Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Bayangan
Angin malam di jalan pinggiran kota terasa seperti cambuk dingin yang memukul kulit. Leon memutar setir tajam, membuat SUV hitam itu menelan tikungan tanpa mengurangi kecepatan.
"Ini masih jauh?" tanya Lana dari kursi belakang, suaranya pelan tapi penuh tekanan.
"Sepuluh menit lagi," jawab Leon, matanya tak lepas dari jalan. "Tempat ini hanya diketahui oleh tiga orang, termasuk aku dan Raka."
Arya terlelap, kepalanya bersandar di bahu Lana. Namun setiap getaran mobil membuat anak itu mengerutkan kening, seolah merasakan badai yang tengah bergolak di luar.
Raka yang duduk di kursi penumpang depan memeriksa tablet kecil di tangannya. "GPS kita aman. Tidak ada yang mengikuti kita sejauh ini, tapi… ada kemungkinan mereka menaruh tracker di mobil lain yang ada di safe house tadi."
Leon mengangguk. "Begitu sampai, mobil ini kita tinggalkan. Ganti dengan kendaraan lain, dan ubah rute."
Lana mempererat pelukan pada Arya. "Leon, kalau Arka bisa menemukan safe house, berarti..."
"Berarti dia memantau di lingkungan kita" potong Leon, nada suaranya tajam. "Dan itu artinya kita harus mulai dari nol. Tidak ada yang bisa dipercaya, kecuali kita di mobil ini."
Di markas Arka
Gudang tua itu berbau oli dan karat. Arka duduk di kursi usang, satu kaki bertumpu di atas meja, tangannya memutar-mutar peluru di antara jari.
Seorang pria tinggi berjaket kulit masuk, wajahnya setengah tertutup syal hitam. "Safe house gagal, bos. Target perempuan berhasil bertahan."
Arka tersenyum tipis. "Itu bukan kegagalan. Itu hanya pesan. Leon sekarang tahu bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman."
Pria itu ragu sejenak. "Langkah selanjutnya?"
"Bayangan. Kita ikuti mereka tanpa menyentuh… untuk sekarang. Aku ingin Leon merasakan beban paranoia setiap detik. Lalu, saat dia mulai lengah…" Arka mengetuk peluru ke meja sekali, suaranya terdengar nyaring. "baru kita tembak."
Perjalanan menuju lokasi rahasia
Lampu kota makin jarang. Jalan berubah menjadi jalur tanah berkerikil yang hanya diterangi lampu depan mobil.
Leon melihat ke spion. "Tidak ada tanda dari orang - orang Arka.?
Raka menggeleng. "tidak. Tapi ini terlalu tenang."
Lana memandang Leon dari kursi belakang. "Tempat ini… apa?"
"Bekas rumah peristirahatan keluarga salah satu rekan lama ayahku. Letaknya di tepi danau, hanya bisa diakses lewat satu jalan masuk. Sinyal di sana hampir mati total, jadi mereka sulit untuk melacak."
"Dan kalau mereka menemukan kita?"
Leon menoleh sebentar, tatapan matanya menusuk. "Mereka tidak akan sempat kembali untuk melapor pada Arka."
Tiba di lokasi
Mobil berhenti di depan rumah kayu dua lantai yang setengah tersembunyi oleh pepohonan pinus. Udara di sini lembap, dan suara riak air danau terdengar dari kejauhan.
Leon keluar lebih dulu, memeriksa sekitar dengan senter. Raka membukakan pintu untuk Lana dan Arya.
"Bawa masuk mereka," perintah Leon.
Begitu mereka masuk, aroma kayu tua menyambut. Interior sederhana, tapi bersih. Ada perapian di ruang tengah, sofa besar, dan jendela menghadap danau yang berkilau di bawah cahaya bulan.
Arya langsung dibaringkan di kamar kecil di lantai bawah. Lana duduk di tepi ranjang, membelai rambut Arya, sementara Leon berdiri di ambang pintu, mengawasi.
"Aku janji, di sini mereka tidak akan menemukanmu," ucap Leon pelan.
Lana menatapnya, matanya masih menyimpan bayangan kejadian di safe house. "Leon… sampai kapan kita akan terus lari seperti ini?"
"Selama Arka masih bernafas," jawabnya tanpa ragu.
Malam di tepi danau
Beberapa jam kemudian, Raka berjaga di luar, sementara Leon berdiri di dek belakang rumah, memandang ke arah air gelap. Angin membawa aroma tanah basah, tapi ada sesuatu di udara yang membuatnya gelisah.
Lana keluar, memakai selimut shawl tipis. "Kamu nggak tidur?"
Leon menggeleng. "nanti saja. Aku harus memastikan semua nya aman dulu."
