Diandra Aksara adalah seorang putri dari pemilik Tara Bumi Grup yang kaya dan terpandang, karena sibuk mengurus bisnisnya di luar negeri, Diandra mengambil alih tanggung jawab yang diberikan oleh ayahnya untuk mengurus kediaman dan juga perusahaan milik keluarga mereka.
Dibawah tekanan dan iri hati sang ibu tiri dan juga saudari tirinya, Diandra berusaha menjalankan tugas yang diberikan oleh ayahnya dengan baik meskipun sebenarnya ia kerapkali menghadapi rintangan dan juga bahaya yang diciptakan oleh dua orang yang sangat membencinya.
Namun kehidupan Diandra yang penuh rintangan dan juga bahaya pelan pelan sirna ketika ia bertemu dan mengenal Abimana Narendra, Seorang CEO yang dikenal jujur,berani, dan juga tajir melintir.
Penasaran dengan ceritanya? Ikuti terus kisahnya hanya di novel Gadis Kecil Kesayangan Sang CEO.
noted🚨🚨🚨
dilarang baca lompat dan komentar jelek.
Yang suka boleh like, yang tidak suka, semoga suka.
Ingat dosa ditanggung pembaca☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Bu Ratna memandang wajah pak Surya dengan raut wajahnya yang cemas. Penolakan tajam Amara barusan seperti tamparan keras di depan keluarga, namun bagi Bu Ratna, ini bukan saatnya untuk menyerah. Kesempatan seperti ini datang hanya sekali seumur hidup. Menantu seperti Abimana—CEO tampan, sukses, dan berwibawa—bukan sosok yang mudah ditemui. Dan ia tidak akan membiarkan kesempatan itu jatuh ke tangan orang lain, bahkan kepada Diandra sekalipun.
“Tolong jangan langsung putuskan begitu saja, pa.” ucap Bu Ratna cepat-cepat, nada suaranya memelas, namun ada ketakutan di baliknya. “Amara hanya sedikit syok mendengar niat papa yang ingin menjodohkan salah satu dari putri kita. Tapi percayalah, mama akan bicara baik-baik dengannya. Anak perempuan, kalau sudah dikasih tahu, pasti akan mau menerima.”
Pak Surya menatap Bu Ratna sembari menghela napas pelan. “Papa hanya tidak mau membuat suasana rumah ini menjadi keruh hanya karena urusan perjodohan, ma. Kalau memang Amara tidak mau, jangan dipaksa. Jangan sampai hubungan kita dengan anak-anak jadi renggang.”
Namun Bu Ratna menggeleng dengan penuh keyakinan. “Tidak, pa. Mama tahu Amara. Dia memang sedikit keras kepala. Tapi dia pasti juga tahu mana yang terbaik untuk masa depannya. Mama yakin, kalau dia sudah mengerti siapa laki laki yang akan dijodohkan dengannya, amara pasti akan berubah pikiran.”
Belum sempat Pak Surya menjawab perkataan Bu Ratna, suara hentakan keras terdengar. Amara berdiri dari sofa dengan mata berkaca-kaca, wajahnya memerah karena menahan emosi. Ia menatap ibunya dengan kecewa, seolah tak percaya ibunya masih berusaha untuk menjodohkannya meskipun ia dengan tegas menolaknya .
“Mama ini kenapa sih? Amara udah bilang kan dari tadi! Amara nggak mau dijodohin! Apalagi sama laki-laki yang bahkan Amara nggak pernah lihat mukanya!” bentak Amara dengan suaranya yang keras.
“Amara, dengarkan mama dulu—”
“Cukup, Ma! Amara nggak mau denger sepatah katapun yang keluar dari mulut mama” potong Amara dengan tajam.
“Amara, kamu jangan berkata seperti itu di depan ayah—” ucap Bu Ratna dengan nada menahan malu dan juga panik.
Tapi Amara tidak peduli. Ia menatap semua orang dengan amarah yang memuncak, lalu membalikkan badan dan berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah cepat dan berat. Derap sepatu hak tinggi yang dikenakannya terdengar keras di lantai marmer, menandakan betapa besar amarahnya saat itu.
Braaakk!
Amara masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya dengan keras, membuat semua orang yang berada di ruang tamu mendadak hening.
Pak Surya hanya bisa menghela napas panjang, sementara Bu Ratna tampak kebingungan—antara menjaga wibawanya sebagai istri dan ambisi besarnya sebagai ibu yang ingin menjodohkan putrinya dengan pria mapan.
Diandra yang sejak tadi hanya diam di sudut ruang tamu, memandangi semua kejadian itu dengan hati tak menentu. Dalam diamnya, ia tahu kalau makan malam besok akan menjadi awal dari banyak hal yang belum mereka semua pahami.
Termasuk dirinya sendiri.
Keesokan harinya, suasana di kediaman keluarga Surya Atmaja sudah terasa berbeda. Para pelayan tampak berlalu-lalang di sepanjang koridor rumah mewah bergaya modern klasik itu untuk mempersiapkan acara makan malam. Mereka membawa nampan, peralatan makan perak, dan kain taplak satin yang baru saja disetrika rapi untuk ditata di meja makan.