Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda hitam
Langit kota masih bergelayut kelabu ketika Lia melangkah sendirian menuju kafe kecil di sisi timur kampus. Angin berembus dingin, menusuk sela-sela pakaiannya yang tipis. Ia menarik jaketnya lebih rapat, mencoba menghalau rasa tak nyaman yang menggerogoti dari dalam. Langkahnya pelan, hampir ragu-ragu, seolah setiap meter yang ia tempuh membawa beban lebih berat di bahunya.
Hatinya penuh kegelisahan. Ia sudah terbiasa dengan tekanan dari Dario—lelaki yang selama ini ia panggil "Papa"—namun tetap saja, tiap kali harus bertemu langsung, rasa takut itu tidak pernah benar-benar pergi. Seperti luka lama yang terus menganga, meski telah berulang kali ditutup rapat.
Dario tidak pernah menemui Lia tanpa alasan. Dan kali ini, pesannya terasa lebih berat, lebih mengancam dari biasanya.
"Aku akan ke kampus. Siapkan waktumu. Jangan buat aku menyesal."
Suara dingin itu masih terngiang di kepalanya, membuat bulu kuduknya berdiri setiap kali ia mengingatnya.
Di kafe yang sepi, Lia memilih duduk di kursi sudut yang sedikit tersembunyi dari pandangan umum. Aroma kopi yang hangat memenuhi ruangan, namun tidak cukup untuk mengusir hawa mencekam yang menyelubungi hatinya. Jemarinya bergetar ringan saat membolak-balik menu di tangannya, padahal ia tidak benar-benar lapar.
Tak lama kemudian, pintu kafe berderit pelan, diikuti langkah berat penuh wibawa yang langsung menarik perhatian. Sosok bertubuh tegap dengan setelan jas gelap masuk, membelah ruangan dengan aura dingin yang membuat beberapa pengunjung lain menoleh sekilas lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Dario.
Tatapan matanya tajam, menusuk seperti bilah pisau. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung duduk di hadapan Lia. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum. Hanya tekanan.
"Kau butuh waktu terlalu lama untuk memberi laporan," katanya datar namun penuh tekanan. Suaranya terdengar pelan, tapi justru itulah yang membuat Lia semakin tercekik dalam ketakutan.
Lia menelan ludah, mencoba menahan gemetar di suaranya. "Maaf, Pa... aku hanya belum menemukan hal yang penting untuk disampaikan," ujarnya pelan, hampir berbisik.
Dario menyipitkan mata, memperhatikan Lia seolah menilai seekor binatang yang gagal memenuhi perintah tuannya. "Jangan bohong. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin?"
Lia terdiam, tubuhnya menegang spontan. Seperti binatang kecil yang tersudut, ia bisa merasakan ancaman nyata dalam nada bicara Dario.
Dario menyeringai tipis, senyum yang tidak membawa kehangatan sedikit pun. "Lelaki brengsek yang mencoba menyentuhmu... dia bagian dari rencana."
Jantung Lia hampir berhenti. "Apa... maksud Papa?" katanya, suaranya bergetar.
"Ya," jawab Dario santai, seolah sedang membicarakan hal sepele. "Dia salah satu anak buahku."
Sejenak dunia di sekitar Lia terasa berputar. Napasnya tercekat. Tangannya mengepal di atas meja, berusaha meredam guncangan di dalam dirinya.
"Aku butuh tahu bagaimana Leo bereaksi," lanjut Dario dengan tenang, nyaris tanpa perasaan. "Dan ternyata... cukup memuaskan."
Kata-kata itu menusuk Lia lebih dari apapun. Ia menatap Dario, matanya dipenuhi percampuran antara ketidakpercayaan, kemarahan, dan kekecewaan.
"Itu gila," desisnya, suaranya nyaris patah.
"Bukan gila. Itulah strategi," balas Dario dingin. Ia bersandar santai, seolah menikmati kekuasaan atas ketakutan Lia. "Aku butuh memastikan apakah Leo sudah mulai perhatian dan peduli terhadapmu... atau hanya akan terus-terusan bersikap cuek dan dingin seperti ke mahasiswi lainnya. Namun sepertinya aku sudah melihat sorot mata dia yang berbeda terhadap kamu." Dario menyeringai puas.
Lia meremas jemarinya di bawah meja, kuku-kukunya hampir menembus kulit. Kepalanya terasa berat. Ia ingin berteriak, memaki, menuntut alasan... namun mulutnya terkunci rapat.