Dia menatapnya, lalu berdiri di sampingnya. "Kamu selalu seperti ini, ya? Menyimpan semua beban sendirian."
Leon tersenyum. "Apapun demi kalian.?”
Lana memegang lengannya. "Terkadang… nggak apa-apa untuk membiarkan orang lain memikul beban untukmu."
Mata mereka bertemu dalam diam yang berat. Tapi sebelum keheningan itu menjadi sesuatu yang lebih, Raka muncul dari sisi rumah.
"Leon," katanya cepat, "ada jejak ban baru di jalan masuk, sekitar satu kilometer dari sini."
Leon langsung tegap. "Jumlah?"
"Dua kendaraan. Berat, kemungkinan SUV."
Persiapan menghadapi ancaman
Leon bergerak cepat. "Lana, bawa Arya ke ruang bawah tanah. Ada pintu baja di sana tutup dari dalam."
Lana ingin membantah, tapi melihat sorot matanya, ia hanya mengangguk. "Hati-hati."
Begitu Lana menghilang, Leon dan Raka mengambil posisi. Lampu rumah dimatikan. Senjata disiapkan.
Suara mesin mendekat pelan, lalu berhenti. Sunyi.
Raka berbisik, "Mereka nggak langsung maju."
"Mereka mengamati," balas Leon. "Mungkin mengukur kekuatan kita."
Tiba-tiba, suara pecahan kaca dari sisi timur rumah. Raka bergerak ke arah suara, sementara Leon tetap di depan, menunggu gerakan lain.
Konfrontasi
seseorang membawa senjata muncul dari kegelapan, mencoba menerobos pintu depan. Leon menembak sekali peluru menghantam pundak pria itu, membuatnya jatuh sambil berteriak.
Dari belakang rumah, terdengar suara tembakan Raka. Dua tembakan cepat.
"Dua down," suara Raka terdengar lewat radio kecil. "Tapi kayaknya masih ada lagi."
BRAK! Ledakan kecil di sisi barat membuat kaca jendela pecah, serpihan beterbangan ke dalam ruang tamu.
Leon bergerak ke arah sumber ledakan, tapi dari sudut matanya, dia menangkap kilatan cahaya di pepohonan. Ada penembak jitu.
Dia segera menjatuhkan diri ke lantai, merayap ke balik sofa. Satu peluru menembus kusen tempat kepalanya berada beberapa senti.
Di ruang bawah tanah
Lana memeluk Arya yang terbangun karena ledakan. Anak itu mulai menangis pelan, tapi Lana menutup mulutnya dengan lembut.
Suara langkah berat terdengar di atas mereka. Lalu, ada seseorang yang berbisik, yang tak dia kenali.
Dia meraih pistol dari meja kecil di dekat dinding, matanya menatap pintu baja.
Jika pintu itu terbuka, dia sudah siap menembak.
Kembali ke atas
Leon dan Raka bergerak seperti bayangan, menyingkirkan satu per satu penyusup. Udara dipenuhi aroma mesiu dan kayu terbakar dari ledakan kecil tadi.
Tapi saat Leon memeriksa mayat salah satu penyerang, sesuatu membuatnya membeku. Di kantong jaket pria itu, ada kartu hitam kecil dengan simbol naga perak, tanda khas geng internasional yang selama ini tidak pernah terkait langsung dengan Arka.
"Ini bukan cuma permainan Arka," gumam Leon.
Raka mendekat. "Artinya?"
"Artinya… dia sudah bersekutu dengan orang yang jauh lebih besar."
Setelah serangan
Menjelang subuh, situasi mereda. Empat penyerang tewas, dua kabur. Tidak ada luka di pihak Leon, tapi rumah kayu itu kini penuh lubang peluru dan kaca pecah.
Lana keluar dari ruang bawah tanah, wajahnya pucat tapi matanya tegas. "Kita nggak bisa tinggal di sini."
Leon mengangguk. "Aku tahu. Tapi kita juga nggak bisa terus berpindah tanpa rencana."
Dia memandang Raka. "Kita harus temukan markas Arka, dan potong akarnya, sebelum dia tumbuh lebih besar."
Saat mereka bersiap meninggalkan rumah, Leon menerima pesan suara anonim di ponselnya.
Hanya satu kalimat, diiringi suara api berderak.
"Setiap tarian butuh api, Leon. Dan aku baru saja menyalakan apinya."
Leon menatap layar itu lama, sebelum memasukkan ponsel ke saku. Tatapannya dingin.
"Kalau dia mau perang," katanya pelan, "aku akan pastikan dia menyesal memilih panggung ini."
SUV melaju menjauh dari rumah yang kini setengah hancur, meninggalkan danau dalam keheningan, tapi bayangan di pepohonan tetap mengamati, menunggu giliran untuk bergerak.