" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obat yang Salah
Beberapa hari setelahnya, Martha dan Lisa kembali bertemu. Kali ini, mereka duduk lebih serius, menyusun strategi dengan lebih rapi. Di atas meja, berbagai catatan mulai mereka susun: media mana yang bisa mereka gunakan untuk memberitakan perselingkuhan Kevin, siapa yang bisa disewa untuk membuntuti gerak-gerik laki-laki itu, dan kapan waktu yang paling tepat untuk mengungkap semuanya ke publik.
Namun di tengah perencanaan mereka, Martha mendadak teringat sesuatu yang ia lewatkan kemarin hal yang menyangkut Selly.
"Eh, Lis… kemarin ada satu hal yang lupa aku tanyakan," ujar Martha sambil menatap Lisa serius.
"Apa itu?" tanya Lisa, alisnya terangkat sedikit.
“Kemarin kamu sempat cerita soal Selly yang pernah berselingkuh dengan mantanmu waktu SMA. Dan kamu juga bilang, kebiasaannya itu terbawa sampai sekarang. Aku cuma heran… dengan wajah secantik dia, pasti banyak laki-laki yang mau sama dia tanpa perlu jadi orang ketiga. Tapi kenapa dia justru lebih memilih menjalin hubungan dengan pria yang sudah punya pasangan? Apa dia memang suka tantangan semacam itu?”
Lisa menghela napas. Wajahnya seketika berubah lebih serius.
“Kalau itu… ada alasannya, Mar,” katanya pelan.
“Kamu tahu alasannya?”
Lisa mengangguk. “Tentu saja. Selly dulu teman dekatku. Aku tahu cukup banyak soal hidupnya."
Martha menatap Lisa, tak menyela.
“Dia tumbuh di keluarga yang bisa dibilang... hancur. Ayahnya pergi bahkan sebelum dia lahir. Ibunya… sering berganti-ganti pasangan, dan semua pria itu datang dan pergi sesuka hati. Jadi, Selly besar di lingkungan yang nggak pernah memberinya contoh tentang cinta yang sehat. Kasarnya, dia lahir dari dua orang tua yang maaf ya nggak waras.”
Martha terdiam sesaat, mencoba mencerna semua informasi itu.
“Jadi… itu alasan kenapa dia masih terus-terusan jadi selingkuhan? Nggak ada yang pernah menegur atau menghentikannya?”
Lisa menggeleng pelan.
“Kedua orang tuanya sudah meninggal. Ayahnya meninggal waktu kami kelas satu SMA, lalu ibunya menyusul saat kami kelas tiga. Sejak itu, dia hidup sendirian dan kerja banting tulang. Nggak ada satu pun saudaranya yang mau bantu biaya hidupnya. Dia sempat kerja jadi model, lho.”
“Sekarang udah nggak kerja jadi model lagi?” tanya Martha.
“Nggak. Sejak dia merasa nyaman jadi selingkuhan dan dapat semua kebutuhannya tanpa capek-capek kerja, dia berhenti. Dengan kecantikannya, dia bukan pakai itu buat karier. Tapi, buat narik laki-laki kaya yang mau jadikan dia simpanan. Yang penting, hidupnya terjamin,” jelas Lisa.
Martha terdiam, mengangguk pelan. Ia merasa puas akhirnya mendapatkan informasi yang sempat ia lupakan untuk ditanyakan kemarin kepada Lisa. Tak lama kemudian, ia kembali membuka suara.
"Termasuk mantanmu waktu SMA? Apa dia juga yang mencukupi semua kebutuhan hidupnya Selly, Lis?"
"Jelas," jawab Lisa sambil menyeruput jus jeruk yang tadi sudah ia pesan. "Kebetulan mantanku waktu itu memang berasal dari keluarga kaya."
Mendengar jawaban Lisa, Martha bersandar di kursi kafe, menyilangkan kakinya dan melipat tangan di dada. Ia memicingkan mata, menatap catatan rencana yang telah mereka susun bersama.
"Aku jadi bingung sekarang, Lis. Setelah mendengar semua penjelasanmu... apa aku harus merasa kasihan pada Selly?" tanyanya, masih dengan tatapan fokus pada catatan di depannya.
"Kasihan? Memangnya kenapa harus dikasihani? Wanita yang tergila-gila pada pria kaya yang sudah memiliki istri seperti Selly, kenapa harus kamu pedulikan?" balas Lisa dengan heran.
"Aku merasa kasihan karena... mungkin dia terbentuk dari lingkungannya," jawab Martha serius.