"Dan hasilnya?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar.
Dario memandanginya dengan tatapan tajam. "Kau berhasil membuatnya bertindak. Itu sudah cukup untuk memancing perhatian lebih jauh."
Lia menghela napas berat. Otaknya masih berusaha mencerna semua fakta kejam yang dilemparkan begitu saja oleh lelaki itu. Betapa mudahnya Dario mempermainkan rasa takut dan martabatnya, demi sebuah reaksi dari seseorang.
"Dan kau," sambung Dario, "melihat sesuatu yang penting darinya."
Lia mengangkat kepalanya perlahan. Ia merasa seperti seekor tikus percobaan yang terjebak di labirin tanpa jalan keluar. "Kau bicara soal... tanda itu?"
Dario mengangguk lambat. "Jelaskan. Apa yang kau lihat?"
Lia mengingat kembali kejadian kemarin. Saat Leo, dengan sorot mata cemas, membantu mengangkat tubuhnya dari lantai. Saat tangan dinginnya menyentuh lengannya. Saat bajunya sedikit tersingkap... dan Lia menangkap sekilas tanda aneh di bagian bawah perut lelaki itu.
"Cuma sekilas," kata Lia, mencoba mengendalikan suaranya. "Baju Leo sempat terangkat waktu dia bantu aku berdiri. Ada tanda hitam di bagian bawah perutnya. Aku gak yakin itu tato atau apa, tapi... kelihatan agak mencolok."
Dario tetap tanpa ekspresi, namun matanya menyipit sedikit, sebuah tanda bahwa informasi itu penting.
"Bagus," ucapnya akhirnya. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melewatkan detail penting itu."
Lia menggigit bibirnya. "Jadi tanda itu memang penting?" tanyanya dengan hati-hati.
"Segala yang berhubungan dengan Leo penting," jawab Dario tanpa ragu. "Tapi aku tidak akan menjelaskannya sekarang."
"Kenapa?" Lia memberanikan diri menatap pria itu langsung. "Kalau memang aku harus terus dekat dengannya, aku butuh tahu siapa dia sebenarnya!"
"Belum saatnya," potong Dario tajam. "Semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman dirimu."
Aman? Kata itu terasa seperti ejekan pahit di telinga Lia. Bagaimana bisa ia merasa aman, jika orang yang seharusnya melindunginya malah menjebaknya ke dalam bahaya yang disengaja?
Derio mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya menurun lebih berat. "Tapi satu hal yang harus kamu ingat, Lia... mulai sekarang, pengawasan terhadap Leo harus lebih ketat. Aku mencurigai dia menyimpan sesuatu yang selama ini tidak diketahui siapa pun."
Tatapan mereka bertemu. Lia mencoba mencari kebenaran di mata lelaki itu, berharap menemukan secercah rasa peduli. Tapi yang ia lihat hanya kehampaan. Dingin. Penuh perhitungan.
"Dan jangan pernah menganggapnya sekadar dosen," lanjut Dario. "Leo bukan pria biasa."
Dengan itu, Dario berdiri, menyelipkan tangan ke saku jasnya, lalu melangkah keluar dari kafe tanpa menoleh lagi. Kepergiannya meninggalkan kehampaan di udara, seolah hawa dingin yang menggantung di sekitarnya ikut tersapu keluar bersamanya.
Lia duduk termangu. Matanya kosong, pikirannya berputar tanpa kendali. Ia merasa seperti pion kecil dalam permainan besar yang tak ia pahami sepenuhnya.
Bibirnya bergetar ketika ia menghela napas berat. Baru kali ini ia benar-benar sadar... bahwa semua ini jauh lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
Bukan hanya tentang permainan kekuasaan.
Bukan hanya tentang Dario atau rencananya.
Tapi tentang Leo. Tentang tanda aneh itu. Tentang rahasia kelam yang mungkin saja... akan menenggelamkan mereka semua.
Di luar kafe, hujan mulai turun perlahan, membasahi jalanan berbatu dan atap-atap bangunan. Lia menatap keluar jendela, membiarkan gemericik hujan menutupi suara pikirannya yang kacau.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya dalam hati... apakah ia masih bisa kembali menjadi dirinya yang dulu, setelah semua ini berakhir?
Atau... ia akan tenggelam bersama rahasia-rahasia itu selamanya?
---