata pelan.

Riki melebarkan matanya. Ia melepas pelukan dan membalikkan tubuh Nira. “Serius?”

Nira mengangguk lemah.

Riki lantas tersenyum lebar dan mencium bibir Nira sekilas. “Mantap juga benihku.”

Riki mengernyitkan dahi melihat Nira melewatinya dan duduk di kursi meja makan.

“Sebaiknya kamu cari kerjaan lebih giat lagi, Rik. Anak kita udah mau dua. Nggak mungkin kamu nganggur terus kayak gini.”

Riki melunturkan senyumnya. Rahangnya mengeras. “Kamu pikir aku kurang usaha gitu?!”

Nira menatap Riki. “Ya buktinya kamu masih nganggur berbulan-bulan.”

“Cari kerja itu susah, Nira! Ngerti nggak sih kamu tuh?”

“Ya kalau kamu pilih-pilih kerjaan jelas susah. Dan kamu nggak bakal nemu kerjaan yang bisa bikin kamu nyaman kalau pilih-pilih.”

Riki mencodongkan tubuhnya, mendekati Nira dan berbisik pelan tapi sinis,” Kamu mau cari ribut lagi, hm?”

Nira menegakkan tubuhnya, berusaha untuk tak terpengaruh ucapan Riki yang mana …

Belum sempat Nira menjawab, Riki langsung menarik Nira kasar menuju kamar tamu. Nira terseok mengikuti jalan Riki. Ia tak berteriak. Menurut. Ia tahu apa yang akan dilakukan Riki di kamar tamu itu.

Riki bahkan tak peduli jika pengasuh Arsa masih di rumah mereka. Saat ia marah atau Nira melawannya, maka Nira akan mendapat hukuman dari Riki. Hukuman yang membuat Riki merasakan kepuasan tersendiri karena berhasil menaklukkan Nira di bawahnya.

“Jangan kayak patung, Nira! Ayo lawan! Kamu suka ‘kan nglawan aku?! Sekarang lawan!” Riki terus berusaha membuat Nira liar di atas ranjang.

Tapi Nira tak menurutinya. Ia hanya menatap wajah Riki yang mencari kepuasannya sendiri. Tubuhnya bergerak mengikuti ritme Riki, tapi Nira tak melawan ataupun menikmati.

Jika ia mendesah, itu hanya refleks tubuhnya saat mendapat serangan dari Riki. Hanya sebatas itu.

Rasanya sudah mati. Entah sejak kapan.

Riki menggeram. Ia lantas memundurkan tubuhnya setelah kepuasannya tercapai. “Walau nggak seperti yang aku harapkan, tapi wajahmu cantik, Nira. Cukup melihat wajahmu, maka aku bisa memuaskan diriku tanpa perlawanan darimu.”

Riki berdiri, memakai kembali celananya. “Memang hambar. Tapi, setidaknya kamu masih punya nilai tambah di mataku. Cantik dan seksi. Ah, aku nggak sabar melihat perutmu yang semakin membesar nanti. Pasti akan lebih menggairahkan.”

Nira terdiam. Ia tak bergerak. Hanya terus memperhatikan Riki yang memakai pakaiannya lalu keluar dari kamar.

Barulah Nira duduk perlahan. Meringis saat bawah tubuhnya terasa ngilu. Bibirnya bergetar, bahunya merosot.

‘Aku nggak tahan lagi, Tuhan. Rasanya sangat menyakitkan.’

Dan loloslah air mata Nira. Ia tersedu pelan. Memeluk tubuhnya sendiri, menggigit tangannya sekeras mungkin agar tangisannya tak terdengar siapapun di luar sana. Sakit di tangan tak seberapa dibanding sakit di hatinya.

Puas menangis, Nira bangkit. Ia pandangi wajah cantiknya di cermin meja rias.

‘Apa ini hukumanku, Tuhan ? Disaat aku ingin bercerai, Kau malah memberiku anak lagi. Apa ini hukumanku karena sudah berzina jauh sebelum kami menikah? Apa ini hukumanku agar aku terus terjebak dengannya seumur hidup?’

Nira tertawa sinis, masih menatap pantulan wajahnya. ‘Aku akan bertahan sampai anak ini lahir. Setelah itu, aku akan langsung mengurus perceraian sebelum dia kembali menyentuhku setelah melahirkan.’

‘Biarlah pernikahan ini berakhir. Biarlah aku diomong orang di luar sana. Aku nggak mau lagi hidup bersama pria sepertinya. Biarlah aku jadi janda. Aku bisa menghidupi diriku sendiri juga kedua anakku.’

Nira tersenyum rapuh. Serapuh jiwanya yang terkikis oleh kebencian atas sikap Riki yang sudah sangat keterlaluan.

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!