Ariana Rosita Putri Prakasa (17th) adalah anak seorang pengusaha dari kota Malang. Terkenal dengan sikap nakal, usil dan keras kepala di sekolahnya. Membuat edua orang tuanya memutuskan memindah Riana ke pesantren.
Di pesantren Riana tetap berulah, bahkan memusuhi ustadz dan ustadzah yang mengajarinya, terutama ustadz Daffa anak bungsu kyai yang paling sering berseteru dengannya. Bahkan, Kyai dan istrinya juga ikut menasehati Riana, namun tetap tidak ada perubahan. Kyai pun angkat tangan dan memanggil ayah Riana, namun ayah Riana malah meminta Kyai mencarikan jodoh saja untuk anak semata wayangnya. Tanpa sepengetahuan siapapun, Riana diam-diam memiliki perasaan cinta terhadap salah satu putra Kyai, yaitu Ustadz Zaki. Siapa yang akan di jodohkan Kyai dengan Riana? salah satu santrinya atau dengan putranya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CumaHalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin ke Gaza
Pak Bagas dan Bu Eva sampai di pondok pesantren. Keluar dari mobilnya dan bergegas menuju rumah Kyai Husein. Sampai di depan pintu, Bu Eva mengetuk pintu, berkali-kali tidak ada yang menyahut. Lalu, beberapa saat kemudian pembantu di rumah Kyai datang menghampiri dan memberitahu kalau Kyai Husein dan keluarganya sedang ke rumah sakit menjemput ustadz Zaki.
Pak Bagas dan Bu Eva di persilahkan masuk dan menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian Kyai Husein dan keluarganya sampai di rumah. Pak Bagas dan Bu Eva segera beranjak dari tempat duduknya begitu mereka masuk rumah.
"Assalamualaikum," ucap Kyai Husein bersamaan dengan anggota keluarganya yang lain.
"Waalaikumsalam," jawab Pak Bagas dan Bu Eva bersama.
Setelah saling berjabat tangan, semuanya duduk di ruang tamu. Kecuali ustadz Zaki yang harus segera ke kamarnya untuk beristirahat. Namun, ustadz Zaki menolak dan ikut duduk di ruang tamu.
"Maaf, Pak Bagas dan Bu Eva datang kemari ada apa?" tanya Bu nyai.
"Em, kami ingin bertemu dengan Riana," jawab pak Bagas.
"Apa ada masalah dengan, Riana?" tanya ustadz Arman.
"Iya, sebenarnya saya masih harus ada di Malaysia untuk hari ini. Tapi kabar ini membuatku tidak bisa tidur dan memutuskan pulang pagi ini."
"Apa yang membuat pak Bagas sampai harus bertemu dengan Riana pagi ini?" tanya Kyai Husein.
"Kemarin saya mendapat kabar dari teman kuliah Kyai, dia mengatakan kalau Riana mendaftar menjadi relawan ke Gaza," jawab Pak Bagas.
Kyai Husein, Bu nyai, ustadz Arman, ustadz Zaki dan Ali terkejut mendengar ucapan pak Bagas. Mereka saling pandang satu sama lain. Kyai Husein mengusap wajahnya dan menatap pak Bagas.
"Apa pak Bagas dan Bu Eva tau, apa penyebab Riana ingin pergi ke Gaza?"
"Kami nggak tau, untuk itu kami datang kemari." Bu Eva yang sejak tadi diam mulai angkat bicara.
"Arman, tolong panggilkan Riana," perintah Kyai Husein.
"Baik, Bah." Ustadz Arman beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari rumah.
"Kenapa Riana ingin pergi kesana. Apa dia benar-benar tidak ingin menikah dengan Daffa dan memutuskan pergi," batin ustadz Zaki.
***
Beberapa saat kemudian ustadz Arman datang bersama Riana. Pak Bagas dan Bu Eva berdiri dan menghampiri putri mereka. Bu Eva memeluk erat Riana dan merebahkan kepalanya di pundak Riana dengan isak tangis.
Riana melepas pelukan bundanya dan menggenggam kedua tangan ibunya. "Bunda kenapa?"
"Tolong jangan tinggalkan bunda, sayang. Riana ingin keluar dari sini? Atau ada yang kamu inginkan sayang?" ucap Bu Eva.
"Riana, kalau kamu tidak nyaman bicara disini. Kita bisa bicara di luar," ujar pak Bagas.
"Riana ga pengen apa-apa bunda, Riana hanya ingin memeluk dan mencium bayi-bayi serta anak-anak tak berdosa itu, mengusap air mata wanita-wanita yang kehilangan anak atau suaminya."
"Kamu bicara apa Riana? Lalu kamu melupakan bunda disini?"
"Ayah juga minta maaf sudah memaksamu melakukan apa yang ayah inginkan, tapi jika saat ini ada yang membuatmu tidak nyaman atau ada yang kamu inginkan. Katakan saja, ayah pasti turuti keinginanmu. Atau kamu ingin perjodohanmu dengan Daffa batal? Baiklah, kita batalkan sekarang ya." Pak Bagas mengelap air mata yang menetes ke pipinya.
