Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang Dinantikan
Sri benar-benar jatuh bersimpuh di lantai dingin, tubuhnya gemetar dalam posisi sujud, menangis tersedu dengan isak yang tertahan.
“Hana. Ampuni kami, ampuni suamiku. Ibu mohon. Jangan biarkan dia dipenjara.”
Air matanya tak berhenti mengalir. Tubuhnya terlihat rapuh. berkali-kali membungkuk lebih dalam, memohon kepada Hana dan Pradipta yang berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.
Namun Hana hanya berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan belas kasih. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil, tipis, namun sangat menusuk.
“Ibu,” ucap Hana pelan namun tajam. “Apa Ibu pernah bersujud seperti ini pada suami ibu untuk aku?”
Sri langsung tertegun. Mendongak menatap Hana dengan masih berurai air mata.
“Ketika aku kecil, menangis memanggil Ibu dari jauh, memohon untuk diajak ke kota bersama kalian, pernahkah Ibu menangis meminta suami ibu untuk mengajakku?”
Sri hanya menangis lagi, tak mampu menjawab pertanyaan Hana.
“Waktu aku ditelantarkan, diusir, dijadikan pembantu, bahkan saat suami ibu menjodohkanku dengan Rendy si tukang tipu, atau waktu tadi aku dipaksa menikah dengan pria setua dirinya, apakah Ibu pernah bersujud seperti ini? Memohon agar aku diselamatkan?”
Hana mendekat, menunduk menatap wajah ibunya yang masih terduduk di lantai.
“Tak sekalipun kau menangis untukku ibu. Kenapa? Apa aku terlalu hina untuk kau tangisi”
Sri makin tersedu. Bibirnya bergetar, tapi tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kau yang mengajarkan aku untuk kejam.” ucap Hana pelan, hampir berbisik. “Aku cuma ingin kalian tahu. Lukaku takkan sembuh hanya karena air matamu.”
Pradipta hanya berdiri diam di samping Hana, menatap Sri dengan wajah datar. Dia tidak ikut bicara, karena dia tahu ini adalah pertempuran batin Hana, dan hanya Hana yang berhak menentukan akhirnya.
"Apa salahku padamu, tuan?" kini giliran Hana menatap Burhan yang sedari tadi terpaku membisu.
"Apa salahku sampai kau begitu membenciku? Begitu tega menelantarkanku?"
Ruang KUA yang tadinya menjadi saksi prosesi pernikahan kini seolah berubah menjadi panggung penghakiman. Suasana sunyi, tegang, tak satu pun dari mereka berani bersuara kecuali Hana yang berdiri tegak dalam balutan kebaya putih, matanya menatap lurus pada Burhan yang mulai kehilangan wibawanya.
Burhan tak lagi berdiri setegap sebelumnya. Kini dia tampak goyah, seperti seseorang yang baru sadar kalau posisinya tak lagi di atas.
“Kenapa dulu, ketika aku kecil, kalian tak pernah mengajak aku tinggal bersama di kota? Kenapa aku harus bersama nenek di desa? Melihat kalian hidup mewah dan bahagia, tanpa sekalipun menoleh padaku?”
Mata Hana berkaca-kaca. “Padahal aku sama sekali tak keberatan jika harus berbagi kasih sayang ibuku dengan Malika. Tapi kenapa Malika tak pernah mau membagi kasihmu denganku?”
Ia menatap Burhan lebih dalam. “Apa karena aku bukan anak kandungmu ?Tapi kenapa ibuku bisa menyayangi Malika toh dia juga bukan anak kandungnya. Bahkan ibuku membesarkannya seperti darah dagingnya sendiri. Kalau ibuku bisa menyayangi anakmu, kenapa kau tak bisa menyayangi aku?”
Hening. Tak satu pun dari mereka menjawab. Bahkan suara nafas pun terdengar begitu berat di ruangan itu. Sri menunduk dalam, Rosma menggigit bibirnya menahan emosi, dan Burhan, hanya bisa menatap lantai, menelan kekalahan dari pertanyaan yang tak pernah ia siapkan jawabannya.
Suasana di dalam ruangan itu masih mencekam ketika Pradipta, yang sejak tadi menahan emosi dan kesedihannya, perlahan maju menghampiri istrinya. Tatapannya penuh iba, sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa pilu atas luka yang begitu dalam yang dibawa Hana selama ini.
