Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minggu Pagi
Bibi Liney datang kembali ke kamar Merzi dengan segelas susu stroberi. Wanita tua itu menunggu si nona muda menghabiskan minumannya.
"Ini, Bibi." Gelas Merzi kembalikan pada bibi Liney.
Bodyguard Merzi masih disana, setelah melihat Merzi menghabiskan susunya lelaki itu pamit. "Kalau begitu saya akan keluar, Nona. Selamat beristirahat." Ucap Ebha diakhiri membungkuk.
Saat kaki Ebha sudah didekat pintu, dia mendengar bibi Liney berkata,
"Eh, kenapa bibir nona bengkak? Apakah jahe atau susu yang bibi bawa terlalu panas sehingga membuat bibir nona sedikit lebih merah dan tebal?"
Ebha terdiam ditempat. Tangan yang akan menggapai gagang pintu mengudara. Dia tak berbalik, tapi merasakan Merzi menatap punggungnya dari tempat gadis itu.
"Tidak, Bibi. Ini karena Merzi baru saja minum susu dan Ebha habis—"
"—bibi Liney, nona Merzi harus segera istirahat. Sebaiknya langsung bantu nona mengganti pakaiannya tanpa banyak bercerita." Potong Ebha segera dan berbalik. Menatap Merzi dan bibi Liney bergantian dengan sorot datar.
Sedangkan Merzi mengulum bibir. Dia menahan senyum.
Lalu bibi Liney pun mengangguk dan setelahnya Ebha keluar dengan napas lega. Hari ini begitu berat dan panjang. Langkahnya semakin jauh bersama si majikan muda.
Ciuman pertama?
Huh, yang benar saja?!
Bersama Merzi adalah ciuman kesekian kalinya.
...****************...
Minggu pagi disambut dengan cerah dan bahagia. Apalagi ketika para pekerja melihat senyum manis dari nona muda kediaman tempat mereka bekerja. Senyum Merzi memang mampu menjadi candu biarpun terkadang gadis itu bertingkah usil.
Apalagi pagi itu Merzi terlihat berbeda dengan setelan baju dan celana ketat berbahan lembut yang membalut tubuh kecilnya. Sesuai perkataannya beberapa hari lalu pada Ebha, bahwa akhir pekan mereka akan berkuda.
Sekarang Merzi berdiri dihadapan Ebha sambil berputar. Dibelakangnya menyusul Nana dan Nella yang membantunya memakaikan setelan berkuda hari ini.
"Selamat—"
"—bagaimana penampilan Merzi, Ebha?"
Punggung Ebha yang membungkuk tegap kembali. Sapaan paginya dipotong si nona muda dengan pertanyaan meminta penilaiannya.
Dari bawah Ebha memperhatikan penampilan Merzi. Sepasang sepatu bot berkuda kemudian blazer hitam dan sarung tangan yang terpasang sebelah. Terakhir rambut putih Merzi diikat juga seperti ekor kuda.
Pagi ini Merzi terlihat, "bagus. Anda terlihat lebih dewasa, Nona."
Merzi kemudian berkacak pinggang dan melirik dua dayang dibelakangnya, "semua ini berkat kak Nana dan kak Nella. Terima kasih, Kakak." Puji Merzi.
"Sama-sama, Nona Merzi." Balas Nana dan Nella serentak.
"Sarapan sudah disajikan, Nona. Mari turun ke bawah." Kata Ebha kemudian.
Mendengar itu Merzi antara senang dan murung. Senang karena akan segera pergi dengan Ebha dan murung karena akan makan sendirian di meja panjang keluarga. Ibunya menelpon ketika dia bersiap tadi. Mengatakan bahwa ayah dan ibunya sedang berada diluar kota.
Melihat senyum Merzi yang berkurang sedikit ditambah wajahnya yang cemberut Ebha berkata lagi, "saya akan menemani nona sarapan. Mari."
Tapi Merzi belum bergerak setelah Ebha memiringkan badan mempersilahkan berjalan. Gadis itu menatap Ebha manyun.
"Temani dengan duduk disamping Merzi, tidak?"
Pertanyaan ringan tapi tidak dengan jawabannya.
"Saya akan disamping, Nona." Jawab Ebha, lalu dia melirik Nana dan Nella yang masih berdiri dibelakang Merzi. "Nana dan Nella juga akan menemani, Nona." Sambungnya.
Merzi menghela napas. Tak ada juga gunanya bersedih. Dia kembali tersenyum. "Baiklah. Ayo."
Setelah melihat sang nona melangkah dengan melenggak-lenggok, tiga manusia pekerja itu bernapas lega. Berhasil membujuk Merzi adalah sebuah keberhasilan besar bagi semua orang.
