Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Api di Tepi Sungai
Cahaya bulan jatuh di permukaan sungai, berkilau pucat di antara riak-riak kecil. Leon berdiri di dekat jendela rumah panggung itu, tubuhnya sedikit membungkuk, matanya tak lepas dari sosok-sosok gelap di tepian. Ada tiga… mungkin empat orang. Bayangan mereka panjang dan patah-patah setiap kali disambar cahaya di sela pepohonan.
Lana berdiri di belakangnya, jantungnya berdegup seperti hendak pecah.
“Mereka… yang dari sedan itu?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Besar kemungkinan.” Leon tidak menoleh. Suaranya rendah, tegas. Tangannya perlahan menyiapkan pistol, memastikan pelatuk terkunci rapat. “Mereka terlalu tenang buat orang biasa. Mereka datang dengan tujuan.”
Arya masih terlelap di sudut ruangan, tubuh mungilnya terbungkus selimut tipis. Leon sempat melirik sebentar, lalu kembali fokus ke luar.
Rencana di Detik-detik Genting
“Kita harus keluar sekarang,” Leon bicara cepat, hampir seperti bisikan.
Lana memandang ke pintu belakang. “Lewat mana? Di Depan mereka berjaga. Di Belakang rumah ini sungai.”
“Lewat bawah.”
“Bawah?”
Leon menunjuk lantai kayu yang renggang. “Rumah panggung ini dibangun di atas tiang. Ada ruang cukup buat kita merangkak keluar. Kita susuri tepian sungai dari arah berlawanan. Kalau beruntung, mereka nggak akan sadar.”
Lana menatap ke luar jendela lagi. “Kalau mereka sempat lihat kita?”
Leon menghela napas. “Mereka lagi sibuk mengamankan area depan. Kita punya celah, tapi cuma sekali.”
Pelarian Sunyi
Leon meraih ransel kecil, memasukkan botol air, senter, dan sebungkus roti kering. Ia menggendong Arya, yang terbangun setengah sadar.
“Ssshh… diam ya, Nak,” bisiknya lembut.
Dengan hati-hati, Leon mencongkel papan lantai yang longgar. Udara malam yang lembap langsung menyeruak. Di bawah, tanah berpasir cukup keras untuk menahan langkah nya yang tanpa suara.
Satu per satu mereka turun. Leon lebih dulu, lalu Lana, sebelum ia menerima Arya dari atas. Begitu mereka bertiga berada di kolong rumah, Leon memberi isyarat tangan menyuruh Lana Untuk membungkuk, bergerak cepat.
Jejak di Air
Mereka menyusuri sisi rumah, bergerak ke arah hulu sungai. Air mengalir tenang, cukup deras untuk menelan suara langkah kaki mereka. Leon memilih berjalan di tepian, kadang sengaja masuk sedikit agar jejak lebih sulit dilacak.
“Dingin banget…” bisik Lana. Ujung celananya sudah basah kuyup.
“Lebih baik dingin daripada ketangkep,” jawab Leon singkat.
Tiba-tiba terdengar suara samar, seperti kayu dipukul logam. Sinyal. Leon langsung paham, itu kode yang biasa dipakai tim pengejar.
Cahaya yang Mencari
Tak lama, cahaya senter mulai menari di pepohonan seberang sungai. Leon berhenti, menahan napas. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Lana dan Arya diam.
Dua sosok muncul, menyapu area dengan senter. Sinar itu sempat melintas hanya beberapa meter dari mereka. Lana nyaris menjerit, tapi menahan dengan sekuat tenaga. Arya memeluk balon naganya yang kempes, seperti mencari pegangan.
Begitu cahaya menjauh, Leon menggerakkan tangannya lagi. Ayo kita harus lebih cepat kali ini.
Jebakan di Hulu
Sekitar tiga ratus meter dari rumah, Leon berhenti. Sebuah jembatan kayu kecil terbentang di atas sungai. Di ujungnya, dua bayangan berdiri, saling memberi kode tangan.
“Mereka nutup jalur keluar,” bisiknya.
“Kalau begitu… kita?” Lana menelan ludah.
“Kita masuk ke sungai. Arusnya tenang di sisi kiri.”
Tanpa buang waktu, Leon menurunkan Arya ke air setinggi lutut, lalu membantu Lana. Dingin menggigit, tapi arus tidak berbahaya. Mereka berjalan condong ke depan, pelan-pelan menahan keseimbangan.
Kontak Pertama
Saat mereka hendak melewati bawah jembatan, salah satu bayangan di atas menoleh. Senter di arahkan ke bawah, sinarnya menyorot langsung ke mereka.
“Berhenti!” teriak seseorang dari atas.
Leon tidak menunggu. Sekejap ia mengangkat pistol, menembak tepat ke arah senter. Cahaya pecah jadi kilatan. Dalam detik yang sama, ia mendorong Lana dan Arya ke sisi kiri, berlindung di balik semak lebat.
