Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Hujan sore mengguyur kawasan Senopati dengan tenang. Rintik-rintik halus menempel di jendela rumah bata merah, mengalir perlahan seperti waktu yang tiba-tiba terasa lebih berat.
Andre baru saja memarkir mobilnya, payung di tangan, jas kusut karena terlalu lama duduk menyetir. Ia tidak langsung masuk. Hanya berdiri di depan pintu rumahnya, rumah yang sekarang juga rumah Lily.
Tangannya menggenggam kunci pintu—namun jantungnya terasa seperti dikunci rapat.
Malam itu, bukan hanya kasus di kantor yang mengusik pikirannya. Tapi juga, semua yang tidak ia pahami tentang Lily.
Tentang mereka.
...****************...
Di dalam rumah, Lily berdiri di dapur. Ia mengenakan blus satin biru tua dan celana kulot putih, rambutnya dikuncir rendah. Wajahnya polos tanpa riasan, kulitnya terlihat pucat. Tapi yang paling kentara adalah caranya berdiri—terlalu lama di depan gelas air yang belum disentuh.
Pikirannya kembali melayang.
Sentuhan Andre semalam. Napas yang menyatu. Kulit bertemu kulit. Kancing-kancing yang jatuh ke lantai. Lalu pagi yang sunyi.
Ia menggigit bibir bawahnya.
Kenapa ia tidak bertanya?
Kenapa Andre pun tidak bicara?
Apakah itu kesalahan?
Atau… apakah itu sesuatu yang seharusnya tidak diulang?
...****************...
Saat pintu dibuka dan suara langkah masuk terdengar, Lily buru-buru mengambil gelas dan berpura-pura minum. Ia tidak ingin terlihat seperti orang yang menunggu.
“Lagi di dapur?” tanya Andre dari belakang. Suaranya lebih serak dari biasanya.
“Air putih,” jawab Lily singkat, tak menoleh.
Andre hanya mengangguk pelan. Ia melepas sepatu dan jas, lalu berjalan ke ruang tengah dan duduk. Lily mengikutinya beberapa menit kemudian, membawa dua gelas.
“Ini buatmu,” katanya, meletakkan satu di meja.
“Terima kasih.”
Hening.
Satu menit. Dua menit. Hanya bunyi hujan dan detak jam dinding.
“Aku udah baca laporan soal proyek,” Andre akhirnya berkata. “Kayaknya ada penyalahgunaan dana.”
Lily mengangguk pelan, tidak tahu harus menanggapi apa.
“Mungkin kamu butuh partner baru. Atau tim audit independen,” ucapnya, kali ini lebih lembut.
Andre menoleh, kaget. “Kamu ngerti soal laporan keuangan?”
Lily mengangkat bahu. “Aku MBA, Harvard. Bukan cuma tahu masak steak.”
Mereka tertawa kecil. Tapi hanya sebentar.
Lalu hening lagi.
⸻
Tarik-ulur Dimulai
Andre mengusap pelipisnya. Ia ingin bertanya—tentang malam itu. Tapi tak tahu dari mana memulai.
Ia memandang Lily. Wajah perempuan itu memang tenang, tapi ada gelisah samar di matanya.
“Lily…” ucap Andre pelan.
“Ya?”
“Kamu… masih ingat malam itu?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.
Lily langsung menoleh. Sekian detik mereka hanya bertatapan. Jantungnya berdetak begitu cepat, seperti ingin kabur dari dada.
“Aku…” Lily menelan ludah. “Ingat beberapa bagian. Tapi… seperti mimpi.”
Andre mengangguk, cepat-cepat memalingkan wajah.
Ia merasa bodoh. Tentu saja itu bukan hal yang bisa dibahas begitu saja.
Lily menyadari kegugupan Andre. Dan ia membenci dirinya sendiri karena merasa… lega.
Leganya karena itu bukan hanya perasaannya sendiri.
...****************...
“Aku minta maaf,” ucap Andre pelan.
“Untuk apa?” tanya Lily cepat.
“Kalau aku membuatmu tidak nyaman. Atau melanggar sesuatu.”
Lily menggigit bibir bawahnya. Ia ingin berkata bahwa itu tidak sepenuhnya salah Andre. Tapi ia juga tidak yakin—apakah ia sudah siap berkata bahwa ia memang menginginkan itu?
“Enggak,” jawab Lily akhirnya. “Aku… nggak marah.”
Andre menatap Lily. Kali ini lebih lama.
“Kamu juga merasa aneh?” tanyanya lirih.
Lily mengangguk pelan. “Iya. Tapi mungkin bukan karena… kita. Mungkin karena kita nggak tahu apa arti semua itu.”
...****************...
Kedekatan yang Hampir Terjadi
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di sofa yang sama. Canggung. Berjarak beberapa sentimeter.
Lily memainkan ujung bajunya, Andre memandangi kuku jempolnya yang retak.
“Tadi kamu ngapain aja di rumah?” tanya Andre asal.
“Baca dokumen dari kantor. Sama bersihin rak bumbu.”
“Rak bumbu?” Andre tertawa kecil. “Kamu masih tahu semua posisi bumbu dapur?”
“Chef mana yang enggak hafal?” Lily membalas, lebih santai.
Andre menoleh ke arah Lily, dan kali ini wajahnya sedikit lebih hangat. Lily pun tersenyum kecil.
Detik itu, Lily menjatuhkan remote yang ia pegang. Saat membungkuk mengambilnya, ia tergelincir ke arah Andre, dan tanpa sengaja tubuhnya condong ke pangkuan pria itu.
Andre reflek menangkap lengannya. Hidung Lily nyaris menyentuh lehernya. Beberapa detik mereka tak bergerak.
Wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
Jantung Andre berdentam kencang. Tangannya terasa panas. Ia ingin menyentuh wajah Lily, ingin menanyakan apa yang ia rasakan. Tapi ia tidak berani.
Sementara itu, Lily menatap bibir Andre dan buru-buru menjauh.
“Maaf,” katanya pelan.
Andre menunduk. “Nggak apa-apa.”
...****************...
Sore berubah menjadi malam. Mereka makan malam berdua, tapi hanya lauk sederhana. Tidak ada wine. Tidak ada tawa.
Saat Lily mencuci piring, Andre berdiri di belakangnya, ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia hanya diam, memperhatikan punggung perempuan itu.
Ketika Lily membalik badan, mereka hampir bertabrakan. Mata mereka bertemu lagi. Tapi kali ini, tidak ada tawa. Hanya hening.
“Aku mau naik dulu,” kata Lily cepat.
Andre mengangguk. “Oke.”
Langkah Lily di tangga pelan, seolah enggan.
...****************...
Beberapa jam kemudian, Andre berdiri di balkon lantai dua. Ia menatap kota yang berkilau dengan lampu malam. Tangannya menggenggam pagar.
Di bawah, terdengar suara pintu kamar Lily ditutup.
Ia tidak tahu harus ke kamar itu atau tidak. Ia tidak tahu apakah ia boleh.
Lily di sisi lain sedang duduk di ranjang, mengenakan kaus tidur dan celana pendek. Ia menatap pantulan dirinya di cermin.
“Kita suami istri. Tapi kenapa rasanya seperti orang asing?” gumamnya.
Andre memandangi langit. Suara hujan sudah reda.
Tapi di dalam dadanya, badai baru saja dimulai.
...----------------...