"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I love you
Setelah makan malam di restoran hotel, kali ini mereka bertujuh sudah berada di sebuah ruangan tertutup. Ruangan tersebut dilengkapi sofa empuk yang mengelilingi meja panjang.
Ini sudah seperti mereka akan mengadakan rapat kenegaraan saja.
Okey, back to the topic. Setelah mendudukkan diri. Louis pun memberikan sebuah kertas ke mereka satu persatu. Isi kertas itu tentang syarat dan benefit yang mereka dapatkan setelah study tour ke kantor pusat Beck Cooperation. Serta informasi lainnya.
"Okey, setelah kalian membaca kertas tersebut mungkin kalian ada pertanyaan?" tanya Louis membuka sesi tanya.
Endria mengangkat tangan. "Kapan study tour-nya dilaksanakan?" tanyanya seolah-olah mewakili.
Karena hari ini pembawaan Geswa yang tak seramah di kampus waktu itu, membuat mereka hanya bisa diam saja.
"Nice question," balas Geswa atas pertanyaan dari Endria.
"Kalau menurut kamu, kapan baiknya jadwal keberangkatan kita?" Eh, Geswa berdeham. "Maksudnya, kalian bebas berdiskusi untuk menentukan jadwalnya, asal bukan waktu dekat ini," jelas Geswa.
Endria mengangguk-angguk. Ini kesempatan bagus baginya, kesempatan ini bisa ia ambil untuk kelengkapan skripsinya. Dan kesempatan ini ia bisa jadikan study tour sekaligus penelitian.
Spil sedikit, judul skripsi Endria adalah. Menganalisa pengaruh ekonomi global dari perusahaan-perusahaan besar yang ada di dunia.
Sebagai perusahaan multinasional, Beck Cooperation termasuk perusahaan besar yang beredar di beberapa negara maju di dunia. Dan waktu itu judulnya langsung diacc oleh Pak Setya tanpa protesan.
Tampak Endria, Dania, Dim, Anindya, dan Adrian duduk berdekatan. Saling berdiskusi sambil berbisik.
Oiya, Endria, Dania, Dim, dan Adrian, mereka seangkatan. Sedangkan Anindya sendiri baru semester tiga.
Mereka menyelesaikan diskusi dengan hasil akhir yang memuaskan.
"Kami sudah putusin, dan membandingkan jadwal masing-masing, bagaimana kalau bulan depan?" tanya Endria meminta persetujuan pada Geswa. "Oiya, kita di Australia berapa hari?" lanjut Endria karena tidak ada yang mau membuka suara.
Geswa menaikkan satu alisnya, lalu menoleh ke arah Louis untuk meminta jawaban.
"Itu semua sudah dijelaskan di kertas yang sudah saya berikan tadi," kata Louis memberitahu yang membuat Endria menepuk dahi karena ia memang tak membaca kertas tersebut secara menyeluruh.
Gadis itu menunduk dengan pipi semerah tomat.
Malu banget!
Senyum tipis Geswa terbit, menatap Endria selama ini adalah salah satu hal yang menyenangkan untuknya.
"Masih ada yang ingin ditanyakan?" tanya Geswa membuka suara, sesaat setelah ia menyadari bahwa suasana di ruangan ini begitu canggung.
Pertanyaan Geswa dijawab oleh gelengan mereka.
"Kalau begitu, terima kasih karena kalian sudah meluangkan waktunya malam ini," ucap Louis begitu sopan.
Semuanya pun mulai berdiri. Rencana mereka setelah ini sebelum pulang ialah akan berkeliling hotel, untuk mencari spot yang bagus untuk berfoto mumpung bisa ada di sini, sekalian untuk pamer karena terpilih tempo lalu.
"Biar aku saja yang mengantarmu pulang, Endria." Geswa menyeletuk saat pria itu melihat Endria yang mulai beranjak dari kursinya.
Akibat dari ajakan Geswa, empat orang yang tak tahu apa-apa di depan sana pun mulai menoleh dengan rasa penasaran ke arah Geswa dan Endria. Ingin tahu ada hubungan apa antara mereka berdua.
Endria melambai-lambaikan kedua tangannya ke depan, bersikap menolak. "Nggak usah, Kak, makasih. Aku pulang bareng Dania."
"Tidak apa, biar Dania Louis yang antar," kata Geswa tegas yang membuat Dania melotot mendengarnya, tetapi tak ingin membantah.
"Tapi-" Ucapan Endria terpotong.
"Eh iya-iya, gue nggak papa. Biar gue diantar pak Louis aja Dria," sambar Dania setelah gadis itu melihat Geswa menatapnya mengintimidasi.
"Silakan keluar." Tanpa basa-basi lagi Geswa menyuruh mereka semua kecuali Endria untuk keluar dari ruangan.
Beberapa detik berlalu, tanpa berbicara, bahkan Geswa masih saja belum beranjak dari duduknya dengan tatapan yang terus tertuju ke arahnya.
Endria entah kenapa merasa deg-degan karena mereka hanya berdua di ruangan ini.
"Kak?" panggil Endria. Gadis itu berusaha mengeluarkan suara.
"Hmm?" gumam Geswa.