Peluru balasan menghantam air, memercik liar di sekitar mereka.
Lari dalam Hujan Peluru
Lana memeluk Arya erat-erat, berlari secepat mungkin meski air setinggi lutut memperlambat langkah nya. Leon menutup dari belakang, sesekali menembak untuk memberi jarak.
“Ke tebing itu!” teriaknya sambil menunjuk dinding tanah miring di sisi sungai.
Mereka merangkak naik, tangan dan kaki belepotan lumpur, napas memburu. Begitu sampai di atas, Leon memastikan Arya masih di pelukan Lana.
Teriakan dari bawah semakin dekat. “Mereka naik juga,” desis Leon.
Perangkap Alam
Leon memimpin mereka masuk ke hutan kecil. Jalurnya berliku, banyak cabang—cukup rumit untuk bikin pengejar kebingungan.
Di tengah jalan, ia menemukan batang pohon tumbang yang menggantung di atas jurang kecil. “Lewat sini.”
Lana menatapnya ngeri. “Serius? Ini sempit…”
“Kita nggak punya pilihan.”
Dengan hati-hati, Lana menyeberang sambil menggendong Arya. Kayu bergoyang di bawah berat tubuhnya, tapi tidak patah. Begitu mereka sampai seberang, Leon menendang batang pohon itu sampai jatuh. Jalur tertutup.
Istirahat yang Terlalu Singkat
Mereka bersembunyi di celah batu besar. Lana bersandar, wajah pucat, napas terengah. Arya meringkuk di pelukannya, matanya sayu.
“Kamu baik-baik aja?” Leon bertanya, suaranya melunak.
Lana mengangguk cepat, meski jelas kelelahan. “Kamu selalu tahu arah. Gimana bisa?”
Leon menatap hutan gelap. “Medan kayak gini… dulu rumahku. Tapi aku nggak mau Arya inget tempat kayak gini sebagai rumah.”
Hening sejenak. Hanya suara serangga malam mengisi udara.
Bayangan yang Tak Hilang
Ranting patah terdengar di kejauhan. Leon langsung tegak, tubuhnya menegang.
“Mereka masih ngejar,” gumamnya.
“Kita nggak bisa terus-terusan kabur gini…” suara Lana bergetar.
Leon menatapnya, lalu menatap Arya. “Mungkin kita nggak perlu kabur. Mungkin kita berhenti di sini, bikin mereka mikir dua kali buat terusin.”
“Maksudmu… lawan mereka?”
Leon mengangguk. “Kalau kita cuma lari, mereka bakal nemuin kita lagi. Kita harus kasih pesan: memburu kita itu bahaya.”
Persiapan di Kegelapan
Leon memeriksa amunisi, tinggal separuh. Ia menyerahkan pisau lipat pada Lana. “Kalau ada yang sampai mendekat, jangan ragu.”
Lana menggenggamnya erat, meski tangannya gemetar. “Aku benci bagian ini…”
“Aku juga,” ucap Leon singkat, matanya tak lepas dari arah suara langkah yang makin dekat.
Dua sosok muncul dari balik pepohonan. Leon menunggu... menunggu hingga jarak nya cukup dekat.
Ledakan Singkat
Dua tembakan cepat menghantam udara. Sosok pertama tumbang, yang kedua buru-buru berlindung di balik pohon. Leon merunduk, menghindari peluru balasan yang menghantam batu di dekat kepalanya.
Dari samping, Lana melihat bayangan ketiga mendekat. Ia menguatkan hati, maju pelan. Begitu cukup dekat, ia menyerang, pisau menusuk lengan pria itu.
Teriakan keras memecah malam. Leon berbalik, menghantam wajah pria itu hingga jatuh.
Keputusan Kilat
Suara langkah tambahan bergema. Lebih banyak dari perkiraan. Leon memaki pelan. “Mereka cukup banyak. Kita harus pergi sekarang.”
Ia meraih ransel, membantu Lana berdiri. Arya mengerjap, terbangun. “Ayah…?”
“Nggak apa-apa, Nak. Kita cuma pindah tempat.”
Mereka bergerak lagi, meninggalkan dua tubuh tergeletak, sementara bayangan lain masih memburu.
Arah yang Tidak Terduga
Alih-alih kembali ke sungai, Leon menuntun mereka naik ke bukit curam. Lana terengah, tapi Leon tidak berhenti.
“Di atas ada jalan setapak. Kalau kita sampai sana, kita bisa turun ke desa di seberang,” jelasnya.
Langkah demi langkah, mereka mendaki dalam gelap. Suara pengejar perlahan memudar, tertelan suara angin malam.
Saat akhirnya mereka mencapai puncak, udara terasa sedikit lebih hangat. Dari kejauhan, lampu - lampu kecil desa tampak berkelip.
Leon menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Malam ini kita selamat. Besok… kita harus bisa menghilangkan jejak dari mereka.”