Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Carla
Hampir tengah malam Esson baru tiba di rumah. Itu pun perasaannya belum sepenuhnya tenang. Sebelum semuanya terungkap, sedetik pun tak akan ada kata 'tenang' dalam hidup Esson. Ahh, terungkap pun belum tentu ia bisa tenang. Besar kemungkinan justru makin hancur.
"Sayang ... kamu ... belum tidur?"
Esson terkejut mendapati sang istri masih terjaga di atas ranjang, menatap lekat dirinya yang baru masuk kamar. Mendadak Esson merasa bersalah, telah meninggalkan sang istri yang sedang hamil, bahkan mengabaikannya beberapa kali.
Namun, Esson sendiri juga tak bisa mengendalikan diri. Logikanya terlalu kalah dengan perasaan yang masih terpaut pada cinta lama.
"Duduklah! Aku ingin bicara." Tessa berucap sambil beranjak dari ranjang, menyempatkan diri untuk tersenyum meski perasaan sudah tak karuan.
"Maaf ... hari ini aku benar-benar sibuk, sampai tidak sadar sudah selarut ini. Sayang, aku ... aku janji tidak akan begini lagi."
Syarat akan perasaan bersalah, Esson duduk di sofa dan mengambil tempat di samping Tessa. Ia genggam tangan wanita yang saat ini sedang menunduk, ia perhatikan helaan dan embusan napasnya yang panjang, seolah memendam sebuah beban yang berat.
"Bagaimana kabarnya dia?" tanya Tessa. Ia mengawali perbincangan tanpa basa-basi.
"Dia siapa?"
Tessa mengangkat wajah, lantas menatap Esson sambil mengulas senyum masam.
"Kamu pasti tahu siapa yang kumaksud. Bukankah dia sudah kembali dan dia juga yang mengacaukan suasana hatimu sampai berubah sedatar ini?"
Esson mengerjap cepat dan kemudian membuang pandangan ke arah lain. Mati-matian dia meyakinkan diri bahwa Tessa tidak tahu apa-apa tentang Carla, tetapi ....
"Aku tahu dulu kamu sangat mencintainya. Aku juga menjadi saksi betapa indahnya hubungan kalian. Tapi, sekarang istrimu adalah aku. Bahkan, aku sudah mengandung anakmu. Esson, tidak bisakah kamu menghargai aku sebagai wanita yang kamu pilih?"
Esson terdiam, membisu tak mampu bicara. Sia-sia dia meyakinkan diri, karena pada akhirnya ia pun sadar bahwa Tessa sudah mengetahui kehadiran Carla setelah lima tahun menghilang.
"Dalam hubungan ini tidak ada paksaan. Meski kuakui aku memang mencintaimu lebih dulu, tapi aku tidak pernah memaksamu untuk menikahiku. Kamu sendiri yang menginginkan ini, Esson. Lantas kenapa setelah Carla kembali harus aku yang menjadi korban? Di saat aku sudah hamil, kamu malah seakan-akan memupus masa depan yang sudah kita rencanakan. Tidak sadarkah jika sikapmu ini sangat kejam, Esson?"
Tessa tak sanggup lagi menahan segala keganjalan di hati. Ia ungkapkan semuanya di depan Esson. Biarlah malam ini ada pertengkaran atau perselisihan, Tessa hanya ingin menuntut haknya sebagai seorang istri.
Kalau memang Esson akan mengedepan ego dan emosi, Tessa akan menggunakan anak di rahimnya untuk tetap mempertahankan lelaki itu. Masa bodoh meski akan dianggap licik, Tessa hanya tak mau menjadi istri yang tersakiti. Walaupun saingannya adalah masa lalu, ia akan tetap maju. Tak akan ia biarkan anak di kandungannya mendapatkan masa depan yang suram, masa depan tanpa sosok seorang ayah.
"Sayang, ini semua tidak ada hubungannya dengan Carla. Aku memang sibuk di kantor, banyak pekerjaan yang benar-benar menumpuk dan harus diselesaikan. Makanya aku sampai lelah dan tidak sengaja mengabaikan kamu," ucap Esson sembari merangkul Tessa dengan erat, mencoba menenangkan sang istri dari prasangka buruknya. Ah, bukan prasangka, mungkin memang itulah naluri seorang istri terhadap suaminya.
"Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu dengan alasan seperti itu."
Esson kembali diam. Meskipun singkat, jawaban Tessa sangat mengena di hati, membuatnya tak berkutik karena sadar telah melakukan kesalahan.
"Aku sedang hamil anak kamu. Kadang mual, kadang nyeri, kadang pusing. Dan nanti saat waktunya dia lahir, aku harus bertaruh nyawa untuk mengantarnya ke dunia. Apa semua ini kamu anggap sepele, Esson? Sehingga dengan mudahnya kamu abaikan demi masa lalumu? Aku tahu, awal kita bersama kamu belum bisa mencintaiku. Tapi, sejak membuatku hamil seharusnya kamu paham mana yang harus diprioritaskan, Esson."