Lisa berdecak. "Ckckck... Banyak kok di luar sana yang lahir dari keluarga dan lingkungan yang nggak sehat seperti Selly. Tapi mereka sadar dan berusaha memperbaiki diri. Mereka datang ke psikolog, berusaha sembuh dari luka masa lalu. Tapi Selly? Dia malah memilih obat yang salah."
"Maksudmu... obat yang salah itu apa?" tanya Martha, bingung.
"Dengan menjalin hubungan dengan pria kaya yang sudah beristri, dia sebenarnya sedang mengobati dua hal," jelas Lisa santai. "Pertama, dia mencoba mengobati luka masa lalunya. Kedua, dia mengobati dompetnya yang kering. Ngerti maksudku, kan?"
Martha tak kuasa menahan tawa. "Hahaha… kamu keterlaluan, tapi benar juga. Maaf ya, bukannya aku menertawakan penderitaan Selly, cuma... cara kamu bilang 'mengobati dompetnya yang kering' itu lucu sekali."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari ini, Deva pulang terlambat ke rumah. Ia berbohong kepada Bu Lastri, mengatakan bahwa ada pekerjaan kantor yang harus dilembur. Padahal kenyataannya, setelah meninggalkan kantor, Deva langsung menuju apartemen Selly. Ia sudah terlalu rindu. Seminggu penuh tanpa bertemu Selly membuatnya gelisah.
Selly menyambut kedatangannya dengan senyum manis yang penuh kebohongan. Ia membuka kedua tangannya lebar, memberi isyarat bahwa ia ingin dipeluk. Deva membalas senyum itu, lalu segera memeluknya erat.
“Rupanya kamu juga rindu padaku, Sel?” bisik Deva di telinganya, masih dalam pelukan.
“Iya, aku sangat rindu,” jawab Selly, menyembunyikan kebohongan dalam nada suaranya. “Untung sinyal rinduku nyampe ke kamu. Hari ini kamu langsung datang.”
Seperti biasa, Deva lalu bersandar santai di sofa. Selly pergi ke dapur, memotong buah-buahan kesukaan Deva. Saat Deva duduk, hidungnya menangkap aroma parfum yang asing. Ia menoleh.
“Kamu ganti parfum, Sel?” tanyanya, sedikit heran.
Selly yang tengah sibuk di dapur, langsung menghentikan gerakannya sejenak. “Nggak,” jawabnya cepat sambil tersenyum kaku.
Deva mengernyit. Ia mengenal aroma Selly luar kepala. Saat memeluknya tadi, aroma itu masih sama. Tapi yang ini... berbeda. Ada aroma lain yang tertinggal di sofa.
Selly membeku sejenak, lalu tiba-tiba teringat semalam, Kevin duduk di sofa itu. Mungkin aroma parfumnya masih tertinggal. Panik sejenak, ia cepat mencari alasan.
“Oooh… mungkin maksudmu aroma yang nempel di sofa, ya?” katanya santai, berusaha terdengar meyakinkan. “Kemarin aku beli parfum online. Waktu nyoba, aku semprot ke tubuh dan duduk di situ. Tapi ternyata aku nggak suka aromanya, jadi aku kasih ke temenku.”
Deva mengangguk pelan, menerima penjelasan itu tanpa rasa curiga sedikit pun.
“Oh gitu… pantesan, kirain kamu ganti parfum,” jawabnya polos.
Beruntung bagi Selly, parfum yang digunakan Kevin adalah unisex, tidak memiliki aroma khas pria yang aromanya kuat. Itu membuat Deva tak berpikir lebih jauh.
Setelah selesai menata buah di piring, Selly membawanya ke meja lalu duduk di sebelah Deva. Ia menyuapi buah itu dengan lembut.
“Kamu kelihatan capek,” ujarnya lembut.
“Iya, aku lelah,” jawab Deva jujur. “Makanya aku ke sini. Kamu kan obat lelahku.”
Selly tersenyum, lalu memeluknya erat. “Semoga lelahmu hilang,” bisiknya.
Namun di balik pelukan itu, hatinya terasa kosong dan penuh kebimbangan. Pikiran tentang kejadian semalam kembali menghantui. Haruskah ia melepaskan Deva? Ataukah membiarkan Kevin pergi? Selly tahu, hatinya tak lagi untuk Deva. Ia hanya mengejar kehancuran. Ambisinya bukan cinta melainkan menghancurkan kebahagiaan orang lain. Melihat orang lain bahagia dengan pasangannya, justru menjadi luka yang terus berdarah dalam dirinya.