Cinta yang Pradipta rasakan pada Hana kini semakin kuat. Bukan hanya karena Hana adalah wanita lembut dan tangguh, tapi karena di balik ketegarannya, ternyata begitu banyak penderitaan yang tak pernah ia bagi. Luka yang ditutup rapat, air mata yang ditahan selama bertahun-tahun, dan kekosongan kasih yang seharusnya menjadi haknya sejak kecil.
“Hana, ” bisik Pradipta, menggenggam tangan istrinya. “Sudah cukup. Ayo pulang. Nenekmu menunggumu.”
Hana memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Tatapan matanya mulai teduh. Dia sudah bicara, terlalu banyak bicara malah.
Dia mengangguk pelan. “Baiklah. Ayo kita pulang.”
Namun saat mereka hendak melangkah pergi, sebuah suara berat dan keras menghentikan mereka.
“Karena kaulah anak dari laki-laki itu!” bentak Burhan tiba-tiba, berdiri dengan dada membusung, meski nadanya terdengar goyah.
Semua orang menoleh padanya.
Hana menghentikan langkahnya. Pelan-pelan dia menoleh kembali ke arah Burhan.
Burhan menatapnya tajam. “Kau mau tahu kenapa aku tak pernah bisa menerimamu? Karena kau anak dari laki-laki brengsek yang merebut Sri dari hidupku! Karena kau adalah lambang dari kekalahanku!”
Ruangan mendadak sunyi kembali. Semua tercengang dengan pengakuan Burhan. Sri kembali tersedu dan Rosma yang berusaha menenangkan putranya.
Burhan melanjutkan, nadanya semakin keras, emosinya pecah. “Sri itu milikku sejak dulu! Tapi dia dipaksa menikah dengan ayahmu! Dan kau, anak dari pengkhianatan itu datang mengacak-acak hidupku lagi?! Aku tak pernah bisa menerima kau karena setiap kali melihatmu, aku melihat wajah lelaki yang menghancurkan harga diriku!”
Hana menatap Burhan tanpa berkedip. Hatinya mencelos, tapi kali ini tidak karena sedih. Melainkan karena pertanyaan yang selama ini mengendap dalam dirinya akhirnya terjawab.
Dengan suara datar dan penuh luka, Hana menjawab, “Jadi dendammu padaku hanya karena aku anak dari pria yang menang darimu.”
“Lihatlah aku terus tuan. Karena mulai detik ini aku akan melanjutkan kemenangan ayahku.”
Burhan terdiam. Tercekat.
Pradipta langsung menggenggam tangan Hana lebih erat, dan tanpa berkata lagi, ia menuntun istrinya keluar dari ruangan itu.
***
Di halaman rumah Ratna yang tenang teduh, Hana berdiri mematung di depan pintu. Matanya mulai berkaca-kaca, tubuhnya sedikit bergetar saat Ratna membuka pintu dan tersenyum hangat menyambutnya. Di belakang Ratna, tampak sosok yang sangat dirindukan, Ningsih, neneknya yang langsung berdiri dengan mata berkaca-kaca pula.
“Nek...” suara Hana pecah begitu saja, seperti anak kecil yang akhirnya menemukan jalan pulang setelah tersesat lama.
Ningsih tak berkata apa-apa. Tubuhnya yang renta segera maju memeluk cucunya erat, seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar ada di hadapannya. Dalam pelukan itu, Hana tak kuasa menahan tangis. Tangis yang lama tertahan, yang selama ini ia kubur bersama dendam dan luka.
“Maafkan Hana, Nek. Maaf karena Hana nenek jadi ikut terbawa-bawa,” ucapnya sambil menggenggam tangan Ningsih.
Ningsih mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Kenapa harus minta maaf Nak. Ini bukan salahmu.”
Mereka saling berpelukan cukup lama, hingga Ratna pun menghampiri mereka. Dengan penuh kelembutan, Ratna mengajak keduanya untuk duduk di sofa.
Hana menunduk, air mata terus mengalir dari pelupuk matanya. Namun kali ini, bukan karena sakit, tapi karena bahagia. Sang Nenek kembali padanya dalam keadaan yang baik-baik saja.