Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Egois?
"Jihan, mau kemana?"
Panggilan itu tidak Jihan respon. Dia sudah terlanjur tidak mood karena Abintang tak menepati janjinya. Perempuan itu kini berjalan kearah gerbang sekolah, ingin segera pulang.
"Jihan." Abintang menahan pergelangan tangan Jihan supaya berhenti.
"Kamu kenapa?" Tanyanya bingung karena sedari tadi Jihan menghindarinya.
"Pikir aja sendiri!" Gadis itu menepis tangan Abintang lalu beranjak pergi. Namun Abintang tidak membiarkan hal itu, ia mencengkram kedua bahu Jihan, membawa mereka berhadapan.
"Aku tungguin di perpus kenapa gak dateng?" Abintang mencoba meredam emosinya supaya tidak marah pada gadis di depannya ini.
Jihan menatap kedua mata Abintang. "Buat apa? Kan udah ada Kiara. Ngapain nunggu aku?"
Abintang kini paham apa yang membuat pacarnya berubah.
"Dia cuma nanya soal Jihan."
"Nanya soal kok dempet-dempetan. Kamu suka ya kalo di deketin Kiara?"
Lelaki itu memandang Jihan tajam. "Ngomong apa sih kamu? Gak usah kekanak-kanakan deh! Tahu kan aku sama Kiara itu partner lomba. Jangan egois Jihan!" Ujar Abintang sedikit membentak.
"Iya maaf." Jihan memilih mengalah dari pada harus berdebat panjang.
Abintang menghela napas. "Ayo pulang," Ajaknya dengan nada lebih lembut.
Jihan menggeleng. "Gak usah. Aku pulang sendiri aja."
Lelaki itu mengepalkan tangannya. Matanya tak lepas dari wajah Jihan. "Kenapa? Gak suka kalo pulang sama aku? Lebih suka pulang sama Kevin?" Tanyanya mengintimidasi.
Jihan mengerutkan keningnya. "Kok kamu bawa-bawa Kevin? Aku cuma lagi pengen pulang sendiri Abintang!"
"Pulang sama aku Jihan!" Tekan Abintang menggenggam lengan Jihan erat, tidak membiarkan gadis itu pergi.
"Di bilang gak mau ya gak mau! Aku mau pulang sendiri!!"
"Mau lo apa sih!" Bentak Abintang keras membuat Jihan kaget.
"Bisa gak, gak usah kekanak-kanakan. Lo udah gede Jihan. Cuma masalah sepele aja lo marah." Abintang melepaskan tangannya dari lengan Jihan. "Dunia gue bukan buat lo doang!"
Jihan lagi-lagi terdiam. Ia menunduk menatap sepatunya. "Maaf. Aku egois."
Abintang membuang napasnya kasar. Lalu melangkah pergi. "Abi mau kemana?" Tanya Jihan membuat langkah lelaki itu berhenti.
"Nganterin Kiara pulang." Setelah mengatakan itu, Abintang berjalan menjauh meninggalkan Jihan yang berdiri mematung.
Ia perlahan mendongak menatap punggung Abintang yang menjauh. Menarik napasnya sejenak, "ABI SEMANGAT YA LOMBANYA! Aku yakin kamu sama Kiara bakal menang. Jangan lupain istirahat ya, kamu jangan belajar terus sampe kecapean. Harus jaga kesehatan," Teriaknya masih bisa di dengar Abintang.
Tangan cowok itu mengepal hingga kuku-kukunya menusuk kulitnya sendiri. Brengsek.
Abintang menatap notifikasi ponselnya yang berbunyi. Tangannya mencengkram erat benda pipih itu ketika membaca pesan yang ia terima.
'Gue cuma minta lo nurut. Kalo lo pengen Jihan selamat.'
*****
Jihan menatap kosong jalanan di depannya. Gadis itu memilih untuk pulang jalan kaki dari pada naik bus seperti biasa. Ia hanya ingin melampiaskan perasaannya dengan berjalan kaki, itu adalah cara terbaik menenangkan diri.
Langit jingga perlahan luntur menjadi abu-abu gelap. Jihan mendongak menatap ke atas ketika kulitnya merasakan tetesan air. Hujan perlahan turun membasahi jalan di sekitarnya, seolah alam pun tahu jika Jihan sedang bersedih.
Rambutnya yang tergerai perlahan basah, menempel di wajah dan leher. Seragam sekolahnya juga mulai berat, melekat ketat di tubuh karena kuyup.
Jihan mengangkat kedua tangannya, menadah air yang turun. Lama-lama air mulai terkumpul di telapaknya, lalu ia bawa air itu untuk membasuh wajahnya yang kacau.
"Kamu anak gagal Jihan!"
"Seharusnya kamu mati."
"Anak bodoh!"
"Orang kayak lo gak pantes bersanding sama Abintang. Mending sadar diri deh!"
Suara-suara itu terdengar jelas di telinganya. Kalimat pembunuh yang merusak hati kecil yang sudah rapuh, kini kembali terdengar.
"Memangnya salah ya kalo Jihan hidup? Terus kalo nggak ada yang suka Jihan hidup, kenapa Jihan di lahirin?" Lirihnya dengan suara serak.
Matanya menatap kosong, langkahnya terus berjalan di bawah guyuran air, tak peduli orang-orang yang berlalu-lalang mulai menoleh ke arahnya. Hidungnya memerah, tubuhnya menggigil pelan tapi tetap melangkah.
Hujan berhasil menutupi air matanya yang mengalir. Jihan berusaha tegar meski kini mentalnya sudah diambang batas.
Langkahnya lunglai seperti manusia tanpa semangat hidup. Sepatunya basah kuyup, menimbulkan bunyi "plesek" setiap melangkah. Cukup lama hingga akhirnya Jihan sampai di rumah. Saat langkah pertama terangkat, sosok perempuan langsung menghadangnya di depan pintu.
"Jihan. Papahmu kecelakaan," Ujar Mira panik.