Sebelum melangkah Ebha menegur Nana dan Nella, "jangan jalan terlalu lamban. Hentikan dulu gosipan kalian."
Nana mencebik bibir mendengar Ebha. "Dia bagai tuan keduaku."
Sedangkan Nella lebih patuh tanpa banyak protes. "Sudahlah. Ayo!"
Hentakan sepatu keempat manusia itu terdengar serempak. Merzi bagai induk itik yang diikuti anak-anaknya. Gadis itu membalas sapaan setiap pekerja yang berpapasan dengannya. Hingga kepala pelayan pun menghampirinya.
"Selamat pagi, Nona Merzi." Sapa pak Barid menunduk sekilas.
"Pagi, Paman Barid." Balas Merzi.
Senyum pak Barid lebar. Dia mengintip Ebha, Nana dan Nella dibelakang sang nona lalu kembali menatap Merzi. "Anda kelihatan berbeda dengan baju ini, Nona."
"Cantik, tidak, Paman?" Merzi kembali berputar dihadapan pak Barid.
Sambil tertawa pak Barid membalas. "Iya. Nona selalu cantik. Benar kan, Ebha?"
"Benar, Paman." Meski tak menyangka namanya disebut, Ebha mampu menguasai diri.
"Terima kasih, Pak. Oiya, paman sudah sarapan?"
"Sudah, Nona. Sarapan untuk nona juga sudah selesai. Mari."
Gadis cantik itu kini diiringi empat pekerja rumahnya sekaligus.
Tiba diruang makan, pak Barid undur diri. Dia harus mengawasi pekerja lainnya. Dan Merzi mengiyakan.
Ebha membantu Merzi menarik kursi. Nana dan Nella masih berdiri tak jauh dari gadis itu. Dan Ebha lah yang paling dekat dengan Merzi.
Menu sarapan akhir pekan pagi itu bubur oatmeal dan segelas susu stroberi tentunya. Ada buah juga diatas meja itu, jika ingin Merzi tinggal memakannya saja.
"Kak Nana, Kak Nella, kalian sudah makan, belum?"
"Sudah. Tapi—"
"—sudah, Nona. Kami sudah sarapan." Suara Nana menyela suara Nella lebih keras. Perempuan itu menginjak sedikit ujung sepatu Nella agar tak berkata ceplos.
Biar Nana lebih banyak omong, tapi Nella adalah perempuan yang terlalu jujur. Bahkan melebihi kata jujur menurut Nana.
Merzi memicing menatap bergantian Nana dan Nella. "Benar, kan?"
"Benar, Nona. Nona Merzi lanjut sarapan saja." Itu masih suara Nana yang membalas.
Lalu Merzi fokus menatap Nella. "Kalau kak Nella? Apakah sudah sarapan dengan cukup?"
Ditanya seperti itu Nella melirik sedikit pada Nana. Tangannya akan berputar gelisah dibawah tubuhnya jika dia berniat menutupi sesuatu.
"Se—sebenarnya sudah, Nona, tapi belum cukup. Hehe." Jawabnya gugup lalu menyampirkan rambut ke belakang telinga.
Nana hanya mampu menggerutu dalam hati.
Dalam dunia melayani majikan, kebutuhan tuan mereka lebih penting dari pada diri mereka sendiri. Mereka ibarat pasukan perang yang tak akan membiarkan rajanya terluka. Rela mengorbankan diri.
Tapi untunglah Nana dan Nella mempunyai majikan baik dan penuh perhatian seperti keluarga Oldrich ini. Biarpun mereka tidak pernah makan satu meja, tapi tetap bertanya pada para pelayan.
Merzi tetap tersenyum dan ikut tertawa kecil mendengar cengiran Nella. "Tidak apa-apa jika kak Nana dan kak Nella ingin sarapan lagi. Merzi ditemani Ebha saja tak masalah. Lagipula kak Nana dan kak Nella juga butuh banyak energi karena akan ikut menemani Merzi juga seharian."
Tapi Nana tetap bersikukuh menggeleng. "Tidak, Nona. Kami akan tetap disini."
Merzi anti ditolak. Dia mendongak menatap pawangnya. Ebha.
Mendapat tatapan seperti itu, Ebha segera ambil alih. "Pergilah. Saya akan menemani nona. Kembali sebelum nona Merzi menyelesaikan sarapannya."
Dua perempuan itu akhirnya patuh. Berlalu meninggalkan Merzi dan Ebha dari ruang makan.
Tapi masalah— tidak bukan masalah tapi cobaan lain muncul. Pelakunya dari Merzi.
"Nah, karena kak Nana dan kak Nella sudah pergi, sekarang Merzi ingin disuapi Ebha. Boleh?" Ungkap si nona muda dengan mata yang berkedip-kedip lucu.
Jika sudah seperti itu, siapa yang mampu menolak?