"Tidak ayah, mau batal atau tidak. Riana tetap ingin kesana. Sekarang Riana harus kembali ke kelas, ayah dan bunda pulang saja. Riana baik-baik saja disini." Riana melepas genggaman bundanya dan berlari meninggalkan rumah Kyai Husein.
"Riana!!" teriak Bu Eva mengulurkan tangannya dan menangis terisak.
Bu Eva menatap tajam pak Bagas, "Lihat, ayah lihat, kan? Kalau akhirnya seperti ini, aku lebih ikhlas anakku nakal daripada dia ingin pergi kesana. Ayah, Riana itu anakku satu-satunya. Dia masih sangat kecil, perjalanan hidupnya masih panjang. Apa ayah lupa bagaimana usaha keras kita mendapatkannya? Kalau sampai Riana berangkat kesana, aku juga akan kesana. Urus sendiri hidupmu!"
Setelah mencurahkan seluruh isi hatinya, Bu Eva meninggalkan pak Bagas tanpa pamit dengan Kyai Husein dan keluarganya. Pak Bagas menangis terisak dan ustadz Arman mendekat.
"Maaf, Pak. Kami juga tidak mengira kalau Riana punya pikiran seperti itu. Kami janji akan cari tau apa yang sebenarnya terjadi padanya."
"Aku benar-benar tidak menyangka akan seperti ini. Aku pikir, setidaknya Riana bisa berubah walaupun sedikit. Dia memang berubah, tapi ...." Pak Bagas tidak sanggup meneruskan ucapannya, ia terisak kembali dan menutup wajahnya. Kemudian ia pamit pada Kyai Husein dan Bu nyai. Setelah pak Bagas meninggalkan rumah, ustadz Arman mengajak ustadz Zaki keluar.
"Aku tau apa yang ingin mas katakan, tidak perlu menarikku seperti ini."
"Zaki, kedua orang tua Riana sangat terpukul. Tolong kamu bicara dengannya. Siapa tau dia mau jujur sama kamu, siapa tau dia mendapat perlakuan buruk dari temannya."
"Ya nanti kucoba, Mas."
Ustadz Arman mengangguk dan keduanya kembali ke rumah. Ustadz Zaki memutuskan ke kamarnya untuk istirahat sebentar. Lalu, mengambil hpnya yang tergeletak di atas nakas. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Ustadz Zaki tidak bisa menepis bayangan Riana. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada gadis mungil yang sudah membuatnya jatuh hati. Ia bangkit dari kasurnya dan keluar dari kamar, lalu menuju lapangan tempat berlangsungnya perlombaan. Ia mendapati Riana sedang duduk di kursi. Kemudian berjalan menghampirinya, Riana mengetahui kalau ustadz Zaki berjalan ke arahnya.
"Ustadz, ngapain kesini?"
"Kita bisa bicara sebentar Riana?"
"Aku lagi lihat pertandingan, nanti saja kalau sudah selesai."
"Aku mohon Riana, apa perlu aku berlutut seperti Daffa di hadapanmu?"
Riana terkejut dan menatap ustadz Zaki yang menyunggingkan senyum. Riana akhirnya menuruti keinginan ustadz Zaki dan menjauh dari teman-temannya. Keduanya berdiri berhadapan di depan masjid.
"Riana, kenapa kamu ingin ke Gaza?"
"Emang kenapa kalau aku kesana? Kan cuma jadi relawan, ga ikut perang."
"Aku tau, tapi disana daerah konflik. Disini kita bisa mendoakan dan menyisihkan uang yang kita miliki untuk mereka. Kecuali kalau kamu seorang ahli yang memiliki kompetensi dan bisa banyak membantu korban disana, aku pikir kalau hanya sekedar relawan, lebih baik jangan. Sangat beresiko tinggi, apa kamu ga kasihan denganku?"
"Hah? Kog sama ustadz?" Riana terperangah dan mengerutkan dahinya.
"Hehe, kalau kamu pergi, siapa yang aku ajak becanda Riana. Apa kamu juga ga kasihan sama orang tuamu?"
"Ustadz kan udah punya calon istri, ya becanda sama dia lah. Kalau ayah dan bunda, mereka kan sibuk, jadi ga ada bedanya aku pergi atau tidak."
"Tapi Hasna ga selucu kamu. Jangan pergi Riana," ucap ustadz Zaki sambil tersenyum dan menepuk pundak Riana. Setelah itu berlalu meninggalkannya.
Riana menatap ustadz Zaki yang berjalan semakin jauh. Kata-kata terakhir ustadz Zaki begitu melekat di kepalanya. Seolah ia tersihir dengan suara yang beberapa hari ini hilang darinya.
"Ckckck, mandangnya gitu banget, Ri. Awas nanti jatuh cinta loh sama ustadz Zaki," seloroh Maya, teman sekamarnya.