Esson makin diam mendengar ucapan Tessa yang kian menampar. Ya, logikanya pun membenarkan semua perkataan Tessa. Namun, perasaan yang sulit dikendalikan, tetap memaksanya untuk dekat-dekat Carla. Ternyata ... sesulit ini menundukkan hati.
"Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud menyakiti kamu apalagi mengabaikan calon anak kita." Esson memeluk Tessa dengan lebih erat, tak lupa pula menciumi keningnya berkali-kali. "Ya, kuakui aku memang bertemu Carla, tapi ... bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin tahu apa alasan yang membuatnya pergi begitu saja. Aku—"
"Lantas kalau sudah tahu?" potong Tessa sambil mendongak, menatap mata Esson dengan intens.
Lagi dan lagi Esson hanya bisa diam. Ia sendiri tak tahu apa jawaban dari pertanyaan barusan. Jika tahu apa alasan Carla, lantas apa yang akan dia lakukan?
"Kamu masih mengharapkan Carla?" tanya Tessa.
"Tentu tidak, Sayang, kamu jangan berpikir sejauh itu."
"Lalu?"
"Aku hanya ingin meluruskan masalah dulu. Tidak ada tujuan lain, Sayang." Esson menjawab dengan sedikit gugup. Karena dia sendiri tak yakin bahwa jawabannya adalah itu.
Tessa melengos, kemudian melepaskan pelukan Esson dan bangkit dari duduknya.
"Sayang!" panggil Esson ketika Tessa hendak meninggalkannya.
"Jika kamu masih menghargai aku dan anak ini, tolong berhenti berurusan dengan Carla!"
Menyadari bahwa sang istri benar-benar kecewa, Esson dengan cepat beranjak dan mengikuti langkah Tessa. Lantas, Esson memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan seperti ini lagi," bisik Esson.
Dalam sekian detik dia bisa mengedepankan logika, menegaskan bahwa Carla memang bukan urusannya lagi. Apa pun yang disembunyikan wanita itu, tak seharusnya ia bersikeras mencari tahu karena semuanya telah berakhir.
Namun, benarkah Esson tetap memegang logika dan menepati janjinya? Entah.
_______
Hotel Sakura. Hotel dengan nuansa Jepang yang menjulang dengan demikian indah. Hotel yang belum lama ini menjadi rekomendasi teratas dari orang-orang di Ibu Kota.
Kini, Tessa sedang berdiri di depan sana, menatap bangunan tinggi nan megah itu dengan perasaan yang tak menentu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang datang untuk memesan kamar atau ballroom sebagai tempat acara, Tessa ke sana sekadar untuk menemui salah satu karyawan yang sempat menjadi sahabat.
Tak tenang rasa dalam dada jika belum bicara empat mata dengan Carla. Walaupun Esson sudah memberikan janji manis, tetapi Tessa masih tak yakin. Ia butuh bicara dengan Carla untuk membuatnya lebih tenang.
"Irasshaimase. Selamat datang di Hotel Sakura, ada yang bisa kami bantu?"
Tessa tersenyum saat mendapat sambutan ramah dari resepsionis hotel tersebut. Lantas ia pun mengutarakan niatnya untuk bertemu dengan Carla, dengan alasan ingin mendiskusikan dekorasi bunga untuk acara yang akan ia gelar di Hotel Sakura.
"Nona Carla masih ada tamu, silakan ditunggu sebentar ya!" ucap resepsionis usai menghubungi Carla.
"Baik." Tessa mengangguk. Lantas menurut ketika resepsionis membimbingnya untuk duduk di kursi lobi.
Dalam beberapa saat, berkali-kali Tessa memejam dan menarik napas panjang, memikirkan persahabatannya dengan Carla juga pernikahannya dengan Esson.
"Ahh!"
Setelah lima menit lebih berlalu, Tessa mulai gelisah. Tak sabar menunggu Carla menghampirinya. Alhasil, ia sendiri yang beranjak dan berniat mendatangi Carla di ruangannya.
Beruntung barusan ia tahu bahwa ruangan Carla tak jauh dari lobi, jadi tak sulit bagi Tessa untuk mencarinya.
Pintu tersebut tampak tertutup rapat. Namun, kesabaran yang sudah habis membuat Tessa tak bisa lagi menunggu. Dengan sedikit terburu-buru, ia pun mengetuknya.
Tak lama berselang, pintu dibuka dari dalam. Namun, bukan Carla yang membukanya, melainkan seorang lelaki yang membuat mata Tessa langsung membelalak tak percaya.
Bersambung...
Carla kenapa? beres2 barang?
Penderitaan Carla sungguh sungguh menyakitkan 🥲🥲🤗🤗
Jadi untuk apa memperdalam kisah yng sdh lewat ikhlas kan aja Son , cerita mu dngn Carla sdh selesai 😠😠🤣