"Ayo!" ajak Endria berteriak. Maksudnya Endria mengajak Geswa pulang.
"Ayo!" Pikiran Geswa seketika kacau, pria itu menarik tangan Endria yang ada di depannya sampai gadis itu terduduk menyamping di pangkuannya.
Lalu Geswa dengan enteng merubah posisi duduk Endria untuk berhadapan dengannya.
Geswa menggeram, mata abunya yang seperti dipenuhi kabut menatap tajam ke arah Endria.
Sedangkan Endria terdiam, pikirannya tiba-tiba ngeblank. Jantungnya berdegup kencang, mata bulatnya balas menatap ke arah mata Geswa, bukannya berontak, gadis itu malah menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.
Gadis itu penasaran pada rasa panas yang menjalari tubuhnya padahal AC sedari tadi menyala.
Endria tak memberontak, maka Geswa pun dengan berani lebih mendekatkan gadisnya ke arahnya. Dia arahkan tangan kirinya untuk merangkul pinggang ramping dan tangan kanan memegangi leher jenjang Endria.
Tanpa basa-basi lagi, Geswa mendorong Endria lebih dekat. Pria itu terlebih dahulu mengecup bibir Endria yang selalu merekah lalu melumat bibir gadisnya dengan lembut, ciuman ini bukan ciuman penuh gairah, ciuman ini adalah ciuman rindu dan ciuman yang selalu Geswa nantikan untuk sekian lama.
As you know, ini first kiss Geswa. Walaupun pria itu lama tinggal di negara bebas, tetapi Geswa benar-benar menjaga dirinya hanya untuk Endria.
Geswa menghentikan ciumannya saat tahu gadisnya kehabisan napas. Benang saliva terlihat membentang di antara bibir mereka.
Geswa menerbitkan senyum lembutnya, dan tidak ada aura intimidasi yang pria itu keluarkan. Kedua tangannya beralih memeluk erat pinggang Endria.
"I love you," ucapnya dengan nada serius tetapi begitu lembut dan manis di pendengaran. Geswa sadar, malah sangat sadar saat pria itu mengungkapkan perasaannya tadi.
Tidak peduli Endria akan mengatakan apa, atau bereaksi seperti apa. Yang penting Geswa berkali-kali lipat merasa lega setelah mengungkapkan perasaannya yang sudah lama terpendam.
Endria mengedip-ngedipkan matanya, lalu gadis itu merubah ekspresi wajahnya, marah.
"Brengsek!" Endria menampar Geswa dengan sangat keras, gadis itu juga menatap tajam ke arah pria itu.
Tidak tahukah Geswa apa yang barusan pria itu lakukan padanya? Tidak tahukah Geswa kalau ia adalah tunangan dari Gatra? Adik pria itu sendiri! Bahkan mereka akan segera menikah.
Lalu apa ini?!
Cinta?!
Pria itu mencintainya?!
Omong kosong apalagi ini?!
Endria tertawa-tawa dalam hati, menertawakan pengakuan Geswa, menertawakan dirinya yang tak sempat menolak tadi.
Endria mengutuk dirinya, dan mengutuk perbuatannya tadi.
Geswa ditampar, tapi pria itu tidak marah. Hanya saja matanya menatap tajam Endria.
Endria memukul dengan keras dada Geswa. "Hentikan! Jaga bicaramu! Apa kamu nggak sadar kalau aku tunangan, Gatra?!" teriak Endria memperjelas statusnya saat ini.
Geswa menggeram marah, Endria berhasil menyulut amarah pria itu dengan membawa-bawa Gatra di antara mereka.
"I don't fucking even care, Endria," tekan Geswa. "Kamu tahu? Aku bahkan lebih dulu mencintaimu daripada Gatra," ucap Geswa tajam lalu kembali menyatukan kedua bibir mereka.
Kali ini Geswa tak main-main, pria itu mel*mat kasar bibir merekah Endria, seakan-akan ia melampiaskan amarahnya dengan ciuman itu. Di pangkuannya Endria bergerak-gerak ingin dilepaskan. Gadis itu memberontak, tetapi ia tak bisa lepas karena Geswa mendekapnya dengan sangat erat.
Geswa baru melepaskan Endria saat merasakan gadisnya meneteskan air mata. Kedua napas mereka memburu, saling bersahutan. Nampak bibir Endria membengkak.
"Lepaskan," pinta Endria lirih lalu menepis ibu jari Gatra yang sedang bertengger di pipinya.
Geswa lemah, tak senang dan tak suka melihat Endria malah menangis karena dirinya. Maka dengan terpaksa, pria itu melepaskan dekapannya. Lantas Endria pun berdiri dari pangkuannya.
Sebelum pergi dari ruangan ini, Endria menatap tajam ke arah Geswa. "Aku akan anggap malam ini nggak terjadi apa-apa. Dan aku bakalan anggap tadi Kak Geswa mabuk," ujar Endria dengan tekanan di akhir. Dan setelahnya, Endria keluar dari ruangan itu dengan perasaan marah.
Hah? Apa katanya tadi? Tidak terjadi apa-apa? Mabuk? Hei, bahkan Geswa tak pernah minum alkohol setetes pun.
"Awasi dia," ujar Geswa pada orang yang di teleponnya.